Konten dari Pengguna

Pembukaan Lahan Rawa untuk Mencetak Sawah adalah 'Bom Waktu'

Trubus ID
Media online kekinian yang menyajikan informasi seputar gaya hidup hijau yang ramah lingkungan dan peristiwa terkait alam, lingkungan, sosial, serta pemberdayaan masyarakat untuk bumi kita yang lebih hijau dan lestari
28 Oktober 2018 0:10 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Trubus ID tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Trubus.id -- Kementerian Pertanian (Kementan) akan segera merealisasikan menjadi Lumbung Pangan Dunia pada 2045, dengan menyulap lahan rawa untuk ditanami padi. Akan tetapi, satu dari beberapa cara menembus obsesi tersebut, dinilai sebuah kesalahan besar dan membunuh secara perlahan ketahanan pangan Indonesia. 
ADVERTISEMENT
Menurut data Kementan, lahan baru berupa rawa lebak, kering dan pasang surut untuk dicetak menjadi sawah sekitar 33 juta lahan rawa. Terdiri 20 juta hektare lahan pasang surut dan kering dan 13 juta hektare lahan rawa lebak. Sebarannya berada di wilayah Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan Papua. 
Ketua Kelompok Ahli Badan Restorasi Gambut (BRG) Azwar Maas memberikan koreksi terhadap hal-hal yang sebenarnya sudah terealisasi atas nama keterlanjuran tersebut. Ekosistem rawa yang berada dalam wiayah kesatuan hidrologi gambut tersebut lebih penting menyimpan karbon dalam jumah besar dan penambat (sequester), menyerap dan menyimpan karbon sehingga berkontribusi dalam perubahan ikim, ketimbang ekstensifikasi pertanian. 
Baca Lainnya : Hari Tani Nasional, Kadin Ajak Intitusi Pemerintahan Bahas Ketahanan Pangan
ADVERTISEMENT
"Ketika lahan gambut dibuka tidak akan kembali lagi kepada fungsinya seperti di awal, hanya bisa memperpanjang masa tanam dengan memberikan nutrisi kepada tanah. Memang disini gambut mempunyai berbagai unsur nutrisi yang sangat berpotensi besar dan memiliki kecocokan untuk beberapa varietas padi, akan tetapi umur kesuburan gambut lebih pendek, jadi hanya bersifat sementara tidak bisa berkeanjutan," jelas Azwar di Jakarta,  Rabu (24/10). 
Azwar menjelaskan, akan lebih baik jika peran gambut jangan diputus. Kesatuan hdroogi Gambut areal sekelilingnya mencegah terjadinya banjir dan kekeringan. Permasalahan lainnya adalah  lahan gambut yang telah dibuka dan dimanfaatkan akan berubah menjadi lahan rusak dan terancam melepaskan emisi Gas Rumah Kaca atau yang biasa disingkat GRK ke atmosfer. 
ADVERTISEMENT
"Setiap satu juta hektar lahan gambut diperkirakan mempunyai potensi emisi GRK yang akan lepas ke atmosfer setara dengan 2,2 – 3,7 juta ton C pertahun. Boleh dikatan kita seolah-olah menyimpan "bom waktu" yang siap meledak memporak-porandakan lingkungan hidup kita masa mendatang dan secara langsung menggangu ketahanan pangan, seperti hama bermunculan, cuaca yang tidak menentu merubah siklus pertanian dan perkebunan dan lain-lain," jelasnya. 
Baca Lainnya : Buwas: Perlu Sinergi Wujudkan Ketahanan Pangan Indonesia
Ia menjelaskan, menurut keadaan dan sifatnya, sebagian besar besar gambut di Indonesia bersifat ombrogen campuran organik dan mineral, ada asupan dari sungai berupa mineral menambah nutrisi bagi tumbuhan yang lapuk dan membuat lapisan-lapisan baru cenderung cembung mirip kubah. Air hujan menambah kemasaman peranan penting dalam pembentukan gambut ombrogen ini. 
ADVERTISEMENT
Kalau rawa lebak masuk gambut topogen biasanya ada imbuhan mineral masukan dari pasang surut muara atau di laut. Ada unsur besi dari atas dan ada sulfat dari bawah bertemu dalam kondisi tahan udara makanya jadi pirit yang jika diekspos menyebabkan teroksidasi akan mengeluarkan asam, dan setiap proses reduksi menurunkan tingkat kemasaman.  
"Baik gambut topogen, maupun gambut asli lebih dari satu meter dulunya sangat dihindari karena gambut mateng, tidak seperti gambut sisa sisa kayu. tetapi kebijakan-kebijakan lainnya turut mengeintervensi. Jangan paksa satu lingkungan terpatahkan daya sanngahnya, ekositem gambut akan kehiangan peran dan guna dipaksa berproduksi dengan tinggi karena eksositem hancur harganya lebih mahal untuk ketahanan pangan," jelas Guru Besar Ilmu Tanah Fakultas Pertanian UGM yang juga pernah menjalani Proyek Pasang Surut Ketahanan Pangan pada tahun 1974. [NN]
ADVERTISEMENT