DIY Perlu Alternatif Asuransi untuk Cover Biaya Rekonstruksi Pascabencana

Konten Media Partner
10 Juli 2023 20:44 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seminar on Disaster Risk Financing and Insurance and Adaptive Social Protection Implementation in Indonesia, Senin (10/7/2023). Foto: Maria Wulan/Tugu Jogja
zoom-in-whitePerbesar
Seminar on Disaster Risk Financing and Insurance and Adaptive Social Protection Implementation in Indonesia, Senin (10/7/2023). Foto: Maria Wulan/Tugu Jogja
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menjadi salah satu wilayah di Indonesia yang rawan terjadi bencana. Bahkan beberapa waktu yang lalu, Jogja kembali dihantam gempa berkekuatan 6,4 magnitudo dan menyebabkan ratusan bangunan alami kerusakan serta jatuhnya korban luka.
ADVERTISEMENT
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan Internasional Parjiono mengatakan bencana itu tak hanya terjadi di Yogyakarta saja, tetapi juga terjadi di berbagai wilayah lainnya. Berkaca dari pengalaman sejumlah peristiwa bencana yang terjadi di Indonesia dengan besarnya kerugian ekonomi tentunya memicu pemerintah Indonesia untuk menyusun strategi pembiayaan sekaligus asuransi risiko bencana.
"Sayangnya, Indonesia saat (terjadi bencana) belum memiliki strategi kebijakan untuk pembiayaan dan asuransi risiko bencana. Kerugian yang ditransfer ke sektor asuransi hanya senilai kurang lebih Rp 300 miliar, yang kalau kita hitung itu hanya 1 persen dari total kerugian dan kerusakan," kata Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan Internasional Parjiono, dalam Seminar on Disaster Risk Financing and Insurance and Adaptive Social Protection Implementation in Indonesia, Senin (10/7/2023).
ADVERTISEMENT
Dari adanya rentetan bencana itu, Parjiono juga menyoroti catatan dari BNPB yang menunjukkan Indonesia secara keseluruhan mengalami lebih dari 2.500 bencana yang menyebabkan lebih dari 3.300 orang meninggal dunia, 10 juta orang mengungsi, serta kerusakan lebih dari 300.000 rumah, dengan kerugian yang ditaksir Rp. 100 triliun.
Selama ini, hampir semua biaya rehabilitasi dan rekonstruksi bencana saat itu harus ditanggung oleh APBN atau APBD. Sehingga melalui strategi yang tengah digodok itu, Parjiono mengatakan kapasitas pendanaan penanggulangan bencana itu seharusnya dapat disalurkan dan ditingkatkan dengan pencarian alternatif sumber pembiayaan baru di luar APBN.
"Ini penting bertujuan meningkatkan kemampuan pembiayaan untuk penanggulangan bencana dan membangun resiliensi di ekonomi, di tengah terjadinya bencana di Indonesia," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, Parjiono juga melihat risiko bencana yang cukup tinggi membuat Indonesia harus memahami bahwa perlindungan sosial tidak bisa dipisahkan dari bencana dan dampak dari perubahan iklim, serta kekeringan, banjir, kenaikan air laut, dan dampak iklim lainnya berdampak terhadap produktivitas masyarakat Indonesia.
Selain menyusun strategi PARB, Pemerintah juga telah meluncurkan pendanaan inovatif berupa dana bersama atau Pooling Fund Bencana (PFB), sehingga ia berharap kedua strategi pembiayaan risiko bencana dan perlindungan sosial itu dapat dikembangkan dan menjadi pembelajaran baik di tingkat regional ASEAN maupun global.
"Strategi penanggulangan bencana ini telah juga mendapat pengakuan dari berbagai organisasi internasional sebagai pencapaian yang signifikan dalam langkah memperkuat pendanaan risiko bencana, terutama karena Indonesia merupakan satu dari sejumah negara yang telah memiliki strategi nasional terkait dengan disaster risk finance and insurance," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
"Dua konsep besar yang masih terus dalam proses pengembangan, telah menjadikan Indonesia sebagai negara yang dirujuk serta diminta untuk berbagi pengetahuan," sambungnya.
Hadir dalam kesempatan yang sama, Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset DIY, Wiyos Santoso mengatakan pembahasan asuransi kebencanaan menjadi hal baru di Indonesia termasuk Yogyakarta. Tentu saja hal itu penting dan perlu dilakukan apalagi Indonesia termasuk Yogyakarta menjadi 'supermarket bencana' dengan posisi yang sangat rawan.
"Nantinya kita harapkan bagaimana bencana alam tak jadi beban pemda maupun pemerintah tapi bisa terkover asuransi. Banyak bencana yang terjadi, selama ini kita rekovery pakai APBD atau APBN yang tentu berat. Adanya seminar ini tentu kita menjadi lebih tahu skema pembiayaan kebencanaan," kata Wiyos.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, Wiyos menyebut Yogyakarta siap mengikuti program asuransi itu. Menurutnya, selama ini masih sangat minim pihak-pihak yang mengasuransikan bangunannya sehingga ketika bencana itu terjadi, cukup menguras keuangan daerah untuk memenuhi kebutuhan hingga rekonstruksi pascabencana.
"Kita akan mendiskusikan berbagai aspek terkait dengan asuransi bencana alam dan jaminan sosial mengenai tantangan yang dihadapi dalam implementasinya serta langkah-langkah yang dapat kita ambil untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam memanfaatkan perlindungan bencana ini," pungkasnya.
(Wulan)