Ki Joko Wasis: Pelukis di Yogyakarta yang Dibayar Sukarela oleh Pelanggannya

tifani
Bernama lengkap Titah Tifani Tamaya. seorang mahasiswi Akademi Komunikasi Radya Binatama semester satu D3 penyiaran. Umur 21 tahun.
Konten dari Pengguna
2 Februari 2023 7:24 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari tifani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : Dokumentasi pribadi (Ki Joko Wasis sedang menggambar wajah seorang anak).
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Dokumentasi pribadi (Ki Joko Wasis sedang menggambar wajah seorang anak).
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Bekerja menjadi seorang pelukis sering dianggap remeh bagi kebanyakan orang karena dinilai bukan profesi yang menjamin. Namun, seorang kakek tua asal Kadipaten Kidul Kota Yogyakarta memilih untuk menekuni kegiatan ini sebagai mata pencaharian walaupun dibayar dengan sukarela.
Ia adalah Muhli Rubiyanto (62) kerap disapa Ki Joko Wasis ini telah menekuni profesi sebagai seniman selama 40 tahun. Bermodalkan tikar, kursi, meja, dan perlengkapan melukis Ki Joko Wasis membuka jasa melukis sketsa wajah setiap hari di Alun-alun Kidul Yogyakarta mulai dari menjelang maghrib sampai pukul 02.00 pagi.
Dalam sehari kakek tua empat anak dan dua cucu ini bisa mendapat empat sampai delapan pesanan dengan bayaran sukarela dengan hasil kisaran Rp 100 ribu sampai Rp 500 ribu. Hasilnya juga untuk membiayai anaknya yang masih sekolah di bangku SMP.
ADVERTISEMENT
Untuk membuat satu lukisan wajah membutuhkan 10-15 menit karena baginya yang lama bukanlah menggambarnya tapi mengarsir. Tidak hanya menggambar wajah di atas kertas, Ki Joko juga melukis dengan media yang bergantian seperti di atas kain (batik) atau tembok (mural). Hebatnya lagi ia bisa memvisualisasikan bentuk karya tulis puisi dan musik yang ia dengar.
Sumber : Dokumentasi pribadi (beberapa wajah yang telah digambar).
Ia tidak mematok harga pada karyanya dan membiarkan pelanggan membayar sukarela karena menurutnya penilaian seni di mata orang itu berbeda, orang akan merasakan nilai seni dengan begitu mereka akan sadar menghargai sebuah karya seni.
“Sehari dapat empat sampai delapan orderan rentang harganya sukarela tergantung pesanan dan penghasilannya enggak tentu. Kita ga bisa menduga hari ini dapet berapa, bisa hari ini dapet Rp 500 ribu tapi belum tentu besok ada orderan, malah pernah sehari nggak ada pemesan sama sekali,” ungkapnya sambil menggambar wajah seorang anak, Senin (30/01) lalu.
ADVERTISEMENT
Tak jarang ketika Ki Joko menggambar sketsa wajah temannya hanya dibayar rokok atau minuman saja. Bukan tanpa alasan Ki Joko Wasis menjadi pelukis wajah melainkan karena kecintaannya pada seni sejak kecil terutama seni menggambar.
Karya-karya yang pernah ia buat sering diikutsertakan dalam pameran seni. Tapi menurutnya karya yang diikutsertakan pameran ini masih belum bisa menjual, karena dunia seni tidak seperti dunia bisnis yang mana terus berputar dan lebih dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.
Sumber : Dokumentasi pribadi (gambar wajah pelanggan dua wajah anak).
Masa mudanya juga dihabiskan untuk mencari pengalaman dan relasi berkumpul dengan orang-orang seni. Dan sekarang Ki Joko Wasis termasuk generasi tua yang masih melestarikan seni rupa murni. Di mana generasi mudanya dalam menggambar terbantu oleh teknologi sehingga adanya gambar digital yang tidak mewajibkan pelukisnya bisa menggambar dengan tangan.
ADVERTISEMENT
Kemampuan menggambar bukan dari tangan langsung menurut Ki Joko bukanlah salah teknologi yang berkembang, menggambar itu juga tentang kebiasaan menurutnya setiap orang sebenarnya bisa menggambar dan melukis walaupun tidak memiliki jiwa seni dalam dirinya, tergantung pada kemauan untuk belajar.
Pengalamannya dalam dunia seni membawanya lebih dekat pada Sang Pencipta, ia meyakini bahwa seni sebenarnya merupakan pendekatan spiritual.
Ki Joko pernah melukis sketsa dalam waktu yang lama yaitu sekitar 14 jam sehingga membuat jari kelingkingnya bengkok.
“Orang yang bergerak dengan jiwa maka raganya akan terabaikan,” sambungnya. Ia selalu menemukan cara bagaimana ia menghargai karyanya sendiri.
“Orang tua saya tidak ada yang punya jiwa seni, saya sejak kecil memang suka coret-coret dan kebetulan lingkungan saya memang banyak seniman jadi dari lingkungan itu yang membentuk jiwa seni saya,” pungkas Ki Joko yang pernah duduk di bangku Sekolah Menengah Seni Rupa.
ADVERTISEMENT
Siapa sangka, ia juga ternyata pernah menjadi guru teater dari Hanung Bramantyo yang kala itu masih sekolah dan awal saat Hanung tertarik pada dunia teater.