Konten dari Pengguna

Hari Pendidikan Nasional: Momen Refleksi Ketertinggalan Pendidikan Indonesia

MariaManjur
Mahasiswi S1 Hubungan Internasional Universitas Kristen Indonesia
4 Mei 2025 13:08 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari MariaManjur tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Teen Girl College. Source: https://www.shutterstock.com/image-photo/hispanic-teen-girl-school-college-student-1738498550
zoom-in-whitePerbesar
Teen Girl College. Source: https://www.shutterstock.com/image-photo/hispanic-teen-girl-school-college-student-1738498550
ADVERTISEMENT
Hari Pendidikan Nasional yang diperingati setiap 2 Mei merupakan momen penting bagi kita untuk merefleksikan bagaimana keberadaan Pendidikan di Indonesia menjadi fokus utama di era disrupsi, bukan hanya sebagai pengingat semata. Perkembangan IPTEK yang pesat memberi dampak yang besar pada sistem di masyarakat, mulai dari sistem ekonomi, sosial, budaya, politik hingga Pendidikan sekalipun. Tantangan utamanya adalah sistem atau pola Pendidikan yang tidak relevan dan tidak berfungsi dengan baik. Indonesia, dalam laporan "Best Countries for Education" oleh U.S. News & World Report tahun 2023, dilaporkan menempati posisi ke-54 dari 87 negara yang disurvei.
ADVERTISEMENT
Dalam periodesasi penggunaan metode dan kurilukum beberapa tahun ini, pemerintah mendapat kritik tajam dan catatan kritis baik dari kalangan akademisi, guru, hingga pelajar. Pergantian kurikulum yang menjadi tolak dan landasan telah memicu banyak perdebatan oleh publik. Jauh sebelum itu, sistem Pendidikan di Indonesia memang tampak berbeda dan merugikan kreatifitas generasi muda. Apakah ini artinya negara takut dengan terobosan-terobosan baru yang nantinya muncul sehingga sistem Pendidikan yang amburadul ini adalah ‘ agenda titipan’ pemerintah?. Pertanyaan ini adalah refleksi bersama, bahwa pemerintah perlu melakukan langkah progresif untuk satu aspek yang menjadi posisi pertama dalam rantai Pembangunan Sumber Daya Manusia/SDM di tanah air.
Dari aspek Fokus Pembelajaran, sistem Pendidikan yang membunuh kreatifitas dan daya saing ini menekankan pada Pendidikan akademik dan pencapaian nilai. keseimbangan antara akademik, karakter, dan keterampilan hidup nihil. Pelajaran dan materi dipandang sebagai hafalan semata dan menjadi puncaknya menjelang penilaian akhir atau penentuan kelulusan. Tujuan untuk lulus dan naik kelas telah didesain sejak awal anak masuk sekolah. Butuh tiga tahun misalnya untuk sekolah menengah mempelajari dan memahami materi yang akan diujikan di tahun ketiga. Bagaimana anak-anak ini kemudian mengembangkan keterampilan hidup?. Sekolah-sekolah dengan fasilitas memadai mungkin berada satu langkah di depan dibanding sekolah-sekolah di pelosok ketika berbicara tentang keterampilan hidup, terutama di era IPTEK yang sangat pesat hari ini.
ADVERTISEMENT
Dari aspek Pendekatan, Kurikulum nasional didesain cukup padat dan tidak fleksibel. Hal ini dapat kita amati pada materi pembelajaran yang sama dan ketat secara nasional dengan waktu yang sangat terbatas. Fokus pada pemahaman materi menghambat daya kreatifitas siswa untuk berdiskusi secara mendalam. Padahal, dengan keanekaragaman yang ada di Indonesia, pelajar bisa mengeksplorasi dan diskusi mendalam tentang kehidupan dan lingkungan sekitar mereka. Dalam beberapa trend dan hype di media sosial, kesenjangan akan pengetahuan umum atau mendasar sangat terlihat pada beberapa kelompok siswa. ‘ Buta Peta, buta budaya’ adalah gambaran yang mewakili kemampuan kognitif pelajar di era sekarang. Hal ini merupakan akibat dari desain kurikulum yang tersentralisasi oleh pemerintah pusat melalui kementrian Pendidikan dan kebudayaan. Ada begitu banyak pengetahuan dasar yang dilewatkan. Mungkin diikutsertakan namun gagal dalam implementasinya. Katakanlah peta geografis dan kekayaam alam hingga budaya yang masih belum disadari keberadaaanya oleh para pelajar. Dampaknya semakin kompleks, nasionalisme dan patriotisme dipertanyakan. Padahal, jika kurikulum sedikit fleksibel, para guru yang dibekali keterampilannya bisa menyesuaikan kurikulum dan materi pembelajaran berdasarkan situasi lokalnya.
ADVERTISEMENT
Ketiga, tentang kreatifitas dan peran guru. Guru-guru di tanah air cenderung memiliki hubungan vertical/satu arah dalam birokrasi Pendidikan. Artinya adalah mereka tidak memiliki ruang untuk berkreasi dan menciptakan ruang belajar yang potensial bagi para murid. Silabus sudah dirancang berdasarkan target nilai, bukan merancang metode dan materi sesuai kondisi siswanya. Kondisi yang dimaksud adalah bukan sekadar mengajar ketidaktahuan siswa, tetapi menggali potensi mereka lebih dalam sehingga keterampilan hidupnya bisa diasah. Menjadi guru di tanah air tidak mudah karena mereka terbelit sistem yang mengurung kreatifitas. Masalahnya lainnya adalah Pelatihan dan Profesionalisme para guru itu.
Namun, beberapa program yang menunjukkan progres menjadi hal yang patut diapresiasi. Salah satunya adalah program Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja/PPPK. Program ini telah berhasil menarik antusias para guru meskipun dalam pelaksanaanya, guru honorer belum bisa mengakses secara penuh. hal ini didukung dengan laporan BKN dan Kemendikbudristek, dari sekitar 500.000 guru honorer yang telah lulus seleksi PPPK sejak 2021–2023, masih ada puluhan ribu yang belum mendapatkan penempatan atau SK pengangkatan karena keterbatasan formasi daerah. Lalu adanya program pelatihan berkelanjutan untuk para guru seperti Program Guru Penggerak (PGP) hanya 10% guru yang mengikuti, lalu Peningkatan Kinerja dan Karir terdapat 14,20% guru dan tenaga kependidikan mengalami peningkatan kinerja dan karirnya.
ADVERTISEMENT
Kendalanya adalah pada birokrasi Pendidikan itu sendiri. PPPK dan PGP meskipun masih berada di angka yang jauh dari yang diharapakan, dapat terus meningkat untuk memperluas ruang kreatifitas guru maupun siswa itu sendiri. Saatnya para guru bergerak, tak hanya mengajar ketidaktahuan tetapi sama-sama membuka ruang bagi siswa untuk mengembangkan daya kritis dan keterampilan hidup. Tujuannya tak lain adalah untuk menyambut Indonesia emas 2045 dengan kapasitas SDM yang memadai, bukan peta buta atau SDM rendah yang ramai diwacanakan di jagad sosial media.