Menilik Mentalitas Inlander, Warisan Kolonialisme?

tubagus farhan maulana
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
10 Desember 2022 18:45 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari tubagus farhan maulana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Historis
Diskursus tentang term inlander sering kali menjadi substansi pembahasan yang dilupakan masyarakat. Sikap ini memengaruhi tingkah laku masyarakat Indonesia dalam tindakan sehari-hari. Sikap ini cenderung berdampak terhadap mentalitas kita yang merasa tidak cakap dalam hal apapun, dan menganggap bangsa asing lebih superior dari kita. Nampaknya, hal ini merupakan sisa-sisa warisan kolonialisme ratusan tahun yang lalu. Hal yang memalukan adalah mengapa mentalitas ini terus melekat di dalam diri masyarakat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Jika menelusuri lebih dalam term inlander tidak terlepas dari kata pribumi, kala itu kompeni menyematkan term tersebut dengan tujuan mendiskriminasi masyarakat Indonesia saat itu. Sehingga lambat laun hal tersebut menjadi bahan ejekan dan merendahkan bagi masyarakat Indonesia. Dalam ruang-ruang publik, kompeni sering kali membuat tulisan-tulisan seperti “Verboden voor honden and Inlander” (terlarang bagi anjing dan pribumi). Hal tersebut sangat menyakitkan karena kita sebagai bangsa Indonesia disandingkan dengan anjing.
Sumber : https://www.pexels.com/id-id/foto/foto-skala-abu-abu-pria-yang-menutupi-wajah-dengan-tangannya-3601097/
Tidak sampai di sana, Belanda selaku pemangku kebijakan saat itu membuat suatu produk UU yang mendiskreditkan kaum pribumi. Belanda pada saat itu mengklasifikasikan masyarakat yang tinggal di wilayah Hindia-Belanda ke dalam 3 kelompok, Pertama, masyarakat Eropa selaku stratifikasi teratas. Kedua, masyarakat pendatang seperti: China, Arab, India, maupun non Eropa lainnya, yang cenderung berprofesi sebagai pedagang. Ketiga, inlander atau pribumi selaku stratifikasi terbawah yang mana termasuk masyarakat lokal
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, pengklasifikasian kelas rasial dalam UU Belanda yang memposisikan masyarakat Indonesia menjadi paling bawah, hal ini berdampak kata pribumi memiliki citra buruk dan tidak ada keistimewaan. Selain itu, faktor ini merupakan pemantik awal term tersebut menjadi rasis deskriptif secara sosial hingga saat ini.
Inferioritas
Rasa rendah diri atau disebut inferioritas merupakan keniscayaan yang melekat pada diri masyarakat Indonesia saat ini. Kehilangan rasa percaya diri sebagai suatu bangsa yang hebat dan bermartabat hal nyata yang terjadi saat ini, sikap tersebut merasuk ke dalam diri sebagian masyarakat Indonesia sehingga secara tidak sadar terwarisi dari generasi ke generasi hingga saat ini. Presiden Joko Widodo sempat menyinggung masyarakat Indonesia beberapa waktu lalu, karena kelewatan menganggap bule (representasi bangsa barat) terlalu superior dan terlalu tunduk. Beliau juga merasa sedih karena negara lain sangat menghormati Indonesia, sementara di sisi lain masyarakat Indonesia sendiri mengerdilkan negaranya.
ADVERTISEMENT
“Saya tidak ingin mental Inferior, mental inlander, mental terjajah ini masih ada, masih bercokol di dalam mentalitas bangsa kita,” kata Presiden Jokowi saat memberi sambutan dalam HUT kesepuluh Partai Nasdem tahun lalu.
“Ketemu bule saja kayak ketemu siapa, gitu. Sedih kita. Kita kadang-kadang terlalu mendongak kayak gini. Wong sama sama makan nasi juga,” tuturnya sambil bergesture.
Hal ini merupakan concern Bapak Presiden selaku ikon bangsa yang kuat dan bermartabat, yang ingin bangsanya tidak larut dalam inferioritas secara mutlak. Bukan tidak mungkin, jika sifat inferioritas terus berkembang hingga generasi selanjutnya akan membawa Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang pengecut dan unpowered.
Eksistensi Mentalitas Inlander
Sungguh ironi bangsa yang telah merdeka lebih dari setengah abad masih terjebak dalam mentalitas inlander dari segala aspek. Dalam lingkup pendidikan formal, mentalitas ini sudah mengakar pada diri pelajar/mahasiswa, seperti pasif dalam kegiatan pembelajaran di kelas, merasa diri inferior sehingga cenderung selalu duduk di paling belakang, kurang memiliki etos kerja, kurang percaya diri dengan kemampuan diri sendiri, dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
Butuh langkah konkrit dalam merekonstruksi paradigma mentalitas inlander agar diubah secara berangsur-angsur ke arah yang lebih baik. Kesadaran kolektif bersama dalam membangun paradigma positif terhadap nilai-nilai bangsa ini, harus dilakukan dari hulu ke hilir. Tidak bisa di pungkiri bahwasanya mentalitas ini sangat sulit runtuhkan.
Maka dari itu, sebagai bangsa yang hebat dan bermartabat harus melepaskan diri dari pakem etnisitas dan perbedaan yang ada, kehendak akan egosentrisme masing-masing dapat diredam karena hal yang demikian itu juga merupakan bagian dari warisan kolonial. Lebih jauh lagi, inferioritas dalam pribadi bangsa Indonesia haruslah dihapuskan, mengingat hal tersebut dapat menjadi penghambat bagi kemajuan Bangsa Indonesia.