Konten dari Pengguna

Tunisia, Penjaga Perbatasan Migran Ilegal untuk Uni Eropa

Trisnia Ananda
Mahasiswi S1 Hubungan Internasional Universitas Udayana
18 Desember 2023 14:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Trisnia Ananda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bendera Uni Eropa dan Tunisia. Sumber: Canva
zoom-in-whitePerbesar
Bendera Uni Eropa dan Tunisia. Sumber: Canva

Tunisia sebagai Negara Transit

ADVERTISEMENT
Fenomena migrasi khususnya yang melintasi batas negara sudah sangat lumrah terjadi. Migrasi internasional acapkali didorong motivasi untuk mencari pekerjaan atau meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik dibanding ketika di negara asal. Sejalan dengan motivasi tersebut, umumnya penduduk negara berkembang memutuskan bermigrasi ke negara maju.
ADVERTISEMENT
Wilayah Eropa dengan kurs mata uang tinggi tentunya menjadi sasaran banyak negara termasuk negara-negara di benua Afrika yang sedang mengalami krisis. Sayangnya, para migran tidak dapat serta-merta menuju Eropa begitu saja, Tunisia menjadi titik keberangkatan ke Eropa yang paling diminati. Hal ini terjadi karena sebagian garis pantai Tunisia hanya sejauh 130 kilometer dari sebuah pulau di Italia, Lampedusa.

Isu Kemanusiaan

Kota Pelabuhan Sfax, Tunisia. Sumber: Canva
Isu ini kembali menggaet perhatian akibat pada Juli 2023, Tunisia memindahkan ratusan migran ke daerah terpencil yang berbatasan dengan Libya. Sebelumnya, memang sudah terjadi kericuhan antara migran dan penduduk lokal di kota pelabuhan Sfax. Para penduduk mengatakan bahwa migran berlaku tidak tertib dan migran mengaku mendapat tindakan rasis. Aktivis hak asasi manusia (HAM) di Sfax, melaporkan kekerasan terhadap para migran, pengusiran dari tempat tinggal yang mereka sewa, dan penahanan sewenang-wenang oleh penduduk setempat dalam beberapa hari terakhir sebelum polisi turun tangan dan memulihkan ketertiban. Di tahun 2023 ini, memang terjadi pelonjakan jumlah migran yang menyeberangi Laut Tengah dari Tunisia akibat tekanan oleh Tunisia terhadap migran dari Afrika sub-Sahara yang tinggal di negara itu secara ilegal.
ADVERTISEMENT
Tunisia berada di bawah tekanan Eropa untuk menghentikan sejumlah besar orang yang menyeberang dari pantainya. Presiden Tunisia, Kais Saied, mengatakan bahwa Tunisia tidak akan menjadi penjaga perbatasan dan tidak akan menerima imigran untuk bermukim di negaranya (VOA, 2023). Sudah banyak laporan pun wawancara yang dilakukan mengenai kondisi para migran kulit hitam di Tunisia. Pengabaian hak-hak mereka seperti hak tinggal yang sebenarnya sudah mereka sewa, pun penolakan menjual bahan makanan kepada mereka terjadi di musim panas.
Ilustrasi Migran Kulit Hitam. Sumber: Canva
Hal ini sebenarnya dipengaruhi oleh pidato Saied di Februari yang menuduh para migran berkulit hitam ini ingin membuat citra Tunisia menjadi negara Afrika yang murni tanpa afiliasi dengan Arab dan negara muslim lainnya. Sejak saat itu, pemerintahan Saied melabelkan para migran sebagai kriminal dan beban ekonomi negara. Sejak awal September, bantuan-bantuan seperti makanan semakin berkurang. Penolakan terhadap bantuan internasional pun dilakukan pemerintah setempat. Hal ini digadang-gadang sebagai strategi agar para migran meninggalkan Tunisia.
Ilustrasi Bantuan kepada Migran. Sumber: Canva

Dinamika Hubungan UE-TUNISIA

ADVERTISEMENT
Dengan bantuan kemanusiaan yang tidak bisa diharapkan, Uni Eropa (UE) telah menawarkan jutaan euro kepada pemerintah Tunisia untuk memperketat kontrol perbatasannya dan menindak jaringan penyelundupan yang memenuhi permintaan penyeberangan Mediterania dari pantainya. Namun, pada Oktober 2023, Saied menolak proposal hasil revisi yang berisi tawaran sebesar 127 juta euro, yang sesungguhnya jauh lebih kecil dari tawaran awal sebesar 1 miliar euro.
Tawaran tersebut dianggap sebagai perpanjangan pendekatan “Fortress Europe” yakni upaya UE untuk membentengi perbatasannya dari migran ilegal. Hal ini menyebabkan dana UE masuk ke kantong negara-negara seperti Turki dan Libya yang memiliki sejarah pelanggaran hak asasi manusia serta mengirim sinyal bahwa UE melegitimasi cara Tunisia menangani masalah migrasi, dan mengabaikan pelanggaran HAM (Foreign Policy, 2023).
ADVERTISEMENT
Kesepakatan UE-Tunisia mengenai migrasi sebenarnya sudah cukup lama. Tunisia mendapat keuntungan pendanaan terkait migrasi bilateral dan regional di bawah instrumen Neighbourhood, Development and International Cooperation Instrument – Global Europe (NDICI-GE) dan di bawah Dana Suaka, Migrasi dan Integrasi.
Pada tahun 2017-2020 di bawah naungan Dana Perwalian Darurat Uni Eropa di Afrika Utara, Tunisia meraih total setidaknya €152 juta dari program terkait upaya stabilitas dan mengatasi akar permasalahan migrasi tidak teratur dan pengungsi di Afrika. UE dan Tunisia bekerja sama dalam semua aspek migrasi melalui pendekatan holistik yang mencakup tata kelola migrasi, pengelolaan perbatasan, perlindungan, pemberantasan penyelundupan dan perdagangan manusia, migrasi tenaga kerja dan mobilitas legal, mobilisasi diaspora, pemulangan, penerimaan kembali, dan reintegrasi. Pada tahun 2023, Tunisia akan memperoleh pendanaan terkait migrasi sebesar €105 juta (EU, 2023).
ADVERTISEMENT
Para migran Afrika sub-sahara memang mengalami masalah pelik. Dengan tujuan mencari kehidupan yang lebih layak, justru diperlakukan tidak layak di negara transit, Tunisia. Migran yang dominan tidak memiliki dokumen resmi ini dirampas hak hidupnya dengan perlakuan disriminatif dan dapat dikatakan sebagai xenophobia. Walau memang migran ilegal, perlakuan pemerintah Tunisia tidak dapat dibenarkan, uluran tangan dan kiriman bantuan dari berbagai instansi seharusnya tetap diterima. Sayangnya, alasan lain yang memaksa Tunisia berlaku demikian yakni label ‘penjaga perbatasan’ yang disematkan oleh EU. Dinamika hubungan UE-Tunisia memang cukup rumit. Tunisia terkesan berusaha menuruti keinginan EU dan EU untuk mencapai kepentingannya menutup mata akan pengabaian HAM.