Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Bias Gender yang Tak Berujung: Bagaimana Perspektif Filsafat Membantunya?
18 Maret 2024 8:46 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari MariaManjur tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bias Gender
Bias dapat diartikan sebagai sebuah pemahaman atau penyajian bahan yang penuh dengan prasangka.Sedangkan gender sendiri adalah perbedaan yang terlihat antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku.Jadi,dapat dikatakan bahwa bias gender adalah kecenderungan atau prasangka terhadap jenis kelamin tertentu yang mengakibatkan ketidakadilan gender.Bias gender kerap dianut liar oleh masyarakat yang hidup dalam sistem patriarki dan subordinat akan keberadaan manusia.Muncul lagi istilah yang lain,yaitu patriarki.Istilah ini justru berkaitan erat dengan bias gender.Hubungannya bisa dikatakan sebagai sebab-akibat.Sebelum lebih jauh,kita pertama-tama melihat fenomena bias gender.Tanpa disadarai,diskursus ini muncul bersamaan dengan pemikiran kritis yang berkembang dalam masyarakat kelas dua.Masyarakat kelas dua yang dimkasud adalah perempuan.Berbeda dengan ekonomi yang erat kaitanya dengan kelas pekerja,kelas dua yang merujuk pada perempuan adalah konsep yang muncul dalam masyarakat patriaki.Meskipun esensi dari keberadaanya sama,yaitu direndahkan dan diperlakukan tidak adil.Status perempuan sebagai nomor ke sekian adalah buah dari pemikiran patriarki,bahwa laki-laki adalah pemegang kekuasaaan utama dalam berbagai aspek kehidupan.
ADVERTISEMENT
Konsep ini lahir dari sistem sosial yang ada dan bertahan lama dalam peradaban manusia dibelahan manapun.Oleh karena itu,salah jika orang mengatakan gender adalah mutlak.Gender tercipta berdasarkan peran dan tingkah laku yang ditampakan oleh manusia ( berdasarkan jenis kelamin).Katakanlah di sebuah sistem sosial di suatu zaman,anak perempuannya menyukai bunga,warna pink atau merah muda dan suka berdandan.Sedangkan anak lelakinya membenci bunga,menyukai warna hitam dan tidak suka berdandan.Perlahan,sistem disekitarnya akan menkreditkan/mengklaim bahwa preferensi seseorang akan keinginannya hanya karena dia laki-laki dan perempuan adalah mutlak dan suatu kebenaran tunggal.Apabila ada yang bertentangan,itu salah dan akan mendapatkan sanksi sosial.Tanpa dipungkiri,ini adalah situasi yang sebenarnya terjadi di hari ini.Banyak contoh lainya ketika kita melihat pada konteks budaya.Katakanlah di sebuah daerah di suatu zaman,perempuan harus berada di dapur menyiapkan makanan.Laki-laki berada di tempat depan mengikuti acara inti hingga selesai,seolah-olah peran perempuan hanya menyiapkan makanan saja.Tidak dapat dielak,inilah kenyataan yang terjadi.Lebih jauh lagi misalnya,laki-laki akan membantu di bagian dapur ketika itu menyagkut pekerjaan yang mereka klaim ‘berat’, dan perempuan tidak bisa menyelesaikannya.Mereka akan mengklaim bahwa porsi mereka di dapur sama.Kesimpulannya kemudian adalah ini bukan soal porsi,ringan maupun berat.Pola seperti ini malah melanggengkan praktik diskriminasi karena kecendrungan melihat fisik dalam menyelesaikan masalah.Beberapa orang mungkin akan berpikir bahwa pemikiran atau uraian seperti ini adalah hinaan bagi budayanya.Namun tanpa disadari,ruang seperti ini pada akhirnya menjadi kolam kotor tambahan dimana diskriminasi dan ketidakadilan membabibuta.
ADVERTISEMENT
Perspektif Filsafat dalam Membantu Bias Gender
Situasi yang dialami oleh perempuan dalam uraian diatas tentu membutuhkan pedoman untuk diperjuangkan.Jika kita membaca banyak artikel,berita atau melihat bahkan terlibat langsung dalam peristiwa perjuangan itu,tentu sudah banyak yang diupayakan dan tidak boleh terputus.Tujuannya adalah mencapai kesetaraan dan memperoleh hak-hak perempuan.Sebagaimana diuraikan pada paragraf sebelumnya,bias gender menjadi semakin sering dipraktikan dalam kehidupan hingga hari ini.Kecendrungan untuk mengklaim kebenaran akan sebuah praktik yang salah adalah tantangan yang dihadapi oleh perempuan.Bagaimanapun juga,yang mengklaimnya adalah mereka yang merasa diuntungkan atau bisa jadi perempuan yang tidak menyadarai akan situasinya.Maka,penting menggunakan beberapa perspektif sebagai pedoman bagi mereka.
Filsafat sederhananya adalah ilmu Kebajikan,ilmu tentang kebijaksanaan.Ia menjadi landasan bagi setiap ilmu pengetahuan.Pun ketika berhadapan dengan situasi bias gender. Kita menemukan dasar dan pertimbangan ketika berhadapan dengan situasi ketidaksetaraan. Dengan menggunakan perspektif filsafat, perempuan dapat menggali secara mendalam konsep-konsep gender, menantang prasangka-prasangka yang ada, dan mengembangkan pemahaman yang lebih luas dan inklusif tentang identitas gender dan hubungannya dengan masyarakat dan dunia secara keseluruhan.Pertanyaan-pertanyaan kecil tentang apa itu gender,bagaimana itu bisa ada sampai pada analisis kritis mengenai ketidaksetaraan menjadi pertanyaan yang bisa ditemukan dalam perspektif filsafat.Lebih jauh tentang daya kritis akan situasi yang dihadapi,perempuan akan menemukan panduan dalam melakukan aksi kritisnya.Konsep-konsep ini sangat baik untuk diterapkan bagi perempuan.Jebakan diskursus akan gender,pola dan kebiasaan yang mengikat dalam masyarakat termasuk konstruksi sosial yang membentuknya adalah tantangan tersendiri bagi mereka.Mempelajarinya tentu mudah jika dilandasi oleh komitmen dan keberlanjutan.Mempelajarinya memang tidak semudah itu.Namun bukan berarti perempuan perlu membaca buku sebanyak itu,atau dipaksa bernalar filsafat seperti yang banyak diwacanakan.Persoalan akan menimba ilmu-ilmu ini malah menjadi praktik lain dikriminasi terhadap perempuan.Katakanlah,orang akan beranggapan bahwa menguasai teori atau ilmu serta pemikiran filsafat berat,laki-laki yang berpikiran rasional yang bisa memahaminya.Jebakan-jebakan seperti ini tidak jarang berhadapan dengan perempuan,pun ketika ia sedang memperjuangkan ketertinggalan akibat sistem sosial yang tidak adil ini.Jika demikian,tidaklah salah jika kita mengatakan bahwa perempuan makhluk perasa perlu menerapkan perspektif filsafat sesuai dengan pola yang cenderung disukianya.Bukan berarti ini diklaim bahwa makhluk perasa hanyalah perempuan.Secara naluri,memang seperti itu yang terjadi.Variasi seks lainnya pun sama,namun mungkin karena sistem sosial yang curang membungkam ekspresi mereka.Di ruang inilah perempuan bisa mempertimbangkan banyak hal,berpikir tidak harus rasional seperti apa yang diwacanakan,membangun kesadaran kritis akan situasinya dan berbuah pada aksi nyatanya.
ADVERTISEMENT
Kritisi atau Biarkan?
Sebagaimana diuraikan bahwa pemikiran akan berjuang dari garis atau lubang ketidaksetaraan,kerap menjadi tantangan tersendiri bagi siapapun yang berniat melakukannya.Bukan lagi menjadi pilihan ketika ada pertanyaan apakah kita harus mengkritisi atau membiarkannya.Perempuan Indonesai hari ini hidup dalam siklus atau rantai yang sangat mematikan.Katakan ketika ia sudah berhasil menyelesaikan pendidikannya.Ia tetap akan terbelit oleh sistem sosial yang mengharuskannya untuk segera menikah.Bahkan pernyataan “setinggi-tingginya Pendidikan yang diraih,perempuan akan tetap kembali ke dapur” mencengkram dimana-mana.Pandangan seperti ini menyiratkan makna bahwa sekolah hanyalah sebuah tahapan kehidupan yang harus dilewati.Ini hanya sebuah formalitas bagaimana perempuan mengakses hak mendapatkan pendidikannya.Padahal,sekolah hingga Pendidikan tinggi adalah ladang kritis baginya untuk keluar dari situasi yang membelenggu dalam waktu yang lama.Lebih kejamnya lagi,perempuan kadang menarik paksa sesamanya masuk dalam lubang genangan praktik diskriminasi dan perendahan martabatnya.Bukannya memutus rantai atau keluar dari lubang itu,sebagaian masyarakat malah akan berperilaku lebih kejam.Apa penyebabnya?. Pandangan dan stigma yang hidup bertahun-tahun dalam lingkungan sosialnya adalah salah satu dari sekian jawabannya.Ini kemudian berlanjut pada situasi bias gender yang mencengkram.
ADVERTISEMENT
Sebagai sebuah tahap Pendidikan yang sangat membantu,Pendidikan tinggi menjadi ladang bagi tumbuh kembangnya pemikiran kritis perempuan.Biasanya,ilmu-ilmu akan muncul dengan sendirinya ketika satu ilmu terdahulu diperolehnya.Pikiran kritis yang dia miliki dengan sendirinya lahir karena situasi yang dialami dan harus segera diakhiri.Meskipun beberapa orang akan mengatakan bahwa Pendidikan bukanlah satu-satunya dan belum tentu menjamin.Namun,kembali ke dirinya.apakah ia sadar akan ketidakadilan yang dimilikinya?bagaimana ia memberdayakan diri dan pengetahuaannya untuk kemudian mencari jawaban atas pertanyaan tersebut?.Berat,namun harus dilakukan.Membangun kesadaran kritis akan situasinya adalah yang pertama yang perlu dilakukan.Pendidikan bukan hanya sebatas formal saat ini.Namun,banyak pelatihan dan Sumber daya yang kredibel yang bisa membantunya.Itulah yang menjadi langkah pertamanya.Dengan sendirinya,ia akan menemukan orang-orang atau lingkaran yang bernasib sama dan bertekad keluar dari garis itu.Apalah gunanya nalar dan pengetahuan yang didapatnya? Dasar-dasar ilmu pengetahuan,setidaknya tentang ilmu kebijaksanaan,ilmu kebenaran,dasar dari segala ilmu telah ia pelajari.Bagi orang yang belum mengenalnya akan mengatakan kompleks.Namun,itu menjadi sederhana ketika akan kembali dihadapkan dalam situasi ketidaksetaraan yang dialaminya.
ADVERTISEMENT