Risiko dan Praktik Anti-pencucian Uang di Perusahaan Asuransi Jiwa

Trimo Pamudji Al Djono
Konsultan di lembaga pembangunan international dan dosen
Konten dari Pengguna
5 September 2020 6:16 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Trimo Pamudji Al Djono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebagai salah satu dari Tim Komite Audit dan Manajemen Risiko dari pihak independen di salah satu perusahaan asuransi jiwa tersohor, rasanya perlu bagi saya untuk memahami praktik-praktik pencucian uang (APU) atau anti money laundering (AMY) yang dikaitkan dengan tata kelola perusahaan yang baik. Pemahaman ini diharapkan mampu memberi masukan tambahan bagi pengelola perusahaan agar senantiasa hati-hati mengelola dana publik milik nasabah yang bersumber dari manapun. Selain agar perusahaan terhindar dari pelanggaran regulasi yang ditetapkan oleh regulator dan pemerintah, tentu saya selalu pihak independen juga menjadi mata dan telinga bagi pemilik perusahaan melalui komisarisnya dan nasabah yang mempercayakan dananya ke perusahaan asuransi tersebut.
Sumber foto: Arachnyscom
Salah satu lembaga konsultan asuransi internasional pernah menyatakan dalam risetnya bahwa sekitar 62% perusahaan melaporkan eksposur kejahatan keuangan, pencucian uang di sektor asuransi. Hal ini menandakan bahwa perkara APU sudah menjadi masalah global yang berkembang. Perusahaan asuransi jiwa menghadapi risiko pencucian uang karena aliran dana yang sangat besar ke dalam dan ke luar dari bisnis mereka: sebagian besar perusahaan asuransi jiwa menawarkan kebijakan dan produk investasi yang sangat fleksibel yang menawarkan kesempatan bagi nasabah untuk menyetor dan kemudian menarik uang tunai dalam jumlah besar dengan relatif sedikit penurunan di nilai investasinya.
ADVERTISEMENT
Karenanya, pemerintah dan otoritas internasional menerapkan serangkaian peraturan asuransi jiwa anti pencucian uang dan mengeluarkan daftar sanksi asuransi jiwa. Dengan sanksi kepatuhan termasuk denda dan hukuman penjara, perusahaan asuransi jiwa harus memastikan mereka memahami kewajiban mereka dan bagaimana menerapkannya sebagai bagian dari kebijakan APU mereka.
Risiko-risiko di APU
Produk dan mekanisme asuransi jiwa yang rentan terhadap pencucian uang meliputi:
• Kebijakan premi tunggal (Single premium policies): Kebijakan yang memungkinkan pencucian uang melepaskan sejumlah besar uang dalam satu transaksi.
• Kebijakan anuitas atau tabungan premi reguler yang tinggi (Annuity policies or high regular premium savings): Setelah membayar premi dengan dana kriminal, pencucian uang dapat menerima pendapatan yang sah dari kebijakan anuitas atau produk tabungan premium.
ADVERTISEMENT
• Periode pendinginan (Cooling-off periods): Pencucian uang dapat meminta pengembalian premi selama periode pendinginan atau dapat dengan sengaja membayar lebih premi untuk memicu pengembalian dana.
• Penyerahan polis (Policy surrender): Pencucian uang dapat menyerahkan polis mereka saat kehilangan untuk Top-up: Setelah membayar sejumlah kecil premi awal untuk menghindari perhatian regulasi, para pencuci uang dapat menambah pembayaran polis mereka untuk mengeluarkan lebih banyak dana kriminal.
• Mentransfer kepemilikan: Pelanggan dapat membeli polis asuransi jiwa dan mentransfer kepemilikan kepada pihak ketiga kriminal yang kemudian menarik uang tersebut.
• Pinjaman polis: Setelah membangun nilainya dengan pembayaran premi, pencucian uang dapat mengambil pinjaman dari polis asuransi jiwa mereka dengan menggunakan nilai tunai sebagai jaminan. Pinjaman polis tidak melibatkan pemeriksaan APU yang ketat dan tidak harus dibayar kembali: nilai pinjaman dan bunga akan dipotong dari manfaat kematian.
ADVERTISEMENT
• Jaminan (Collateral): Polis premi tunggal dapat digunakan sebagai jaminan atas pinjaman bank. Para pencucian uang dapat menyerahkan kebijakan mereka untuk membayar kembali pinjaman mereka.
• Pasar sekunder (Secondary life market): Alih-alih menyerahkan polis mereka, pelanggan dalam kondisi kesehatan yang buruk dapat menjual polis mereka kepada pihak ketiga kriminal ketiga. Penanggung kemudian harus mengidentifikasi pemilik polis baru.
Upaya pencegahan praktik-praktik APU
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan bahwa sebagai salah satu upaya untuk mencegah masuknya uang hasil tindak kejahatan ke dalam industri asuransi, setiap perusahaan telah menerbitkan ketentuan terkait dengan pencucian uang sejak berdirinya perusahaan tersebut. Bahkan APU dan PPT (Pencegahan Pendanaan Terorisme) harus pula dikaitkan dengan penerapan prinsip mengenal nasabah (KYC atau Know Your Customer Principles).
ADVERTISEMENT
KYC berarti tidak hanya memperoleh identifikasi untuk semua rekening baru dan memantau rekening untuk aktivitas yang mencurigakan, tetapi juga meninjau kembali catatan transaksi nasabah yang ada secara berkala. Tanda-tanda peringatan pencucian uang termasuk nasabah yang sering berganti penerima manfaat, menggunakan polis sebagai aset pembawa atau sebagai jaminan untuk skema yang lebih luas, atau memilih untuk mencairkan polis jenis investasi lebih awal--bahkan ketika tidak ada keuntungan finansial untuk melakukannya. Akhirnya, perusahaan asuransi harus memeriksa apakah nasabah termasuk dalam daftar pantauan apa pun yang dikelola pemerintah dan otoritas penegak hukum lainnya.
Ketentuan APU dan PPT sebenarnya sudah ada sejak 2001, namun pada tahun 2009 disempurnakan melalui adopsi rekomendasi dengan standar internasional yang lebih komprehensif untuk mencegah dan memberantas pencucian uang dan/atau pendanaan terorisme yang dikeluarkan oleh Financial Action Task Force (FATF). Rekomendasi tersebut juga digunakan oleh masyarakat internasional dalam penilaian terhadap kepatuhan suatu negara terhadap pelaksanaan program APU dan PPT. Terdapat penyesuaian terminologi dari sebelumnya menggunakan terminologi “KYC” berubah menjadi terminologi “CDD/Customer Due Dilligence”. (Sumber: OJK)
ADVERTISEMENT
Seiring dengan perkembangan produk, aktivitas dan teknologi informasi keuangan yang semakin kompleks dikhawatirkan dapat meningkatkan peluang bagi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk menggunakan produk dan jasa keuangan dalam membantu tindak kejahatannya.
Untuk itu, agar penggunaan lembaga keuangan sebagai sarana pencucian uang dan pendanaan terorisme dapat diminimalisir, diperlukan peranan semua pihak yang lebih besar dari sebelumnya yaitu dengan menerapkan Program APU dan PPT yang optimal dan efektif.
Penerapan program APU dan PPT oleh perusahaan asuransi tidak saja penting untuk pemberantasan pencucian uang, melainkan juga untuk mendukung penerapan prudential (kehati-hatian) perusahaan yang dapat melindungi dari berbagai risiko yang mungkin timbul antara lain risiko hukum, risiko reputasi dan risiko operasional.
ADVERTISEMENT
Selain itu, dalam rangka mewujudkan rezim APU dan PPT yang lebih optimal, maka perusahaan harus senantiasa secara aktif dan berkesinambungan melakukan koordinasi dengan instansi terkait antara lain Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK), LSM, dan universitas.
Ke depan, pemahaman mengenai APU dan PPT ini harus terus ditingkatkan kapasitasnya kepada semua pihak, bahkan nasabah pun berhak tahu sebagai sebuah kesadaran dan tindakan bersama untuk pencegahan dan pemberantasan praktik-praktik tersebut, pada akhirnya berharap industri asuransi jiwa di Indonesia semakin maju.
Trimo Pamudji Al Djono
Pihak Independen Komite Audit dan Manajemen Risiko di PT. Bhinneka Life Indonesia
Referensi: OJK, ComplyAdvantage, Fraud Update
ADVERTISEMENT