Konten dari Pengguna

Upaya Cina ‘Membuat’ Hukum Internasional Baru di Laut Cina Selatan

Trystanto
Lulusan S1 Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada
18 Maret 2024 14:37 WIB
·
waktu baca 12 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Trystanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Melalui tindakan-tindakan untuk menegakkan klaimnya di Laut Cina Selatan, Cina sedang menjalankan sebuah operasi senyap untuk 'mengubah' hukum internasional di Laut Cina Selatan sesuai keinginannya

ADVERTISEMENT
Konflik dalam sengketa Laut Cina Selatan (LCS) semakin memanas setiap tahunnya. Cina semakin memiliki tekad yang kuat untuk menggunakan upaya militer dan semi-militer untuk menegakkan klaim sembilan garis putus-putus (nine dash-line) yang mencakup 90% dari LCS, meskipun klaim tersebut telah dinyatakan tidak sah dan tidak sesuai dengan hukum internasional, terutama Konvensi Hukum Laut PBB (United Nations Convention on the Law of the Sea; UNCLOS) oleh Mahkamah Arbitrase Internasional di Den Haag pada 2016 lalu. Baru-baru ini, kapal penjaga pantai Cina menyemprotkan air dengan selang bertekanan tinggi kepada kapal penjaga pantai Filipina yang mencoba untuk mengirimkan persediaan untuk prajurit Filipina yang ditugaskan di Second Thomas Shoal, sebuah gugus pulau yang diklaim oleh Filipina menggunakan UNCLOS dan diklaim juga oleh Cina atas dasar ‘hak sejarah.’ Indonesia sendiri tidak luput dari upaya Cina menegakkan klaimnya di LCS, meskipun dalam intensitas yang relatif lebih rendah. Pada Januari 2023, misalnya, Cina mengirimkan kapal penjaga pantai terbesarnya untuk melakukan patroli di sekitar wilayah Laut Natuna Utara ketika Indonesia dan Vietnam merampungkan perjanjian perbatasan maritim kedua negara.
Kapal penjaga pantai Cina, Mei 2017. Sumber: Igor Grochev melalui Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Kapal penjaga pantai Cina, Mei 2017. Sumber: Igor Grochev melalui Shutterstock
Meskipun upaya militer dan semimiliter Cina untuk menegakkan klaimnya secara fisik telah banyak diliput, ada sebuah isu yang jarang dibahas namun sama pentingnya dengan aspek militer: upaya Cina untuk mengubah hukum internasional yang ada (UNCLOS) dan menegakkan hukum internasional yang baru di kawasan LCS. Hal ini penting karena hukum internasional dapat memberikan keabsahan kepada upaya-upaya Cina untuk menegakkan klaimnya di LCS. Tentu saja, apabila upaya Cina untuk menegakkan hukum baru di LCS berhasil diterima dunia, upaya Indonesia untuk menegakkan hukum maritim sesuai dengan UNCLOS dan melakukan operasi militer di kawasan Laut Natuna Utara akan terhambat karena masalah kedudukan hukum (legal standing) Indonesia di mata dunia internasional. Lebih dari itu, mungkin saja Indonesia ‘diharuskan’ untuk menerima klaim 9DL dan hukum baru Cina di kawasan LCS.
ADVERTISEMENT
Sumber Hukum Internasional
Sebelum membahas upaya Cina untuk membuat hukum internasional baru di LCS, ada baiknya pembaca mengetahui sumber-sumber hukum internasional yang berlaku di dunia. Hal ini agar pembaca memiliki kesamaan konsepsi dan cara berpikir mengenai proses pembentukan hukum internasional dan bagaimana hal tersebut dapat mempengaruhi Indonesia.
Menurut Pasal 38 dari Piagam Mahkamah Internasional (Statute of the International Court of Justice), terdapat empat sumber hukum internasional: perjanjian internasional, kebiasaan internasional (international custom), prinsip-prinsip umum dalam hukum (general principles of law), dan pendapat para ahli hukum terkemuka dunia. Namun, hanya dua sumber pertama, perjanjian internasional dan kebiasaan internasional, yang menjadi sumber utama dari hukum internasional. Kedua sumber ini memiliki kedudukan yang sama, sehingga perjanjian internasional tidak lebih tinggi kedudukannya dibanding kebiasaan internasional, dan sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Perjanjian internasional merupakan sebuah perjanjian hukum yang secara tertulis menjelaskan apa yang harus, boleh, atau tidak boleh dilakukan sebuah negara. Ada beberapa nama berbeda yang digunakan untuk menamai sebuah perjanjian internasional: traktat, konvensi, protokol, perjanjian, dsb. Namun, intinya, perjanjian internasional merupakan sebuah hukum internasional yang sudah dikodifikasi dan bersifat hitam di atas putih.
Namun, yang menjadi fokus pada tulisan ini adalah kebiasaan internasional. Berbeda dengan perjanjian internasional, kebiasaan internasional adalah praktik umum yang diterima dan dianggap oleh negara-negara sebagai sebuah hukum, menurut Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional. Dengan kata lain, kebiasaan internasional adalah sekelompok peraturan yang tidak tertulis yang mengharuskan, membolehkan, atau melarang sebuah negara untuk melakukan suatu hal. Kebiasaan internasional dapat terbentuk oleh kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok negara secara terus menerus hingga membentuk sebuah pola pikir bahwa kegiatan atau peraturan tersebut merupakan sebuah hukum yang berlaku di wilayah tersebut, dan semua negara yang terlibat harus menyetujui dan menganggap bahwa kegiatan tersebut harus dilakukan. Apabila dikehendaki, kebiasaan internasional dapat dikodifikasi dan dituliskan menjadi sebuah perjanjian internasional.
ADVERTISEMENT
Maka, ada dua unsur yang penting dalam pembentukan kebiasaan internasional: kegiatan yang berulang-ulang (usus longaevus) dan kepercayaan bahwa hal tersebut harus dilakukan (opinio iuris sive necessitatis). Menurut Rebecca Crootof, profesor hukum di Universitas Richmond, kebiasaan internasional dapat memodifikasi sebuah perjanjian internasional yang tertulis apabila negara-negara di kawasan mulai melakukan hal-hal yang berbeda secara terus-menerus dan menganggap bahwa hal yang berbeda itu harus dilakukan.
Jadi, secara teori, Cina dapat mengubah UNCLOS dan menerapkan hukum internasional yang baru sesuai yang diinginkannya di kawasan melalui penerapan kebiasaan internasional apabila negara-negara pengklaim kawasan LCS di Asia Tenggara tidak protes dan mulai mengikuti peraturan yang diinginkan Cina
Upaya Cina Membentuk Hukum Baru di LCS
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa tahun terakhir, Cina sudah mencoba untuk melakukan upaya jangka panjang agar sebuah kebiasaan internasional baru dapat terbentuk di kawasan LCS yang dapat mengganti peran UNCLOS. Hal ini dapat terlihat dari tiga contoh tindakan Cina dalam menegakkan klaimnya di kawasan.
Contoh pertama, dalam beberapa tahun terakhir, ketika kapal-kapal perang Amerika Serikat dan negara lain mencoba untuk melakukan operasi kebebasan berlayar (freedom of navigation operation) di sekitar pulau reklamasi Cina yang disengketakan, Cina terus mengirimkan pesan radio yang berbunyi bahwa kapal perang tersebut telah melanggar kedaulatan wilayah Cina tanpa izin. Ada setidaknya tiga hal yang menjadi perkara: (1) Mahkamah Arbitrase Internasional pada 2016 telah menyatakan bahwa hampir seluruh pulau di LCS bukanlah sebuah ‘pulau’ dalam hukum internasional dan tidak memiliki ZEE dan laut territorial; (2) pulau reklamasi tidak mendapat tambahan jangkauan ZEE dan laut territorial; dan, (3) menurut UNCLOS, kapal seluruh negara, termasuk kapal perang, berhak melewati laut teritorial sebuah negara tanpa izin, apabila hanya numpang lewat menuju tujuan akhir (right of innocent passage).
ADVERTISEMENT
Dengan deklarasi dan praktik terus-menerus, Cina ingin membentuk atau mengubah sebuah pengertian bahwa kapal perang yang mau berlayar dekat dengan pulau reklamasinya di Laut Cina Selatan harus memiliki izin dari pemerintah Cina. Tentu saja, hal ini tidak sesuai dengan hukum maritim internasional yang berlaku sekarang, yaitu UNCLOS. Namun, apabila di masa depan negara-negara di kawasan mulai mengikuti kemauan Cina dan menganggap bahwa hal itu merupakan keharusan, maka bukan tidak mungkin UNCLOS akan digantikan oleh kebiasaan internasional yang diinginkan Cina. Apabila hal ini terjadi, maka hak negara-negara, termasuk Indonesia, dalam menjalani operasi kapal perang di LCS dapat berkurang karena harus memiliki izin terlebih dahulu dari negara yang menduduki pulau sengketa – dalam hal ini Cina. Padahal, UNCLOS tidak mengharuskan hal tersebut
Salah satu pulau di gugus kepulauan Spratly dari udara, Mei 2017. Sumber: Hlib Shabashnyi melalui Shutterstock
Contoh kedua, pada tahun 2021, Cina mengesahkan Undang-undang (UU) Penjagaan Wilayah Pesisir (China Coast Guard Law) yang mengharuskan seluruh kapal pemerintah asing yang ingin masuk ke wilayah maritim yang diklaim Cina harus meminta izin terlebih dahulu kepada Pemerintah Cina. Apabila melanggar, aparatur bersenjata Cina dapat menggunakan peluru tajam untuk menegakkan UU tersebut, di mana pelanggar akan ditindak secara militer.
ADVERTISEMENT
Setidaknya ada dua permasalahan pada UU tersebut yang dapat mempengaruhi kedaulatan militer Indonesia: (1) spesifikasi batas maritim yang diklaim Cina masih belum jelas hingga hari ini yang berarti Cina bisa saja menggunakan peluru tajam untuk menembak kapal perang Indonesia yang berlayar di dekat pulau Natuna apabila Cina menganggap kapal perang Indonesia tersebut memasuki wilayah yang diklaim Cina tanpa izin, dan (2) seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, UNCLOS mengatakan bahwa seluruh kapal dapat memasuki laut teritorial negara lain apabila hanya numpang lewat berlayar ke tujuan. Apabila UU tersebut ditegakkan, bisa jadi kapal Pemerintah Indonesia yang ingin ke Vietnam atau Jepang harus meminta izin dari Cina terlebih dahulu apabila mereka ingin melewati LCS. Tentu saja, hal-hal ini dapat menganggu operasional militer Indonesia dalam menegakkan kedaulatannya karena harus meminta izin terlebih dahulu kepada negara asing.
ADVERTISEMENT
Dengan penggunaan UU tersebut sebagai dasar untuk melakukan operasi militer dan semi-militer di LCS, Cina dapat berupaya agar, dalam jangka yang panjang, pasal-pasal dalam UU tersebut dapat dimengerti dan diterima oleh negara-negara di kawasan sebagai sebuah kebiasaan internasional sebagai sebuah pedoman dalam bertindak di LCS. Apabila negara-negara klaiman di Asia Tenggara tidak menolak secara keras UU tersebut, maka kesenyapan tersebut dapat dijadikan argumen oleh Cina yang mengklaim bahwa negara di Asia Tenggara menyetujui klaim dan peraturan Cina.
Contoh terakhir, pada Agustus 2023, Cina mengeluarkan sebuah peta resmi termutakhir yang menandakan sembilan garis putus-putus di LCS dan menambahkan satu garis lagi untuk mencakup Pulau Taiwan. Memang, tidak ada klaim yang baru dalam peta yang baru ini. Namun, fungsi yang sebenarnya adalah menjadi bagian dari serial peta yang secara terus-menerus dipublikasikan oleh Cina untuk menjadi dasar menegakkan klaimnya di LCS dalam lingkup hukum. Apabila negara-negara lain tidak memprotes peta baru ini, maka sikap mereka yang bungkam tersebut dapat diartikan sebagai sebuah persetujuan oleh Cina dan dunia internasional terhadap peta resmi Cina. Tidak adanya protes dari negara-negara Asia Tenggara beberapa tahun setelah tahun 1947, di mana klaim Cina diungkapkan pertama kali, digunakan oleh Xiaoqin Shi, seorang kolonel di tentara Cina, dan Li Jinming sebagai dasar untuk mengklaim bahwa negara Asia Tenggara yang lain setuju secara implisit terhadap klaim Cina.
ADVERTISEMENT
Hal tentu saja dapat mengganggu kedaulatan Indonesia. Apabila peta baru Cina dianggap sah oleh dunia internasional, maka klaim maritim Indonesia di sekitar Pulau Natuna dapat diragukan atau bahkan dianggap tidak sah. Hasilnya, wilayah maritim Indonesia dapat berkurang.
Memang, apabila ketiga contoh tersebut dianalisis secara terpisah, maka dampak yang dihasilkan secara langsung mungkin terlihat kecil. Namun, ini merupakan cara berpikir yang keliru. Ketiga contoh tersebut harus dianalisis secara bersamaan dalam konteks upaya Cina untuk menerapkan dan menerapkan aturan yang diinginkan negara tersebut di LCS. Lalu, bagaikan peribahasa sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit, apabila Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lengah dan tidak memprotes aksi Cina, legitimasi terhadap klaim Cina dapat terkumpul sedikit demi sedikit hingga akhirnya menjadi kuat. Dan, apabila Indonesia dan negara-negara lain mulai mengikuti peraturan yang diterapkan oleh Cina, negara-negara lain dapat memiliki persepsi Indonesia dan negara ASEAN lain sudah setuju atas peraturan Cina dan menganggap bahwa sudah ada hukum internasional yang baru di kawasan LCS, yaitu peraturan yang dibuat oleh Cina. Apabila ini sudah terjadi, maka upaya Indonesia untuk mempertahankan kedaulatannya di Laut Natuna Utara dapat terhambat karena sudah dianggap setuju dengan aturan main Cina – negara yang juga mengklaim sebagian Laut Natuna Utara – oleh Cina dan dunia internasional.
ADVERTISEMENT
Ini merupakan rencana jangka panjang. Pembentukan sebuah kebiasaan internasional membutuhkan waktu puluhan tahun. Pada jangka waktu itulah, Cina menggunakan sumber daya militer dan semi-militer untuk menegakkan klaimnya secara fisik di LCS. Kendali fisik dapat menegakkan klaim hukum 9DL Cina di LCS. Lalu, klaim hukum yang kuat di LCS akan juga memperkuat upaya Cina untuk memperluas dan memperkukuh kendali atas klaimnya di LCS. Pada akhirnya, upaya hukum dan upaya militer dan semi-militer di LCS akan saling memperkuat.
Apa yang dapat Dilakukan oleh Indonesia?
Tentu saja, Indonesia tidak boleh berdiam diri dan harus melakukan upaya-upaya militer dan diplomasi untuk memperkuat serta mempertahankan klaimnya di Laut Natuna Utara.
Langkah yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia pada saat ini sudah tepat. Setiap ada langkah sepihak dari Cina untuk menegakkan kedaulatannya, pemerintah selalu memberikan tanggapan bahwa seluruh klaim maritim harus dilakukan sesuai dengan UNCLOS. Pada bulan Agustus 2023, misalnya, Setelah Cina mengeluarkan peta resmi baru yang menunjukkan klaim Cina di LCS, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi memberikan pernyataan bahwa seluruh klaim maritim harus didasari oleh UNCLOS, yang dapat diartikan menolak klaim tersebut karena klaim tersebut tidak sesuai dengan UNCLOS. Lalu, setelah terjadi penyusupan kapal Cina secara besar-besaran pada bulan Januari 2020, Presiden Joko Widodo menekankan pentingnya Indonesia untuk mempertahankan hak maritimnya. Selain itu, melalui sebuah surat yang ditujukan kepada Sekretaris-Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada bulan Mei 2020, Perwakilan Tetap Republik Indonesia (PTRI) untuk PBB di New York secara tegas menolak untuk mengakui klaim 9DL Cina. Ini merupakan langkah yang vital karena, untuk pertama kalinya, posisi Indonesia dicatat di data PBB.
ADVERTISEMENT
Lebih dari itu, Indonesia selalu memberikan pernyataan secara berkala bahwa UNCLOS harus dijadikan pedoman satu-satunya dalam melakukan klaim dan menyelesaikan sengketa maritim. Hal ini terlihat dari pernyataan pers tahunan menteri luar negeri yang selalu menekankan kedudukan tertinggi UNCLOS dalam klaim maritim dan pelaksanaan kegiatan maritim di laut.
Namun, Indonesia dapat melakukan lebih dari itu. Indonesia dapat melanjutkan kembali kegiatan penangkapan dan penenggelaman kapal-kapal yang menangkap ikan di kawasan ZEE Indonesia secara ilegal. Pemerintah dapat menunjukkan keseriusannya dalam mempertahankan kedaulatannya di Laut Natuna Utara dan memberikan pesan ke Cina bahwa Indonesia tidak gentar mempertahankan kedaulatannya meskipun harus berhadapan dengan sebuah negara adidaya di kawasan. Lebih daripada itu, Indonesia dapat mengundang awak media asing untuk meliput kegiatan penenggelaman untuk kemudian diliput dan disiarkan. Penonton di seluruh dunia tentu saja dapat tertarik kepada efek ledakan yang dramatis, terutama apabila ada kapal penjaga pantai Cina yang nampak jauh di belakang. Hal ini dilakukan agar dunia internasional mengetahui bahwa Indonesia secara tegas menolak klaim Cina di LCS dan mencegah terbentuknya persepsi bahwa Indonesia menyetujui peraturan Cina di LCS. Tentu saja, ini dapat mencegah terbentuknya sebuah kebiasaan internasional.
ADVERTISEMENT
Lalu, di panggung internasional, Indonesia beserta negara-negara pengklaim LCS lain di Asia Tenggara dapat membuat sebuah deklarasi bersama yang menolak klaim ilegal Cina dan menegakkan supremasi UNCLOS sebagai sumber hukum maritim satu-satunya di dunia. Deklarasi bersama ini dapat dicantumkan di dalam deklarasi bersama KTT ASEAN atau, jika hal tersebut tidak memungkinkan, dilakukan di luar kerangka ASEAN. Hal ini ditujukan untuk mengekspresikan ketidaksetujuan Indonesia dan negara-negara klaiman Asia Tenggara terhadap klaim Cina yang tidak didasari oleh UNCLOS. Lebih dari itu, deklarasi ini juga dapat mencegah terbentuknya suatu kebiasaan internasional dengan menunjukkan oposisi negara-negara klaiman Asia Tenggara terhadap peraturan dan klaim Cina di LCS. Terakhir, sebuah deklarasi bersama juga memiliki nilai politik yang tinggi karena deklarasi tersebut dapat dijadikan sebagai bukti bahwa negara-negara klaiman Asia Tenggara dapat bersatu dan menyamakan posisi hukum dan politik mereka melawan klaim Cina yang tidak sah
ADVERTISEMENT
Trystanto adalah lulusan S1 Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada. Selain itu, ia juga merupakan peserta program pertukaran pelajar di Institut d'études politiques de Paris pada tahun 2023.