Difabel Ajak Gunakan Sebutan Tuli, Bukan Tunarungu

Konten Media Partner
29 Desember 2020 8:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua Komunitas Tuli Temanggung Bersenyum (TTB) Dwi Kusuma Wirawan berbincang menggunakan bahasa isyarat dengan Susi, seorang penerjemah bahasa isyarat. Foto:ari/Tugu Jogja
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Komunitas Tuli Temanggung Bersenyum (TTB) Dwi Kusuma Wirawan berbincang menggunakan bahasa isyarat dengan Susi, seorang penerjemah bahasa isyarat. Foto:ari/Tugu Jogja
ADVERTISEMENT
Sebutan tuli bagi penyandang difabel selama ini dianggap kurang pas atau kurang halus bila ditujukan kepada orang yang tidak mempunyai kemampuan dengar. Pemilihan diksi tunarungu kemudian dianggap lebih halus dan lebih lazim digunakan. Akan tetapi siapa sangka kata tunarungu justru kurang bisa diterima oleh mereka para difabel yang tidak bisa mendengar dan lebih memilih kata Tuli dengan 'T' besar.
ADVERTISEMENT
Ketua Komunitas Tuli Temanggung Bersenyum (TTB), Jawa Tengah, Dwi Kusuma Wirawan (24), mengatakan, sebenarnya para difabel ini lebih senang disebut tuli daripada tunarungu. Kata tuli dengan huruf 'T' besar atau Tuli. Karena tuli merupakan sebuah anugerah dari Tuhan dan bukan merupakan sebuah kekurangan.
"Maka mulai sekarang kami mengajak dari teman-teman media untuk menulis atau menyebut 'Tuli' dengan T besar bukan tunarungu. Mengapa menggunakan kata Tuli, karena perspektif budaya itu menunjukkan tuli adalah sebuah identitas diri punya kemampuan menggunakan bahasa isyarat, bisa bekerja dan punya kesetaraan dengan orang dengar," katanya melalui penerjemah bernama Susi (35), Senin (28/12/2020).
Informasi selengkapnya klik di sini
Menurut dia, penggunaan kata tunarungu itu lebih merujuk pada perspektif medis yang artinya mereka harus diperbaiki, atau mereka mengalami kegagalan dalam mendengar. Padahal tuli ini tidak bisa diperbaiki, namun tetap bisa hidup normal seperti orang normal lainnya, hanya saja diperlukan komunikasi yang berbeda, yakni dengan bahasa isyarat.
ADVERTISEMENT
"Kalau orang tuli harus menggunakan alat bantu dengar, harus ke dokter dioperasi itu tidak menyembuhkan. Sebenarnya tidak harus diperbaiki, tapi yang dibutuhkan adalah fasilitas. Jadi mohon untuk teman-teman di media mulai menggunakan kata Tuli menggunakan 'T' besar untuk menggantikan tunarungu. Kami lebih bangga menjadi tuli daripada tunarungu," katanya.
Dwi sendiri saat ini masih berstatus sebagai mahasiswa semester 5 Jurusan Tehnik Informatika (TI), Universitas Muhammadiyah Magelang (Unima). Ia pun mengaku selama ini tidak mengalami kesulitan dalam mengikuti proses perkulihan. Pemuda asal Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung ini menggunakan aplikasi dalam mengikuti proses pembelajaran dan berkomunikasi menggunakan tulisan.
"Kami berharap kepada pemerintah agar lebih memperhatikan kaum difabel terutama untuk ketulian bisa memberikan akses lalu penerjemah di fasilitas umum, perkantoran, saat wawancara kerja saat di kantor polisi. Apabila tidak ada penerjemah bisa diperbanyak petunjuk menggunakan tulisan. Atau bisa mengajak komunikasi dengan bahasa gestur bukan bahasa verbal," pintanya. (ari) 
ADVERTISEMENT