Cerita Penobatan Raja Keraton Agung Sejagat di Candi Arjuna, Dieng

Konten Media Partner
16 Januari 2020 15:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pria yang mengaku Raja Keraton Agung Sejagat, Totok Santosa. Foto: lvt.
zoom-in-whitePerbesar
Pria yang mengaku Raja Keraton Agung Sejagat, Totok Santosa. Foto: lvt.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Belakangan ini publik digemparkan dengan kemunculan kerajaan baru di Purworejo yakni Keraton Agung Sejagat. Jauh sebelum kerajaan itu viral, rupanya ada upacara penobatan Totok Santoso Hadiningrat dan Fanni Aminadia sebagai raja dan ratu Keraton Agung Sejagat. Kepala UPT Pengelolaan Objek Wisata Dieng, Banjarnegara, Aryadi Darwanto yang juga saksi mata penobatan itu pun membagikan kisahnya saat menonton penobatan itu.
ADVERTISEMENT
"Ya seperti pengukuhan biasa ada pembawa acara yang mengukuhkan kemudian sudah selesai. Ada nyanyi mars, setelah itu ada sambutan, lalu doa-doa," pungkas Darwanto saat dihubungi melalui telepon pada Kamis (16/1/2020).
Hal yang menurut Darwanto unik adalah saat penobatan itu, pembawa acara bahkan membawakan acara dari awal hingga akhir dengan menggunakan dua bahasa yakni bahasa Indonesia dan Inggris.
"Mereka pakai bilingual. Pembawa acaranya itu pakai bahasa Inggris dan Indonesia," imbuhnya.
Keberadaan acara tersebut mulai dari kirab hingga penobatan rupanya menarik perhatian warga lokal dan wisatawan yang saat itu berada di Kawasan Wisata Dieng. Jumlah warga lokal sendiri yang menyaksikan saat kirab lebih banyak dibandingkan jumlah yang menyaksikan saat pengukuhan. Darwanto sendiri saat itu mengawal secara langsung acara tersebut mulai dari kirab hingga pengukuhan yang dilaksanakan di Candi Arjuno di Kawasan Wisata Dieng. Sayangnya karena saat itu malam hari dan suhu Dieng mencapai minus, ia tak menyaksikan hingga selesai.
ADVERTISEMENT
"Saat itu suhu sudah minus dan es sudah turun sehingga saya nggak kuat. Sehingga sekitar jam 11 malam itu sudah tidak ada warga lokal yang melihat," ungkapnya.
Kirab yang berlangsung dari Tuk Bima Lular Dieng sampai ke Candi Arjuno berlangsung pelan sekali. Semua peserta berjalan tanpa mengenakan alas kaki dan menggunakan pakaian kebesaran ala kerajaan.
"Prosesnya mirip kirab keraton Jogja itu lho. Sebentar-sebentar berhenti. Mereka semua jalan kaki tidak ada yang naik kuda atau diarak," pungkasnya.
Formasi arak-arakan yang Darwanto ingat dimulai dari barisan depan yang sepertinya merupakan panitia acara dan Ketua Desa Dieng Kulon Mbah Sumarno. Selanjutnya disusul dengan orang seperti prajurit, lalu pasukan drum band ala kerajaan, dan yang terakhir muncul adalah raja dan ratu yang juga dikawal. Tak lupa juga, dalam kirab tersebut juga terdapat gunungan. Seingat Darwanto, jumlah gunungan dalam kirab ada belasan gunungan.
ADVERTISEMENT
"Raja dan ratu munculnya belakangan. Dibelakang itu ada gunungan. Pokoknya (jumlah) di atas sepuluh gunungan," kata Darwanto.
Kepala Desa Enggan Pakai Baju Kebesaran yang Diberikan Keraton Agung Sejagat
Saat itu salah satu panitia memberikan baju kebesaran kerajaan pada Ketua Desa Sumanto. Namun saat diberikan pakaian itu, tokoh desa Dieng enggan mengenakannya.
"Saat itu panitia memberikan baju ke mbah Sumanto. Kayak ada seperti jubah kain-kain di belakangnya gitu. Seperti superman. Tapi mbah Sumanto-nya nggak mau. Mungkin dia merasa agak aneh dengan pakaian seperti itu wong dia kan (orang) Jawa," ujarnya.
Selain itu kondisi cuaca yang dingin ditambah dengan kesehatan yang sedang menurun, Darwanto berpendapat mungkin itu juga yang jadi alasan Mbah Sumanto tidak mau menggunakan baju kebesaran kerajaan itu.
ADVERTISEMENT
"Saya masih ingat jelas beliau saat itu batuk-batuk. Kebetulan kainnya tipis dan juga dia baru sakit. Sampai sekarang (baju itu) masih disimpan di rumahnya," imbuhnya.
Warga dan Dinas Merespons Penobatan Raja dan Ratu
Kegiatan penobatan yang dilangsungkan di Kawasan Wisata Dieng saat itu rupanya bukan kegiatan ilegal yang tak memiliki izin. Darwanto mengatakan saat dia diminta mengawal dan menghadiri kegiatan tersebut, ia sendiri mendapat surat dari dinas pariwisata Dieng.
"Kita dapat suratnya dari disposisi dinas. Jadi (suratnya) ke dinas (pariwisata Dieng) dulu baru turun ke UPT. Tapi kan kalau acara-acara seperti ini kan dinas hanya mengetahui. Kewenangan memberikan izin untuk upacara di dalam kompleks wewenang BPCB. Kita kan nggak berani. Suratnya itu masuk ke BPCB kalau nggak salah tanggal 25 Juni atau Juli (2019)," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Saat ditanya mengenai respons pertama mengetahui adanya kegiatan penobatan itu, Darwanto maupun warga sekitar tidak merasa ada yang aneh. Menurutnya wilayah di Candi Arjuno kawasan Dieng sendiri memang sering digunakan untuk mengatakan acara baik keagamaan maupun masyarakat lain. Hanya saja kegiatan Keraton Agung Sejagat memang dinilai cukup "wah" mengingat adanya arak-arakan dan gunungan.
"Nggak ada respons apa-apa karena kan di Dieng itu sering ada kegiatan entah itu dari umat Hindu, entah itu dari masyarakat. Sebelumnya ada kegiatan tapi nggak seramai (Keraton Agung Sejagat) ini. Hal yang itu di sini sudah biasa," katanya.
Bahkan untuk pengemasan acara mulai pukul 9 malam hingga sekitar 1.30 dini hari itu, Darwanto menilai tidak memuat hal negatif atau menyimpang kerukunan atau provokasi memecah belah.
ADVERTISEMENT
"Itu tidak ada acara yang aneh, bahkan untuk mengarah ke seperti ke yang makar itu tidak ada. Saya dengar lagunya itu ya bagus seperti lagu Ethiopia isinya tentang harapan, cerita-cerita saling menolong, kemudian Indonesia rukun. Bagus lho lagunya. Saya pribadi tertarik dengan lagunya," ujarnya.
Namun memang yang agak menggelitik adalah memang pakaian yang digunakan saat itu dinilai mirip pakaian orang yang sedang memainkan peran Ketoprak. Warga memang awalnya kaget karena acara kerajaan apa lagi di Jawa biasanya mengenakan pakaian adat Jawa.
"Cuma gimana ya kalau dilihat dari penampilan pertama ya saya kaget, 'kok pakaian seperti ini?' Pikiran saya saat diminta mendampingi ya karena ini saya baru dengar ada yang dari Keraton, tak pikir seperti pakaian surjan, kain lurik, seperti Abdi dalem. Setelah sampai, di Tuk Bima Lukar, kok pakai (Keraton Agung Sejagat) kayak gini. Saya sama fotografer saat itu menanggapi 'kok seperti ini ya? Ini malah mirip ketoprak sih' Agak aneh," pungkasnya.
ADVERTISEMENT