Cerpen | Menjauh

Konten Media Partner
15 April 2019 8:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi. Foto: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi. Foto: pixabay
ADVERTISEMENT
Sebulan lalu, aku baru saja pindah. Aku baru saja mengakhiri satu hal yang sudah sejak lama membebani hidupku. Tadinya aku tidak ingin, tapi beberapa teman kantorku mendesak supaya aku segera pindah. Aku harus mengakhiri toxic relationship yang sudah kujalani selama dua tahun.
ADVERTISEMENT
Dua tahun bukan waktu yang sebentar. Dan hidupku, segala sesuatu tentangku, semuanya sudah menjadi racun bagi diriku sendiri. Kecewa dan marah sudah jadi makananku sehari-hari.
Hari-hariku dihabiskan dengan pergi. Menghabiskan malam di luar. Dengan beberapa wanita. Aku tak bisa merasakan apa-apa lagi. Hanya sebuah hubungan one night stand. Aku sudah tidak ingat kapan aku bisa tersenyum. Benar-benar bahagia. Aku sudah lupa rasanya. Aku sudah lupa caranya.
###
“Udah. Kamu harus pindah. Kamu butuh itu sekarang.”
Faris mendesakku saat aku sedang berkumpul dengan tiga orang sahabatku.
“Kamu dengerin dia. Ini semua demi kamu.”
Rita sependapat dengan Faris.
“Sebenarnya aku dukung mereka. Kamu tahu kan. Ini sudah dua tahun. Aku rasa kamu harus resign. Kamu cari tempat kerja yang baru. Jangan di sini. Pindah ke Jakarta kek, Surabaya, atau Bali sekalian. Yang jauh dari Jogja pokoknya. Kamu mulai lagi hidupmu yang baru, tapi itu semuanya ku kembalikan ke kamu. Kalau kamu merasa saranku baik, ya lakukan. Kalau nggak, ya terserah.” Anin memberiku dua pilihan.
ADVERTISEMENT
Aku dikelilingi tiga temanku. Pokok persoalan hidupku katanya tidak mudah. Dan mereka bertiga ingin membantu aku.
Di sisi lain aku merasa senang karena ada yang peduli, namun ada satu sisi yang membuatku menolak.
Ini masalahku sendiri. Tolong jangan ikut campur. Nyatanya, aku sendiri tak bisa menyelesaikan masalahku. Aku menghindari mata mereka yang menatapku. Aku menghindarinya. Aku menghela nafas. Menyandarkan diriku sepenuhnya pada kursi.
Kupikir setidaknya ada satu orang. Setidaknya satu orang saja yang mendukungku. Satu saja. Aku hanya butuh satu. Tidak banyak.
Perdebatan malam itu tidak memberikan jawaban akhir. Aku terus menerus menyanggah. Aku terus menerus menolak. Aku begitu keras kepala sekali. Bahkan aku sudah lupa sejak kapan aku menjadi manusia yang tidak rasional. Aku sangat tidak rasional sejak setahun ini. Tahun-tahun yang bisa kukatakan sulit dalam hidupku.
ADVERTISEMENT
“Pindah.”
Kalimat dari mulut Faris meluncur begitu saja. Tegas. Rasanya seperti sangat memaksa. Dia otak dibalik semua ini. Dua temanku yang lain jadi memaksaku pindah akibat provokasi Fariz.
Sebetulnya Faris tak pernah mencoba meprovokasi. Dia hanya mengatakan bahwa perubahan harus dilakukan. Bahwa aku harus lepas dari hidup yang penuh toxic. Lepas dari toxic relationship.
Mulai hidup dengan baik, menjalani hal ‘normal’ itulah yang harusnya dilakukan oleh manusia. Mereka bertiga bilang bahwa ketidak normalanku ini berawal sejak setahun lalu.
Sejak aku mengalami perasaan cinta yang sangat besar. Sejak aku dekat dengan seorang perempuan manis. Namanya Cindy. Cindy Gumira.
###
Di tempatku yang baru ini, aku akan ceritakan bagaimana aku bertemu dengannya. Bagaimana aku menjalani hidup yang penuh toxic. Aku dan dia bertemu ketemu secara tidak sengaja. Saat itu aku sedang dalam rangka mengerjakan project dan mengharuskan aku konsultasi dengan salah satu kakak tingkat di tempatku kuliah dulu.
ADVERTISEMENT
Aku janjian bertemu di sebuah tempat makan yang santai dan untungnya tidak ramai sekali. Pas untuk ngobrol sambil makan.
Rupanya saat datang, dia membawa temannya. Teman yang namanya Cindy itu. Selama diskusi dengan Dewi, kakak tingkatku itu, aku sama sekali tidak menghiraukan kehadiran Cindy. Cindy saat itu diam, asik sendiri dengan ponselnya.
Selesai diskusi, barulah ditutup dengan makan dan ngobrol santai. Kami ngobrol-ngbrol terutama seputar dunia kerja, soal kuliah-kuliah dulu. Cindy lebih banyak diamnya. Dia hanya bersuara ketika ditanya.
Selebihnya dia hanya memperhatikan, sesekali dia ikut tertawa saat cerita yang didengarnya lucu. ‘gadis yang pendiam sekali’ batinku. Hingga makan selesai dan sudah mau pulang, dia juga hanya menyimak.
ADVERTISEMENT
“Dia anak baru?” aku berbisik pada Dewi ketika si Cindy jalan duluan di depan.
“Nggak sih. Dia udah setahun kerja di tempat aku kerja. Dia diem banget kan?” Cindy ikut berbisik.
“Heem” aku setuju dengan pertanyaan Dewi.
Cewek itu diem banget.
“Kamu belum kenal aja. Kalau udah kenal, dia itu berisik banget. Malah lucu kadang. Dia cuma begitu sama orang yang baru ketemu.”
“Ohhh” aku menatap punggung Cindy yang berjalan di depanku.
Memang sih ada orang yang sebenarnya seru atau humoris. Mungkin aku belum kenal saja, makanya menilainya begitu.
“Fi. Kalo butuh bantuan aku lagi, don’t hesitate to call me” Dewi melambai dari dalam mobil dan mobil itu langsung meluncur pergi.
ADVERTISEMENT
Kemudian, beberapa kali aku memang sering konsultasi dengan Dewi. Kadang ketika ketemu, si Cindy diajak. Aku jadi sering ketemu mereka berdua. Cindy masih saja pendiam. Mungkin aku saja yang tidak mencoba akrab dengannya.
Aku penasaran dengan si Cindy. Aku gemas dengan orang pendiam seperti dia. ‘Masa iya aku nggak bisa ngajak dia ngomong?’ batinku.
Berkali-kali aku menancing supaya cewek itu ikutan ngobrol. Ternyata susah. Diajak bercanda malah dia hanya ketawa. Suatu ketika aku bertanya ke dia soal kesukaannya.
“Cin, kamu tuh suka apa?” aku bertanya saat kami bertiga sedang hangout.
Di luar dugaan, dia cerita panjang lebar soal kesukaannya. Sekarang aku tahu sesuatu. Kalau kamu ingin kenal dekat seseorang, tanyakan saja kesukaannya.
ADVERTISEMENT
Cara ini dijamin berhasil. Kalau sudah tahu apa yang disukainya, cari kemiripan atau mungkin kesamaan. Dijamin kamu akan klik dengan orang itu. Ternyata dia fotografi. Aku juga suka.
“Mungkin kapan-kapan kita harus hunting foto bareng.” Aku nyeletuk.
“Boleh. Dimana?” dia bertanya.
“Kamu biasanya hunting foto dimana?”
“Biasanya cuma di jalan aja sih. Di mana aja.”
“Oh street photography
“Yup. Ada banyak hal yang bisa kamu lihat. Bahkan hal kecil yang nggak orang perhatikan saat di jalan.”
Sejujurnya aku belum pernah mencoba memotret jalanan. Aku lebih mahir soal panoramic photography dan kesukaanku mengambil foto tentang alam-alam begitu. Berbeda dengan Cindy. tapi kami sama-sama suka foto.
Kami janjian hari Minggu. Hari libur saat kami semua bebas dari kerjaan. Biasanya aku selalu pergi bertiga dengan Dewi, tapi dia tidak ikut karena ada acara dan lagi pula dia tidak suka fotografi. Jadi hanya aku dan Cindy.
ADVERTISEMENT
Kami bertemu di jalan Malioboro. Ah kalian sudah tau kalau jalanan ini akan ramai ketika hari minggu, banyak turis, banyak aktivitas.
Aku sampai duluan. Dia datang beberapa menit kemudian. Penampilannya simple sekali hari ini. Biasanya aku melihatnya dengan dandanan dan setelan blus serta rok ditambang dengan sepatu dengan hak sekitar 5 senti. Hari ini dia mengenakan kaus oblong warna kuning, jeans, dan sandal jepit. Dia hanya membawa sling bag dan kamera Nikon D500 nya.
Simple sekali.
“Ayo. Malah duduk-duduk saja.”
Padahal dia baru saja datang dan bilang aku duduk-duduk saja. Aneh.
“Kita kemana?” aku bertanya.
“Ya jalan lah. Lihat hal yang menarik, difoto.” Dia langsung berjalan.
ADVERTISEMENT
Aku mengekorinya. Sesekali dia berhenti untuk membidik gambar. Mengambil gambar tukang becak yang sedang ngobrol dengan sesama tukang becak yang sedang menunggu penumpang yang memakai jasanya. Dia menunjukkan padaku usai berhasil membidik.
“Nih.” Dia menyodorkan kameranya.
Aku melihat ke LCD kameranya. Hasilnya bagus. Keren menurutku.
Kami lalu berjalan lagi. Dia kali ini ingin membidik delman yang sedang jalan. Sayang hasilnya tidak seperti yang dia harapkan. Tadinya dia ingin supaya kuda dan kusirnya terlihat, tapi malah terhalang oleh motor yang tiba-tiba lewat.
Begitulah kelemahan street photography. Kamu bisa kehilangan momen karena objeknya bergerak terlalu cepat atau bahkan tiba-tiba terhalang objek yang tidak diinginkan, yang tiba-tiba masuk.
ADVERTISEMENT
“Kamu harus menemukan momen yang tepat. Di jalan tidak ada yang bisa diprediksi. Semua berjalan natural. Jujur tanpa dibuat-buat.”
Katanya ketika kami duduk di salah satu tempat penjaja makanan di dekat Pasar Beringharjo.
“Coba kamu ambil satu foto. Dari tadi kameramu masih di dalam tas.”
Dia memintaku membidik satu.
Aku mengeluarkan Fujiifilm X-Pro2-ku.
Berusaha fokus pada satu ibu-ibu yang membawa gendongan. Aku berusaha menunggu momen yang tepat.
“Buruan, nanti ibunya selak jauh.” Cindy menginterupsi.
Aku menoleh ke arahnya sebentar untuk menjawab iya, tapi ketika fokus ke kamera lagi, eh malah ibunya sudah tidak ada. Hilang di tengah kerumunan mungkin.
“Yah ibunya hilang.” Aku menyesal tidak langsung membidiknya.
ADVERTISEMENT
“Makanya. Buruan dibidik. Kalau kelamaan, nanti objeknya hilang. Menunggu momen okelah tapi jangan lama-lama. Nanti yang diperhatikan hilang.” Katanya.
“Kata-katamu lucu ya. Kayak di film-film romance. Jangan-jangan kamu punya pengalaman gitu?” Aku tertawa mendengarnya bicara begitu.
Dia ikut tertawa. Tapi tampak dipaksakan. Jangan-jangan benar pertanyaanku tadi.
“Jadi benar ya?” Aku memastikan.
“Yah. Seperti yang kubilang tadi. Jangan ditunggu momennya. Segera bidik. Atau kamu akan kehilangan objek itu. Ini tentang fotografi lho.”
Dia mengelak. Dia menekankan kata ‘ini tentang fotografi’’ padahal aku tahu dia berusaha menutupi. Orang ini lucu sekali.
“Berarti iya kan?” aku masih tak mau menyerah sampai dia cerita.
“Iya. Dulu ada satu. Sudah lama sekali.” Dia akhirnya membuka.
ADVERTISEMENT
“Wah. Terus sekarang gimana?”
Aku ingin tahu.
I think I don’t wanna talk about it. Sudah aku kubur, sudah berusaha aku lupakan walau kadang ingat.” Dia tak berminat melanjutkan ceritanya.
Aku berusaha mengerti. Walaupun sebenarnya aku sangat ingin tahu. Yah buat apa mengulik masa lalu seseorang kalau dia tidak ingin cerita kan?
Kami pulang ketika hari sudah beranjak sore. Aku tidak banyak membidik foto. Seharian aku cuma mengekorinya saja. Kemanapun dia berjalan, aku hanya mengamatinya dari belakang. Gadis itu misterius sekali. Dia sangat tertutup untuk beberapa hal.
“Kapan-kapan gantian kamu yang ikut ke tempat biasanya aku ambil foto.”
Aku mengajaknya. Kuharap dia akan bilang iya. Entah mengapa aku sangat berharap dia akan mengiyakan ajakanku.
ADVERTISEMENT
“Umm okay.” Singkat sekali jawabnya.
Yess… eh kok aku malah senang? Entah. Pokoknya aku senang saja saat dia mengiyakan ajakanku.
Kami jadi rutin hunting foto berdua. Setidaknya dua minggu sekali ada agenda hunting foto. Dia jadi teman hunting yang menyenangkan. Aku belajar street photography dari dia. Lalu dia aku ajari panoramic photography. Gara-gara itu kami dekat. Dia mulai terbuka. Aku banyak mendengar ceritanya. Ada satu hal yang sebenarnya ingin aku tahu.
Soal kisah romansanya yang pernah sedikit disinggung saat di Malioboro waktu itu. tapi setiap aku singgung soal kisah romansa, dia selalu mengalihkan. Aneh. Biasanya cewek suka sekali menceritakan kisah romansanya. Tapi ini beda. Dia tertutup sekali dan seakan menghindari.
ADVERTISEMENT
Karena penasaran, aku akhirnya memberanikan diri menanyakan soal ini ke Dewi. Dikiranya aku naksir Cindy. Serius aku nggak punya intensi apa-apa. Aku cuma penasaran soal dia. Aku juga nggak tahu kenapa aku begitu ingin tahu soal kisah cintanya Cindy.
“Seingatku dia pernah cerita soal satu cowok. Katanya sih kakak tingkat kuliah dia. Terus kayak ada masalah gitu. Si Cindy kecewa berat.” Dewi berusaha mengingat-ingat soal cerita Cindy.
“Terus?”
Aku menggali lagi lebih jauh.
“Yang aku ingat dia pernah bilang gini sih pas aku curhat ke dia setelah putus dari Amri. Kak Dew, emang susah sih kalau kita sayang. Aku udah pernah ngalamin dan merelakan semua. Terus berusaha supaya kita tetap sama dia, tapi nyatanya nggak bisa.”
ADVERTISEMENT
Dewi mengulang lagi pembicaraan Cindy ke dia saat itu.
“Maksud kamu istilahnya di zaman sekarang itu ‘bucin’ gitu?” aku bertanya lagi.
“Ya aku nebaknya gitu sih. Kayak si Cindy ini udah berkorban tapi ya gitu deh. Aku juga nggak paham, coba aja tanya sama Cindy”
Dewi menyarankan.
Semakin aku ingin tahu soal Cindy, semakin aku ingin lebih mendekat.
Kurang lebih sudah hampir setahun aku dekat dengan Cindy. Aku merasa senang melakukan hobi fotografiku, apalagi saat ditemani Cindy.
Satu hal itulah yang kupertahankan dan membuatku agar tetap terus klik dengan dia. Ada beberapa hal misterius yang sebetulnya ingin aku tahu soal dia. Meski dia misterius, tapi aku selalu nyaman di dekatnya.
ADVERTISEMENT
Suatu ketika teman dekat di kantorku, Faris bertanya. Dia heran aku sudah jarang menghabiskan waktu bersama mereka.
Kujawab saja hunting foto. Fariz kesal karena aku tidak mengajaknya.
Maybe next time, Riz.”
Aku membuat janji, padahal aku tak tahu aku akan mengajaknya betulan atau tidak. Ya mungkin iya tapi kapan-kapan. Aku lebih ingin hunting foto dengan Cindy.
“Oke. Kutunggu bro.”
Fariz meninggalkan meja tempatku bekerja.
Pernah tidak kamu merasakan semakin dekat kamu dengan seseorang, semakin kamu ingin tahu tentangnya dan memilikinya mungkin?
Perasaan itu begitu aneh. Cindy Gumira, kenapa kamu begitu membuatku ingin tahu segala hal tentangmu, kenapa aku ingin memilikimu?
Kenapa?
ADVERTISEMENT
Cindy bagai udara. Sulit ditangkap. Sudah setahun berjalan dan Cindy tetap Cindy yang sulit ditaklukan. Dia seperti membuat penghalang yang tinggi dan tak terlihat. Aku tidak menyangka ternyata tipe manusia seperti ini benar-benar ada.
Hasrat memiliki semakin besar. Tidak rasional. Aku kemudian semakin sering memberi perhatian-perhatian pada dia. Terkadang menjemput dia pulang dari kantor. Bahkan aku mengekorinya kemana saja.
Asal bisa sama Cindy.
Itu ironis sekali. Aku menjadikan diriku budak untuk cinta selama satu setengah tahun. Selama itu aku DIPERBUDAK oleh cinta. Lucu sekali.
Aku hidup dalam khayalanku bahwa aku bisa memiliki Cindy, gadis yang membuat penghalang tinggi di hatinya itu.
ADVERTISEMENT
“Aku cuma nggak ingin.”
Katanya saat aku tanya mengapa dia enggan untuk pacaran.
“Kenapa? Kamu nggak ingin suatu saat nanti mungkin nikah atau maybe hidup dengan orang yang kamu cinta?”
Aku penasaran.
“Untuk apa? Perasaan nggak jelas dan rasional itu untuk apa? Cinta? Jangan bikin aku tertawa deh.”
Wajahnya seperti menunjukkan ekspresi jijk saat mendengar kata cinta.
Aku baru ingin menjawab, tapi dia sudah keburu bicara lagi.
“Kalau kamu berpikir suatu saat aku akan membalas perasaanmu, sebaiknya tolong menjauh saja. Jangan berharap aku akan melakukannya. Aku sudah nggak berminat lagi.”
Kata-katanya begitu menusuk.
“Boleh aku tahu alasannya?”
Aku ingin tahu kenapa dia begini. Kenapa jadi aku tak punya kesempatan begini. Aku yakin ada hal yang salah dimasa lalunya yang membuatku ditolak.
ADVERTISEMENT
Ada alasan di balik ini, aku yakin itu.
“Aku pernah menjadi sepertimu, berkorban segalanya. Hanya karena mengejar sebuah momen, aku harus kehilangan dia. Aku sudah terlanjut kehilangan dia. Sudahlah aku muak jika ingat itu lagi.”
Cindy pergi begitu saja dari hadapanku. Tanpa pamit. Dia pergi.
Apa ini artinya dia melampiaskan kekesalannya karena cintanya dulu?
Jadi dia menolakku? Jadi begitu? Aku sudah berkorban banyak hal padahal untuknya.
Sudah kukorbankan semua. Apa-apaan ini. Aku marah. Ketika aku berbalik untuk mengejarnya, dia sudah hilang. Dia sudah hilang. Dia hilang tidak pernah muncul lagi. Aku mencarinya.
Dalam kurun waktu dua tahun, aku begitu kacau.
Malam ini, di tempat yang baru kutinggali selama satu bulan lamanya, aku mulai hidupku lagi. kenapa akhirnya aku memutuskan untuk pergi? Kenapa aku mengiyakan saran Faris? Aku sudah lelah mencari. Aku sudah lelah dengan dia dan semua hal tentang dia. (bfn)
ADVERTISEMENT