Konten dari Pengguna

Mitigasi Bencana dan Teknologi Peringatan Dini Hadapi Bencana

Trubus ID
Media online kekinian yang menyajikan informasi seputar gaya hidup hijau yang ramah lingkungan dan peristiwa terkait alam, lingkungan, sosial, serta pemberdayaan masyarakat untuk bumi kita yang lebih hijau dan lestari
9 Oktober 2018 0:20 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Trubus ID tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Trubus.id -- Bencana gempa, tsunami dan likuifaksi di Sulawesi Tengah telah menewaskan 1.424 jiwa dan sekitar 7.871 jiwa lainnya mengungsi sampai pada Kamis (3/10) pukul 20.00 WIB. Catatan ini tentunya memperpanjang sejarah kelam rentetan bencana alam yang  mengancam Indonesia.
ADVERTISEMENT
Memiliki waktu evakuasi yang cukup, dinilai sangat penting untuk mengurangi jatuhnya korban jiwa. Selain itu, kesiapsiagaan bencana harus diawali dengan adanya langkah mitigasi.  Untuk itu dibutuhkan teknologi yang mampu mendeteksi dini atau "early warning system" untuk menghadapi berbagai bencana alam.
Bagaimana solusi teknologi yang baik untuk peringatan bencana alam ?
Kepala Pusat Data Informasi dan Hubungan Masyarakat, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, sampai 2018 terdapat 176 gempa dengan kategori besar dan kecil yang menghantam Indonesia. Kejadian tsunami, bersifat lokal yang berati datangnya musibah tersebut dipicu oleh sumber gempa.
Baca Lainnya : Senja Kelabu di Kota Palu, Gempa - Tsunami Menyisakan Pilu
Polemik yang dihadapi sekarang adalah infrastruktur dan sarana prasarana dalam menghadapi bencana alam masih sangat kurang. Selain itu, sosialisasi dan latihan mitigasi bencana juga masih sangat terbatas. 
ADVERTISEMENT
"Mitigasi bencana belum menjadi prioritas dalam pembangunan. Peralatan peringatan dini bencana pun masih terbatas. Anggaran untuk penanggulangan bencana, khususnya untuk mitigasi bencana dan pengurangan risiko bencana masih sedikit. Idealnya minimal 1% dari APBN/APBD," jelas Sutopo di Gedung Kementerian Komunikasi dan Informtika beberapa waktu lalu.
Sutopo menjelaskan, permasalahan yang sangat krusial lainnya adalah, sistem peringatan dini berbasis buoy sendiri banyak yang mengalami kerusakan akibat vandalisme, pencurian, dan tersangkut jangkar dan perahu nelayan. Saat ini Indonesia mengandalkan 5 buoy milik negara asing karena 22 buoy Indonesia tidak bisa beroperasi. 
Dari sarana dan prasarana mitigasi bencana yang tersedia, Indonesia belum bisa mencukupi hampir dari 50 persen kebutuhannya. Seperti, 1000 sirine yang dibutuhkan baru tersedia sebanyak 56 buah. Dari 200 sismometer yang dibutuhkan baru tersedia 162. Untuk kebutuhan 553 Digital video Broadcast, saat ini baru tersedia 171. Dan dari 500 akselerometer yang dibutuhkan, baru tersedia 230.
ADVERTISEMENT
Kebutuhan 18 radar pantai juga belum terpenuhi, sedangkan 200 intensity meter baru tersedia 50 meter.  Sedangkan Sarpras evakuasi kebutuhannya sebanyak 11.500 km, tempat evakuasi sementara sebanyak 2.300 unit, 100.000 unit rambu evakuasi, baru tersedia 500.000 unit juga dinilai masih sangat kurang.
Baca Lainnya : Kemampuan Mitigasi Bencana di Palu dan Donggala Masih Minim
Sementara itu, Badan Pengakajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) akan mencoba menggunakan Cable Based Tsunamimeter (CBT) untuk mendeteksi tsunami.
Untuk biaya pengadaan di awal, perangkat buoy lebih murah dibandingkan dengan dengan sistem CBT. Hanya saja, pemasangan CBT yang berbasis kabel, biayanya bisa triliunan rupiah. Harga tersebut tergantung panjang kabel yang dipasang di dasar laut. Untuk bisa mendeteksi tsunami, pada kabel yang dibenamkan di dasar laut tersebut telah dipasang sensor.
ADVERTISEMENT
Deputi Bidang Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam BPPT, Hammam Riza menuturkan, baik buoy maupun CBT fungsinya sama-sama sebagai tsunami early warning system (TEWS). Tetapi, untuk biaya pengadaan di awal, perangkat buoy lebih murah dibandingkan dengan dengan sistem CBT.
"Sistem CBT selain lebih murah biaya perawatannya, juga aman. Karena barangnya ada di dasar laut," jelasnya di kantor BPPT, Kamis (4/10) malam.
Hamam menjelaskan, cara kerja CBT itu rangkaiannya bermula dari sensor mengirim sinyal tekanan air laut. Setelah itu, tekanan air laut kemudian diolah untuk menjadi bahan penetapan bakal terjadi tsunami atau tidak.
Ditambahkan Hamam, bencana alam itu merupakan sebuah siklus. Diawali dari pra bencana atau mitigasi. Kemudian tanggap darurat ketika bencana terjadi. Dan tahap terakhir adalah pemulihan atau recovery.
ADVERTISEMENT
Baca Lainnya : Daripada Meramal Kapan Akan Gempa, Lebih Baik Perkuat Mitigasi Bencana
Dia menjelaskan untuk ketiga tahap tersebut, BPPT sudah memiliki teknologi masing-masing. Untuk mitigasi bencana, selain alat deteksi dini tsunami, BPPT juga memiliki teknologi deteksi konstruksi gedung.
Dengan permodelan tertentu, sebuah gedung akan disimulasikan bisa kuat sampai menghadapi guncangan gempa berapa skala richter. Kemudian saat gempa terjadi atau pada masa tanggap darurat, BPPT memiliki teknologi pengemasan makanan dalam wujud biskuit.
Solusi teknologi lainnya adalah Air Siap diminum  (Arsinum). Teknologi ini mampu mengolah air baku yang keruh di lokasi gempa menjadi air siap minum.
Teknologi Arsinum sudah diterapkan di bencana gempa Lombok. Satu unit perangkat teknologi Arsinum saat ini juga sedang dalam perjalanan ke Palu diangkut menggunakan Kapal Baruna Jaya I.
ADVERTISEMENT
Sedangkan pada masa recovery atau pemulihan, BPPT memiliki teknologi rumah berasal dari komposit. Rumah ini dinilai tahan terhadap guncangan gempa. Rumah komposit BPPT diharapkan bisa digunakan sebagai tempat tinggal korban bencana, daripada tinggal cukup lama di tenda pengungsian sampai rumahnya kembali dibangun pemerintah.[KW]