Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menjadi Anggota DPR dan Sistem Pencegahan Korupsi
5 Januari 2018 15:49 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:12 WIB
Tulisan dari Tsamara Amany tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
2018 merupakan tahun politik. Selain dilaksanakannya Pilkada di 171 daerah, mulai tahun ini rangkaian Pemilu 2019 akan segera dimulai.
Bulan Februari 2018 ini, publik akan segera mengetahui partai politik mana saja yang secara resmi akan bertarung pada pemilu 2019. Di pertengahan tahun 2018, kita semua juga akan mengetahui siapa saja calon-calon wakil rakyat (caleg) di masing-masing daerah pemilihan. Bahkan, kita juga sudah mengetahui calon presiden dan calon wakil presidennya.
Pada awal tahun politik ini, saya ingin bercerita kepada teman-teman semua kenapa saya memutuskan untuk mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif. Dalam beberapa kesempatan, saya sudah banyak bercerita alasan mengapa saya terjun ke politik.
Pertama, saya tidak mau anak muda selalu dipinggirkan dalam politik Indonesia. Tahun 2019, suara anak muda akan diperebutkan. Tapi ironis sekali rasanya ketika suara mereka diperebutkan, mereka tak diberi tempat untuk berkembang dalam panggung politik Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kedua, saya sering kali menyatakan bahwa mengubah sistem harus berada di dalam sistem. Nah, sebenarnya, sistem apa yang saya ingin ubah? Memangnya ada masalah apa dengan sistem yang ada saat ini?
Saya dan mungkin banyak orang sudah sering mendengar narasi bahwa KPK gagal melakukan pencegahan korupsi. Memang kalau melihat faktanya, kerugian negara akibat korupsi begitu besar.
Laporan laboratorium ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) menyebutkan sejak tahun 2001 hingga tahun 2015, kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp 203,9 triliun. Total kerugian negara tersebut berasal dari 2,321 kasus. Namun hanya Rp 21,26 triliun atau 10,42% yang mampu dikembalikan dari total kerugian tersebut. Intinya, negara tetap mengalami kerugian besar meski pelakunya sudah ditindak.
ADVERTISEMENT
Sepanjang tahun 2016, Indonesian Corruption Watch (ICW) menyebut jumlah kerugian negara sebesar Rp 3,085 triliun. Hingga Juni 2017, ada 226 kasus korupsi dengan 587 tersangka dan merugikan negara sebesar Rp 1,83 triliun.
Belum lagi kalau kita melihat banyaknya kepala daerah yang tertangkap tangan akibat korupsi oleh KPK (OTT).
Kerugian negara demikian besar. Jelas ada yang salah dengan sistem kita. Saya setuju jika KPK harus lebih aktif melakukan pencegahan karena faktanya pelaku korupsi tidak mampu mengembalikan kerugian negara yang telah mereka hasilkan. Tapi perlu pula dipahami bahwa KPK tak mungkin melakukan pencegahan sendiri. Harus ada bantuan dari pemerintah dan DPR untuk menyelesaikan persoalan ini.
Pemerintah dan DPR harus menyiapkan sistem untuk KPK dalam melakukan pencegahan. Saya melihat penganggaran online (E-Budgeting) merupakan salah satu solusi masuk akal dalam mengatasi persoalan korupsi yang marak.
ADVERTISEMENT
Bagi warga Jakarta, E-Budgeting mungkin sudah tidak asing lagi. Pos-pos anggaran dimasukkan secara online sehingga bisa terlihat instansi mana yang mengusulkannya. Anggaran dibuka secara transparan kepada publik hingga ke level satuan tiga, level terinci sekalipun.
Itu yang menjadi alasan mengapa beberapa waktu lalu, kita dapat meributkan soal anggaran tim gubernur yang mencapai Rp 28 M atau misal anggaran pembangunan kolam DPRD hingga Rp 620 juta.
Perdebatan publik yang akhirnya membuat anggaran kolam DPRD sebesar Rp 620 juta dicoret dari APBD DKI 2018. Ketika anggaran dibuka secara gamblang, publik bisa ikut berpartisipasi dalam mengawasi uangnya dan bahkan pengambilan keputusan itu sendiri.
Bukan hanya itu, serapan anggaran bisa dilihat secara real time. Ini sama seperti di Jawa Tengah di mana anggaran mereka juga bisa dilihat secara real time dalam Government Resources Management System (GRMS).
ADVERTISEMENT
Jakarta, Surabaya, Bandung, Provinsi Jawa Tengah dan beberapa daerah lainnya sudah menerapkan E-Budgeting. Selama ini E-Budgeting hadir karena inovasi kepala daerah. Tapi E-Budgeting seharusnya wajib diterapkan oleh seluruh daerah. Ia harus diterapkan secara nasional. Artinya, mulai dari APBN, APBD provinsi, hingga APBD Kabupaten/Kota juga harus dibahas dengan sistem E-Budgeting.
Seluruh anggaran mulai dari tingkat nasional, provinsi, hingga kabupaten/kota harus dibuka kepada publik secara rinci. Publik berhak tau uangnya digunakan untuk apa saja.
Selain terbuka kepada publik, sistem E-Budgeting ini harus bisa diakses oleh KPK. Saya membayangkan ada command center bersama antara KPK dan Kementerian Dalam Negeri untuk mengawasi proses penganggaran di daerah. Jadi, ketika RAPBD sampai ke Kemendagri untuk dievaluasi, KPK bisa memberikan saran jika melihat ada indikasi-indikasi yang mencurigakan dalam anggaran tersebut.
ADVERTISEMENT
Untuk mewujudkan ini, diperlukan undang-undang (UU) sebagai landasan hukumnya. Dalam UU ini, perlu ditegaskan bahwa E-Budgeting berlaku secara nasional. Artinya, kepala daerah yang menolak menerapkan E-Budgeting telah melanggar UU. Tapi sampai saat ini UU E-Budgeting belum ada. Sehingga diperlukan good will pemerintah dan DPR RI untuk segera merumuskan, membahas dan mengesahkan RUU tersebut sebagai payung hukum penyelenggaraan pemerintahan yang bersih.
Presiden Jokowi mengatakan akan membuat Peraturan Presiden (Perpres) mengenai ini. Namun, Perpres bisa dibatalkan dengan mudahnya jika Presidennya berganti. Hal ini berbeda dengan UU yang dalam prosesnya membutuhkan persetujuan DPR dan sebaliknya membutuhkan persetujuan Presiden.
Ini sama seperti UU KPK. Banyak desakan untuk merevisi UU ini, tapi faktanya tak semudah itu. Jangankan sampai ke tangan Presiden yang biasanya selalu menolak revisi UU KPK, di dalam DPR sendiri, tak semuanya bisa satu suara terkait revisi UU KPK. Ini semua berkat dukungan publik yang kuat.
ADVERTISEMENT
Saya meyakini jika E-Budgeting menjadi UU di mana KPK juga diberi akses ke dalamnya dan ini menjadi alat dalam melakukan pencegahan korupsi, dukungan publik terhadap sistem ini akan kuat. Siapapun yang menjadi presiden nanti atau siapapun anggota DPRnya nanti sebagai tokoh-tokoh politik yang juga membutuhkan suara publik, tidak akan berani mengganti sistem pencegahan korupsi ini.
Jika UU E-Budgeting terlaksana, itu bentuk pembelaan konkrit pemerintah dan DPR terhadap KPK dan pencegahan korupsi.
Itulah yang saya ingin perjuangkan jika menjadi anggota DPR RI. Inilah sistem yang ingin saya ubah. Jika berada di luar sistem, saya mungkin hanya mampu melakukan pembelaan terhadap KPK lewat lisan dan tulisan. Tapi jika berada di dalam sistem, saya akan mampu membela KPK melalui kebijakan-kebijakan yang konkrit.
ADVERTISEMENT
Ini bukan perjuangan yang mudah. Tapi tidak ada yang mustahil di dunia ini. It always seems impossible until it's done. Begitulah kata Nelson Mandela.
Bismillah..