Gender Stereotypes terhadap Pilihan Pekerjaan

Trisnia Ananda
Mahasiswi S1 Hubungan Internasional Universitas Udayana
Konten dari Pengguna
22 Oktober 2023 10:38 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Trisnia Ananda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gender Equality. Sumber (unsplash.com)
zoom-in-whitePerbesar
Gender Equality. Sumber (unsplash.com)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Terminasi gender bukan lagi suatu hal yang baru dalam masyarakat. Sayangnya, implikasi gender dan seks kerap bercampur. Seks merupakan pembagian dua jenis kelamin yakni laki-laki dan perempuan.
ADVERTISEMENT
Hal ini sudah dibawa sejak lahir dan ditentukan secara biologis. Seks juga berkaitan dengan karakter dasar fisik dan fungsi manusia seperti kromosom, hormon, serta organ reproduksi. Berbanding terbalik dengan seks, gender didefinisikan sebagai persepsi masyarakat yang mengacu pada peran, perilaku, ekspresi, dan identitas seseorang.
Terminasi ini berkaitan dengan maskulinitas dan femininitas. Maskulin dihubungkan dengan sifat kelaki-lakian seperti kuat dan memimpin. Sebaliknya, feminin dihubungkan dengan perempuan yakni karakter emosional dan mengayomi (Bantulkab, 2022).
Definisi akan gender rupanya memicu polemik dan fenomena baru. Salah satunya yakni gender stereotype. Gender stereotype atau stereotip gender adalah pandangan atau prekonsepsi yang digeneralisasikan tentang atribut, karakteristik, atau peran yang seharusnya dimiliki, atau dijalankan oleh secara spesifik laki-laki dan perempuan.
Ilustrasi kesenjangan gender di dunia pekerjaan. Foto: fizkes/shutterstock
Gender stereotype akan berbahaya ketika itu membatasi kapasitas laki-laki dan perempuan untuk mengembangkan atau meraih impiannya, dan atau membuat keputusan tentang hidup mereka. Eskalasi gender stereotype kemudian menciptakan ketidaksetaraan gender dan dibatasinya pilihan hidup (OHCHR, 2014).
ADVERTISEMENT
Kemunculan gender stereotype didasari oleh teori konstruksi sosial oleh Bruner dan Vygotsky (Kambouri Danos & Evans, 2019). Teori ini menyatakan bahwa gender dipahami sebagai konsep sejak tahun awal kehidupan melalui interaksi sosial yakni mengobservasi serta meniru perilaku orang dewasa.
Perilaku orang dewasa terkonstruksi secara sosial, artinya perilaku tersebut menjadi hal yang lazim dan ‘normal’ bahkan harus dilakukan oleh perempuan atau laki-laki berdasarkan ketentuan yang sudah ditetapkan oleh masyarakat. Anggapan masyarakat akan peran kedua gender tersebut dipengaruhi budaya masyarakat dan standar yang dinormalisasi.
Teori lain yang menegaskan teori konstruksi sosial yakni Gender Scheme Theory. Teori ini didasari bahwa anak-anak belajar untuk memahami gender dari masyarakat serta budaya di mana mereka tinggal melalui perkembangan kognitif ‘skema’ nya (Keenans, Evans, & Crowley, 2016).
ADVERTISEMENT
Dalam artian, pemahaman tentang gender terbentuk karena adanya skema atas hal-hal yang terjadi di sekitar anak-anak yang sudah berkaitan dengan gender, sehingga dapat dibilang gender dibentuk oleh lingkungannya.
Lebih lanjut dikatakan bahwa pada umur 2-3 tahun, anak-anak memulai proses ‘gendering’, yakni mengkategorikan dunia di sekitarnya ke dalam kategori yang sama seperti dirinya dan yang berbeda dengan dirinya.

Gender Stereotypes dan Pekerjaan

Ilustrasi lingkungan kerja yang setara gender. Foto: Shutter.B/Shutterstock
Persepsi mengenai karakteristik masing-masing gender memang sudah dimulai sejak dini. Kecenderungan mainan anak perempuan yang dikaitkan dengan ‘nurture’ seperti permainan memasak atau boneka bayi, mendoktrin anak perempuan untuk mengurus urusan domestik.
Permainan anak laki-laki cenderung seperti otomotif atau simulasi karier seperti pemadam kebakaran. Klasifikasi ini kemudian berlanjut dalam jenjang karier masing-masing gender. Stereotip perempuan yang tidak dapat berpikir rasional karena kecenderungan emosional yang tinggi, memengaruhi jenis pekerjaan dan posisi yang ditempati oleh perempuan.
ADVERTISEMENT
Bukan hanya akibat klasifikasi yang dimulai sejak dini, stereotip gender dalam pekerjaan muncul akibat adanya asumsi bahwa kesuksesan dalam suatu pekerjaan mengharuskan seseorang untuk memiliki tendensi kualitas feminin atau maskulin.
Kualitas feminin dan maskulin yakni kumpulan berbagai perilaku yang digolongkan oleh masyarakat berdasarkan hasil observasi dalam lingkungan sosial (Eagly & Wood, 2012; Kinanti, Syaebani, & Primadini, 2021). Gender perempuan kerap terlibat dalam pekerjaan yang memerhatikan kesejahteraan orang lain. Pekerjaannya dikategorikan communal dengan karakteristik feminin seperti memberi afeksi, nurturing, dan ramah.
Sebaliknya, stereotip gender laki-laki yakni pekerjaan dengan kekuatan fisik yang menonjolkan karakteristik tegas, kontrol, independen, dan dominan. Karakteristik ini dikatakan agentic dan diasosiasikan dengan maskulinitas (Eagly & Steffan, 1984; Kinanti, Syaebani, & Primadini, 2021)
ADVERTISEMENT
Stereotip gender dalam pekerjaan memunculkan diskriminasi. Pekerjaan agentic yang berkaitan dengan fisik dan logika dianggap tidak sesuai dijalankan oleh perempuan yang dikatakan irasional dan emosional.
Pekerjaan communal yang berkaitan dengan pemberian afeksi dicap tidak pantas dilakukan oleh laki-laki karena dianggap menyalahi sifat alamiah laki-laki yang memimpin.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Kinanti, Syaebani, & Primadini pada 2021 terhadap 129 pekerjaan di Indonesia, 46 pekerjaan dianggap maskulin (35.66%), 57 pekerjaan dianggap netral (44.18%), dan 26 pekerjaan dianggap feminin (20.16%). Kesenjangan ini kemudian menempatkan perempuan dalam posisi yang sulit.

Dampak Gender Stereotypes

Survei Angkatan Kerja Indonesia 2020. Sumber: UN Women Indonesia (asiapasific.unwomen.org)
Merujuk pada penelitian lainnya, Kinanti, Syaebani, & Primadini (2021), menyimpulkan bahwa pekerjaan berbasis gender dapat menimbulkan krisis identitas dan segregasi pekerjaan antara laki-laki dan perempuan yang kemudian menimbulkan perbedaan gaji serta prospek karir di antara keduanya.
ADVERTISEMENT
Hal ini kemudian didukung data dari UN Women pada 2020 yang menyatakan terdapat kesenjangan upah perempuan dan laki-laki sebesar 16% secara global. Upah perempuan di Indonesia bahkan 23% lebih sedikit dari laki-laki. Perempuan hanya menempati seperempat dari pekerjaan manajerial. Dengan gelar yang sama, perempuan memperoleh Rp. 2.454.023 dan laki-laki memperoleh 3.084.084.
Pada dasarnya, klasifikasi peran gender masih menjadi isu yang acapkali terjadi. Gender stereotype terbentuk sejak dini akibat konstruksi sosial serta observasi perilaku orang dewasa sejak anak masih kecil. Gender stereotype kemudian memengaruhi pekerjaan yang dianggap normal bagi perempuan dan laki-laki.
Perempuan dengan karakteristik communal harus memiliki pekerjaan yang berkaitan dengan afeksi. Laki-laki dengan karakteristik agentic diberi pekerjaan yang memerlukan fisik dan logika. Di Indonesia sendiri, 35% pekerjaan dianggap maskulin dan 20% pekerjaan dianggap feminin. Hal ini kemudian memunculkan diskriminasi posisi dan upah antara keduanya.
ADVERTISEMENT