Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Pedoman Berita AI: Rambu Jurnalis di Era Robot
2 Februari 2025 18:20 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Tri Suharman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Setelah ditunggu cukup lama, Dewan Pers akhirnya menerbitkan Peraturan Nomor 1 Tahun 2025 tentang Pedoman Penggunaan Kecerdasan Buatan dalam Karya Jurnalistik. Peraturan ini menjadi semacam “oase” di tengah gempuran varian tools Artificial Intelligence (AI) yang memukau sekaligus membawa kekhawatiran di dunia jurnalisme Tanah Air.
ADVERTISEMENT
Terdiri dari 8 bab dengan 10 pasal, peraturan ini "menguliti" prinsip-prinsip dasar, publikasi, perlindungan, hingga penyelesaian sengketa memanfaatkan AI untuk produk jurnalistik. Sejumlah poin yang menjadi penekanan adalah kontrol manusia dari awal hingga akhir dalam menggunakan kecerdasan buatan, tanggung jawab perusahaan pers pada jurnalisme berbasis AI, serta pentingnya akurasi dan memverifikasi informasi dari segala produk kecerdasan buatan.
Perusahaan pers juga harus memberi keterangan pada karya jurnalistik yang menggunakan AI serta mengumumkan secara terbuka bila menyunting, meralat, atau mengubah karya jurnalistik hasil kecerdasan buatan. Peraturan ini juga menekankan produk jurnalistik berbasis AI harus berpedoman kepada Kode Etik Jurnalistik (KEJ) hingga Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers .
Melalui peraturan ini, Dewan Pers mengirimkan “pesan keras” kepada perusahaan pers bahwa AI adalah “asisten”, sedangkan jurnalis adalah “bosnya”. Pesan ini sangat penting untuk menyadarkan jurnalis di tengah buaian AI yang sangat terampil menghasilkan teks, gambar, video, maupun audio yang keren dan kekinian. Namun, keberadaannya tak lebih dari membantu proses-proses terciptanya produk jurnalistik berkualitas. Ia laiknya seorang anak buah yang bekerja atas perintah atasannya, bukan menggeser tugas-tugas jurnalis dalam mencari, mengumpulkan, pengolah, serta mendistribusikan informasi kepada publik.
ADVERTISEMENT
Pesan ini sangat relevan karena munculnya kesan penggunaan AI begitu memikat hati perusahaan pers sehingga berpotensi mengikis, bahkan menggergaji peran jurnalisnya sendiri. Fenomena ini mudah ditemui dengan hadirnya rubrik-rubrik yang alih-alih berdasarkan hasil wawancara jurnalis dengan pihak yang berkompeten di bidangnya, rubrik ini malah mengulas sesuatu tanpa wawancara dan tanpa sumber/referensi yang jelas. Misalnya rubrik “tips dan trik” dan “tutorial” yang banyak ditemui di sejumlah media siber saat ini. Meskipun sebagian media sudah berusaha jujur mengakui beritanya bersumber dari AI, tapi sebagian masih tanpa keterangan.
Begitu juga penggunaan foto ilustrasi maupun video sebagai personalisasi (avatar) yang muncul tanpa memperhatikan detail gambar; apakah benar itu sesuai dengan fakta atau hanya halusinasi AI berdasarkan prompt atau instruksi yang diberikan. Bila hanya halusinasi bisa jadi itu menjadi informasi yang menyesatkan atau hoaks. Sebab gambar yang dihasilkan tidak akan sama persis dengan fakta di lapangan. Malah cenderung mengaburkan fakta itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Tentu hal ini sangat berbahaya dan bisa membuat perusahaan pers kembali terjerembab dalam jurang mis dan disinformasi. Seorang pakar AI Ron Schmelzer mengatakan AI memiliki kerentanan untuk berhalusinasi dan salah memahami fakta (Ron Schmelzer, "Beyond Misinformation: The Impact Of AI In Journalism And News", Forbes.com, Sep 22, 2024). Jelas keberadaan AI tidak bisa menjadi jalan pintas bagi jurnalis untuk memenuhi kuota berita ataupun sebagai foto atau video pendukung untuk berita yang instan. Dibutuhkan campur tangan jurnalis untuk menyajikan fakta-fakta yang lebih akurat.
Di sinilah peran Peraturan Dewan Pers tentang pedoman menggunakan AI. Beleid ini bertujuan kembali meningkatkan kesadaran perusahaan pers tentang pentingnya mengutamakan sentuhan jurnalisnya dalam menyajikan informasi. Hal ini sejalan dengan keinginan audiens yang masih lebih mempercayai hasil peliputan jurnalis alih-alih AI.
ADVERTISEMENT
Setidaknya itu tergambar dalam temuan Reuters Institute yang menyatakan publik skeptis terhadap berita yang diproduksi AI karena rentan dengan informasi yang bias, tidak akurat, atau salah (Amy Ross Arguedas, "Public attitudes towards the use of AI in journalism" June 17, 2024, Reuters Institute). Temuan ini memperkuat survei Newsworks pada 2023 yang menyatakan kekhawatiran pembaca berfokus pada akurasi dan kualitas konten yang dihasilkan AI (Heather Dansie, “Why readers are telling us they want humans, not AI, reporting the news” 16 Nov 2023, uk.themedialeader.com).
Teknologi memang sebuah keniscayaan di dunia jurnalistik, tapi fakta dari isu-isu yang kompleks tetap membutuhkan sense of news dari seorang jurnalis. Keberadaan jurnalis dengan humanity-nya lebih mampu mengenali dan menggali sesuatu isu di balik peristiwa. Sehingga industri media yang baik harus mengutamakan pemikiran orisinal yang berkembang dari para jurnalisnya. Seperti kata David Manning White, jurnalis adalah seorang gatekeeper, penjaga gerbang atas melimpah-ruahnya informasi yang membutuhkan verifikasi, bukan menjadi deep sleeper karena dininabobokan oleh kecanggihan AI.
ADVERTISEMENT
Tri Suharman
Praktisi Media dan Mahasiswa Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana
#artificial intelligence #jurnalismeAI #AIdalamjurnalisme