Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Kebijakan Trump akan Yerusalem. Politik atau Agama?
16 Desember 2017 22:28 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
Tulisan dari Nursinta tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pasca pernyataan Presiden Trump menjadikan Yerusalem sebagai ibukota Palestina, pernyaatan tersebut di ikuti gelombang kritik dari berbagai pihak. Pernyataan Trump tersebut di anggap menantang dunia.
ADVERTISEMENT
Yerusalem merupakan salah satu kota tertua di dunia. Semanjak dahulu kota dimana terdapa masjdi Al-Aqsa ini menjadi sengketa antara Israel dan Palestina. Kota tertua di Yerusalem memiliki suatu labirin gang-gang sempit dan arsitektur bersejarah yang menandai empat penjuru kota, yaitu kawasan kristen, muslim, yahudi dan armenia. Walaupun sengketa perang yang terjadi antara Israel dan Palestina tidak pernah surut, namun kehidupan beragama di negeri tersebut saling berdampingan.
Dalam pidatonya di gedung putih, (06/12) Presiden Trump mengatakan "sudah saatnya untuk mengakui secara resmi bahwa Yerusalem sebagai ibukota Israel"
Pernyataan Trump tersebut sontak menuai kecaman, kritikan dan kutukuan di berbagai belahan dunia. Pernyataan tersebut di anggap menyakiti kaum muslim khususnya Palestina sekaligus menantang dunia.
ADVERTISEMENT
Lantas spekulasi bermunculan mengenai alasan kebijakan Presiden Donald Trump tersebut, apakah kepentingan agama atau politik yang sedang di mainkan oleh Trump?
Israel telah menduduki Yerusalem timur sejak tahun 1967.
Kemudian Israel mulai meluaskan wilayah kekuasaannya pada tahun 1980 dan menganggap sebagian wilayah adalah wilayah mereka. Menurut hukum internasional Yerusalem timur termasuk wilayah pendudukan.
Status Yerusalem sebagai jantung konflik panjang Israel-Palestina, karena Israel sengaja mengambil wilayah Yerusalem timur yang mana bagi Palestina merupakan ibukota negara mereka di masa depan. Sementara Israel menetapkan bahwa Yerusalem adalah Ibukota abadi yang tidak dapat di tawar lagi.
Pemerintah Amerika Serikat sejak tahun 1948 bersikap bahwa status Yerusalem di putuskan oleh negosiasi dan bahwa mereka tidak akan melakukan tindakan yang mungkin di anggap sebagai upaya mengarahkan hasil dari negosiasi tersebut.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan kesepakatan damai Israel-Palestina tahun 1993, status akhir atas Yerusalem akan di bahas dalam tahap perundingan lebih lanjut di kemudian hari. Namun sejak tahun 1997 Israel sudah membangun belasan kawasan permukiman untuk menampung 200.000 warga yahudi di Yerusalem timur.
Langkah itu di anggap melanggar hukum internasional walau posisi itu selalu di abaikan oleh Israel. Dengan mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel, maka Amerika Serikat akan memperkuat posisi Israel bahwa permukiman di kawasan timur kota itu merupakan komunitas Israel yang sah.
Amerika Serikat menjadi negara pertama yang secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel dan di ikut sambutan gembira daru PM Israel, Benyamin Netanyahu yang mengatakan bahwa pengumuman itu adalah sebuah 'monumen sejarah'.
ADVERTISEMENT
Selain President Trump dan PM Benyamin Netanyahu yang secara gamblang mengakui Yerusalem adalah ibukota Israel tidak ada negara yang mendukung pernyataan mereka.
Paus Fransiskus mengatakan, " Saya tidak dapat membungkam keprihatinan saya yang mendalam atas situasi yang muncul dalam beberapa hari ini. Pada saat yang sama, saya sangat mengharapkan semua orang untuk menghormati status quo sesuai dengan resolusi PBB yang relevan".
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, Antonio Gutteres mengatakan penyataan Presiden Trump akan membahayakan prospek perdamaian bagi Israel dan Palestina.
Uni Eropa meminta "dimulainya kembali proses perdamaian yang berarti menuju solusi dua negara dan mengatakan "harus ditemukan suatu cara melalui negosiasi untuk menyelesaikan status Yerusalem sebagai ibukota masa depan kedua negara, sehingga aspirasi dari kedua belah pihak dapat terpenuhi".
ADVERTISEMENT
Juru bicara Kanselir Jerman Angela Merkel di Twitter bahwa "Berlin tidak sikap (Trump) karena status Yerusalem hanya dapat di rundingkan dalam kerangka solusi dua negara.
Cina dan Rusia juga menyatakan keprihatinan bahwa langkah itu dapat menyebabkan peningkatan ketegangan di wilayah tersebut.
Perdana mentri Inggris, Theresa May mengatakan pemerintah Inggris tidak setuju dengan keputusan AS itu, yang disebutnya tidak membantu dalam prospek perdamaian di kawasan itu.
Menurut guru besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juhana, Yerusalem ini adalah seolah-olah persetujuan sebuah pemerintah yang mengambil secara tidak sah tanah orang lain.
Masih menurut peraih gelar Doktor dari University of Northinghem, Inggris ini. Jika masalah Yerusalem dikaitkan dengan masalah agama tentunya negara-negara non muslim seperti Perancis, Tiongkok, Inggris, Jerman, Rusia dan negara-negara besar lainnya tidak akan bersuara keras. Karena jika masalah Yerusalem dilated belakangi oleh kepentingan agama maka negara-negara non muslim akan sepakat untuk satu suara dengan Presiden Trump dan PM Benyamin Netanyahu.
ADVERTISEMENT
Bahkan negara-negara non muslim tersebut dengan keras menantang kebijakan Presiden Trump itu. Selain itu keputusan Trump ini dinilai dapat menjadi bumerang bagi dia dan pemerintahannya. Pasalnya langkah itu dapat menjadikan Amerika Serikat sebagai target kemarahan dari negara-negara yang menolak, apakah itu dari hubungan kedua negara atau mungkin ancamana terorisme.
"Sekali lagi bukan rakyat amerika, bukan hal-hal kepentingan Amerika tetapi kebijakan Donald Trump itu sendiri yang dapat membahayakan bangsa dan warganya" Ujar Hikmahanto
Ia menegaskan juga sejatinya tidak terjadi dampak signifikan terkait pemindahan kedubes AS tersebut dalam mencari solusi perdamaian dan kemerdekaan di Palestina. Apalagi penolakan terjadi dimana-mana oleh kepala negara.
"Tidak hanya negara-negara di Timur Tengah, tidak hanya negara-negara berpendudukan besar Muslim besar, tetapi semua negara seperti Rusia, Tiongkos, Inggris, Jerman, Perancis dan lain sebagainya bersuara menentang kebijakan Trump tersebut. Pungkas Hikmahanto.
ADVERTISEMENT
Live Update