Konten dari Pengguna

Latah Sosial di Era Kini: Baik atau Buruk?

Tsamara Fatin Putri Purnama
Mahasiswa S1 Fakultas Psikologi Universitas Sebelas Maret Surakarta
7 Juni 2022 17:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tsamara Fatin Putri Purnama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Masyarakat dewasa ini begitu dekat dengan sosial media. Riset dari DataReportal menunjukkan bahwa jumlah pengguna media sosial Indonesia mencapai 191,4 juta pada Januari 2022. Latah dalam bersosial media menjadi salah satu fenomena yang turut muncul atasnya. Sumber gambar: "geralt" from @pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Masyarakat dewasa ini begitu dekat dengan sosial media. Riset dari DataReportal menunjukkan bahwa jumlah pengguna media sosial Indonesia mencapai 191,4 juta pada Januari 2022. Latah dalam bersosial media menjadi salah satu fenomena yang turut muncul atasnya. Sumber gambar: "geralt" from @pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Menuju era Society 5.0 ini, siapa, sih, yang tidak kenal dengan sosial media? Hampir seluruh lapisan masyarakat Indonesia mengenal baik apa itu sosial media. Maraknya penggunaan sosial media turut menambahkan warna baru dalam dinamika interaksi manusia seiring dengan masifnya penyebaran informasi, kemudahan komunikasi, serta cepatnya perputaran media di sekitar kita.
ADVERTISEMENT
Mengutip dari Isnaini (2020), kemudahan dalam mengakses seluk beluk dunia yang dibersamai dengan keinginan untuk menunjukkan eksistensi diri turut menimbulkan keinginan untuk tercitra sama dengan kondisi mayoritas. Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat B. Douglas Bernheim pada artikelnya, A Theory of Conformity (1994) yang mengungkapkan bahwa sebuah tren seringkali meluas bersamaan dengan faktor-faktor yang meliputi; harga diri, popularitas, atau sebatas ingin terlihat berada dalam satu arus dengan orang lain.
Penjelasan – penjelasan di atas dapat kita gunakan untuk membedah fenomena “latah sosial” yang kerap menerpa warganet Indonesia. Lalu, apa, sih, yang dimaksud dengan latah sosial?
Barang kali, sahabat kumparan tidak asing dengan “Ghozali Everyday”. Ya, pemuda yang sempat viral karena sukses menjadi ‘miliarder dadakan’ berkat kumpulan swafoto konsisten yang ia jual di situs OpenSea tampaknya memberi ide dan harapan sumber cuan baru bagi warganet Indonesia. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya netizen yang mengikuti jejak Ghozali dalam bermain NFT.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, banyak warganet yang sekedar “mengikuti jejak” tanpa memahami betul bagaimana sistem di OpenSea dan NFT bekerja. Banyak dari warganet tersebut yang malah mengalihfungsikan OpenSea menjadi platform jual-beli online hingga dengan ‘sembrono’ menjual kumpulan swafoto yang memegang KTP. Parahnya, bukan hanya satu atau dua orang saja, loh, yang melakukan hal tersebut.
Kasus serupa dapat kita temui dalam kabar duka atas terseretnya Emmeril Kahn Mumtaz oleh arus Sungai Aare di Kota Bern, Swiss pada 26 Mei 2022 silam. Kelakuan ajaib warganet Indonesia kembali muncul ke permukaan dengan banyaknya ulasan buruk mengenai Sungai Aare di Google. Perilaku tersebut banyak dianggap sebagai perilaku ungkapan duka yang tidak sesuai konteks. Meskipun demikian, ketika kasus tersebut menjadi perbincangan dan menorehkan perdebatan, justru semakin banyak ulasan serupa yang terunggah.
ADVERTISEMENT
Bagaimana? Apakah dua kasus di atas telah memberikan gambaran mengenai fenomena latah sosial?
Secara umum, latah dapat diartikan sebagai gangguan saraf yang mengakibatkan pelaku secara spontan mengikuti kegiatan ataupun ucapan orang lain. Di lain sisi, dalam pengertian konteks fenomena latah sosial ini, latah dimaknai sebagai kegiatan yang meniru-niru orang lain atau dalam bahasa lain ikut menyebarkan dan memposting konten serupa dengan konten orang lain.
Putra & Sarjani (2022) menuturkan bahwasannya latah sosial dalam merancangan konten visual pada industri kreatif digital menjadi satu fenomena kekinian dewasa ini. Menurutnya, fenomena ini muncul sebagai kompensasi dari kebutuhan industri dalam media sosial yang masif dan cepat dimana kebutuhan tersebut memaksa para kreator untuk menciptakan sebuah karya yang bisa dinikmati setiap harinya oleh audience sehingga para kreator dapat menunjukkan “nilai keberadaan” mereka. Faktor kebutuhan tersebut memaksa para kreator untuk selalu mencipta, dan pada akhirnya menduplikasi konten-konten yang viral untuk menjaga eksistensi serta meraup keuntungan.
ADVERTISEMENT
Apakah fenomena latah sosial memiliki hubungan dengan self-efficacy?
Dukungan, perhatian, dan pujian yang diterima dari media sosial dapat meningkatkan self-efficacy seseorang. Sumber foto: diolah sendiri
Istilah “menunjukkan eksistensi” erat kaitannya dengan self-efficacy. Self-Efficacy itu sendiri diartikan Bandura (1986) sebagai suatu kepercayaan diri terhadap kemampuan dirinya dalam melakukan sesuatu untuk mencapai kesuksesan.
Penelitian Anshori, dkk. (2019) menunjukkan korelasi positif antara dukungan yang didapatkan dari sosial media dengan peningkatan self-efficacy pada diri mahasiswa. Penelitian empiris serupa yang dilakukan oleh Priyanti, dkk. (2021) turut menunjukkan hasil dimana pada siswa SMK Jurusan Akutansi, self-efficacy banyak dipengaruhi oleh dukungan media sosial hingga dapat mempengaruhi prestasi akademik siswa. Dengan demikian, kaitannya dengan kasus latah sosial ini, keinginan untuk menjadi “viral” yang muncul seiring dengan perilaku warganet untuk menunjukkan eksistensi mereka dapat dilatarbelakangi oleh usaha mereka dalam meningkatkan self-efficacy.
ADVERTISEMENT
Paparan penjelasan di atas dapat kita temukan pada kasus “Ghozali Everyday”. Awalnya, banyak warganet yang mengikuti jejak Ghozali dengan harapan dapat meraih keuntungan dan ketenaran serupa. Warganet dari platform lain turut ingin menunjukkan eksistensi mereka dengan mengomentari aksi salah konteks tersebut melalui media lain seperti pada aplikasi TikTok maupun Twitter sehingga kasus tersebut semakin banyak di bincangkan.
Akibat berita yang digoreng terus menerus, akhirnya, banyak pula warganet yang semakin latah dan mulai melakukan “hal nyeleneh” seperti mengirim foto yang tidak pantas hingga swafoto ber-KTP agar mendapat panggung lebih, dijadikan buah bibir, serta mengharapkan perhatian dan dukungan untuk menjunjung self-efficacy mereka.
Terus, hubungannya dengan konformitas?
Kembali pada poin dimana B. Douglas Bernheim (1994) tentang perluasan tren, pernyataan tersebut dapat menjawab ihwal mengapa konten-konten yang cepat berganti seperti pada aplikasi TikTok cenderung seragam. Menurut Bernheim, teori konformitas berbicara mengenai kemiripan preferensi sikap seseorang yang dapat mengundang banyak pihak untuk melakukan hal serupa.
ADVERTISEMENT
Sebentar, apa itu konformitas?
David O’Sears mendefinisikan konformitas sebagai perilaku tertentu yang dilakukan oleh seseorang yang disebabkan karena orang lain melakukan hal tersebut. Terdapat beberapa pokok penting dari konformitas, diantaranya:
a. Penyesuaian. Penyesuaian dilakukan individu terhadap norma yang berlaku dalam sebuah kelompok
b. Perubahan. Perubahan terjadi sebagai hasil dari penyesuaian yang dilakukan individu terhadap suatu norma tertentu dalam kelompok. Perubahan dapat meliputi keyakinan, sikap, maupun perilaku.
c. Tekanan kelompok. Tekanan kelompok menjadi penyebab seorang individu melakukan penyesuaian. Tekanan kelompok ini dapat bersifat nyata maupun imajinasi.
Nah, kembali pada pendapat Bernheim, teori konformitas berupaya menjelaskan mengapa pada tataran tertentu, masyarakat cenderung berperilaku dengan standar tunggal tertentu. Masyarakat akan cenderung bersifat homogen dan bahkan mengecam semua bentuk tindakan yang dianggap bersebrangan dengan pilihan kebanyakan. Maka dari itu, perilaku mengikuti pendapat mayoritas dianggap sebagai perilaku yang paling wajar terjadi dalam kasus ini.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, dalam penelitian Bernheim turut didapati fakta bahwa banyak pihak kurang meninjau pilihan perilaku mereka. Seringkali ditemukan masyarakat khususnya warganet yang hanya memikirkan unsur ketenaran maupun status sosial sebagai motif-motif tindakan mereka.
Contohnya, pada kasus penyebaran swafoto dengan KTP pada situs OpenSea, kebanyakan warganet tidak ‘melek’ pada bahaya yang mengintai dari tersebarnya foto tersebut dikarenakan motif mereka murni untuk ikut-ikut, ingin viral, dan ingin mendapatkan panggung. Hanya sedikit dari mereka yang benar memahami bagaimana swafoto dengan KTP dapat dimanfaatkan untuk banyak hal buruk seperti pemalsuan pinjaman online, dan sebagainya.
Pun demikian dengan kasus pemberian rating buruk pada Sungai Aare di Google. Kebanyakan dari warganet sebenarnya hanya mengikuti arus media sosial di sekeliling mereka tanpa mengetahui bahwa apa yang mereka lakukan sebenarnya merupakan bentuk pengungkapan duka yang salah dan tidak sesuai dengan konteks. Parahnya, banyak dari mereka yang sebatas memanfaatkan keadaan untuk ikut mencicipi rasanya ‘ikut viral’ belaka.
ADVERTISEMENT
Apakah ada sisi positif dari perilaku latah sosial?
Seperti keseimbangan Ying dan Yang, tidak ada hal yang sempurna baik dan sempurna buruk di dunia ini. Melansir dari mediapeneliti.com, tidak selamanya latah sosial ini berkonotasi negatif. Sama halnya dengan konformitas itu sendiri, baik ataupun buruknya fenomena latah sosial sangat bergantung pada konteks dan individu yang terlibat di dalamnya. Latah sosial dapat menjadi positif ketika warganet berbondong-bondong ‘latah’ secara positif pada konten yang positif pula.
Contoh dari latah sosial positif ini dapat ditemukan pada tren menyumbangkan buku latihan SBMPTN yang terlanjur dibeli oleh mahasiswa yang lulus SNMPTN di Twitter. Selain itu, tren-tren lain seperti GA berbagi, zero waste, hari tanpa sedotan, dan konten-konten positif lainnya juga dapat memberikan dampak positif saat banyak orang mengikutinya.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, yuk, jadi warganet yang hanya latah untuk hal-hal baik!
Sumber Referensi:
Akert, R., Aronson, E., & Wilson, T. (2013). Social Psychology (8th ed.). Pearson Education.
Anshori, M. H., Sulistiani, I. R., & Mustafida, F. (2019). Hubungan self-efficacy dan adiksi media sosial dengan prestasi akademik Mahasiswa Fakultas Agama Islam. Vicratina: Jurnal Pendidikan Islam, 4(5), 93-99.
I Kadek Jayendra Dwi Putra, & Ni Ketut Pande Sarjani. (2022). FENOMENA LATAH SOSIAL DALAM PEMBUATAN KONTEN VISUAL DI ERA INDUSTRI KREATIF DIGITAL. AMARASI: JURNAL DESAIN KOMUNIKASI VISUAL, 3(1), 9–15. Retrieved from https://jurnal2.isi-dps.ac.id/index.php/amarasi/article/view/1040
Isnaini, S. (2020). Media Baru dan Suburnya Budaya Latah. Online at https://rahma.id/media-baru-dan-suburnya-budaya-latah/, accessed 7 June 2022.
Latah Sosial dan Panjat Sosial: Fenomena yang Membudaya. (2 Sep. 2020). Mediapeneliti.com. Online at https://mediapeneliti.com/latah-sosial-dan-panjat-sosial-fenomena-yang-membudaya/, accessed 7 June 2022.
ADVERTISEMENT
Priyanti, S. Y., Mardi, M., & Fauzi, A. (2021). Analisis Kecemasan Akademis Melalui Self Efficacy dan Dukungan Sosial pada Siswa SMK Jurusan Akuntansi. EDUKATIF: JURNAL ILMU PENDIDIKAN, 3(3), 758-769.