HUT ke-264 Kota Jogja, Seni dan Budaya Jadi Simbol Jati Diri Masyarakat

Konten Media Partner
8 Oktober 2020 8:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tarian sendatari "Boyong Mangkubumi" dalam pembukaan ceremonial HUT ke-264 Kota Yogtakarta, Rabu (7/10/2020) malam. Foto: YouTube/Pemkot Jogja.
zoom-in-whitePerbesar
Tarian sendatari "Boyong Mangkubumi" dalam pembukaan ceremonial HUT ke-264 Kota Yogtakarta, Rabu (7/10/2020) malam. Foto: YouTube/Pemkot Jogja.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di usia Kota Yogyakarta yang tepat pada 7 Oktober 2020 ini memasuki usia 264 tahun. Daerah yang terkenal akan kekentalan seni dan budaya ini sudah terbilang memasuki usia yang cukup tua, mengingat bahwa sejarah mengenai visi kota-kota berbudaya di Jawa memang secara umum diawali dari Keraton di Yogyakarta sebagai pusat pemerintahan. Hal tersebut disampaikan oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono X.
ADVERTISEMENT
“Sejarah pertumbuhan visi kota-kota di Jawa umumnya diawali dari Keraton sebagai pusat pemerintahan yang mengekspresikan spirit dan karakter yang religius, filsafati, dan kultural,” kata Sultan HB X dalam acara HUT ke-264 Kota Yogyakarta yang dilaksanakan secara daring dari Kanal YouTube Pemerintahan kota Jogja (Pemkot Jogja) Rabu, (7/10/2020).
Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X, saat memberikan sambutan dalam ceremonial HUT ke-264 Kota Yogtakarta, Rabu (7/10/2020) malam. Foto: YouTube/Pemkot Jogja.
Berbicara mengenai kesenian dan kebudayaan, Departemen Pengembang Kesenian Keraton, Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Notonegoro menyebutkan bahwa sektor tersebut merupakan faktor penting bagi seluruh masyarakat khususnya warga Yogyakarta. Dirinya mengatakan kesenian dan kebudayaan adalah simbol jati diri dari masyarakat.
“Itu menurut saya memang sangat penting, karena Pangeran Mangkubumi saat membangun Kota Yogyakarta, kesenian itu juga melekat terus, Beliau juga seorang penari dan menciptakan tarian-tarian. Brati kesenian itu bagian yang sangat penting dari kehidupan keseharian masyarakat Jogja. Dengan Kesenian itu menjadi ciri memahami jati diri kita sebagai masyarakat,” ungkap KPH Notonegoro.
ADVERTISEMENT
Namun akar dari sebuah jati diri masyarakat itu sebenarnya tertuang dalam semangat gotong-royong dari seluruh elemen seperti apa yang dikatakan oleh Sultan HB X. Dirinya juga mengungkapkan fakta bagaimana kesenjangan sosial ditemukan di berbagai kota termasuk juga di kampung-kampung Yogyakarta.
KPH Notonegoro saat memberikan sambutan dalam ceremonial HUT ke-264 Kota Yogtakarta, Rabu (7/10/2020) malam. Foto: YouTube/Pemkot Jogja.
“Fakta, di Kota-kota manapun selalu ditemukan kesenjangan sosial yang juga terasa di kampung-kampung Jogja. Dalam hal ini pemerintah kota mengembangkan ‘Segoro Amarto’ atau semangat gotong royong sebagai solusinya. DItegakan oleh 4 pilar utama yaitu disiplin, peduli, gotong-royong, dan kemandirian,” tuturnya.
Sultan HB X juga berharap bahwa konsep segoro amarto ini diharapkan menjadi sebuah gerakan rakyat. Melalui konsep itu Sekretaris Kota Yogyakarta, Aman Yuriadjaya mengatakan bahwa saat ini Pemkot Yogyakarta menghadirkan program bernama ‘Gandes Luwes’ sebagai konsep pendamping konsep tersebut, berfokus pada seni dan budaya untuk melekatkan pada tata perilaku masyarakat.
ADVERTISEMENT
“Program gandes luwes ini untuk membangun kesadaran agar atmosfer kebudayaan dan nilai-nilai keistimewaan DIY bisa dirasakan oleh pendatang yang sedang berada di Yogyakarta,” jelas Sultan HB X.
Khusus program gandes luwes ini memang sebagai penguatan yang erat kaitanya pada seni dan budaya. Ukuran program Gandes Luwes ini juga secara lengkap merupakan penguatan pada hal-hal yang berkaitan dengan seni, budaya, sosial, dan tata ruang.
KPH Notonegoro menambahkan bahwa pihak Keraton juga terus berusaha untuk melakukan pelestarian terhadap warisan kesenian dari nenek moyang. Selain itu pihak Keraton juga secara terbuka bagi seluruh masyarakat dan terus berusaha berinovasi dalam menyebarluaskan pengetahuan tentang kesenian yang ada di Yogyakarta.
“Di Keraton kami sebisa mungkin menjaga, jadi warisan kesenian dari nenek moyang itu dijaga keutuhannya supaya bisa menjadi sumber bagi seniman-seniman di Yogyakarta yang membutuhkan rujukan atau referensi dari Keraton. Kami juga mencoba sebisa mungkin menyebarluaskan pengetahuan, jadi kalau masyarakat Jogja saat ini ingin tahu seperti apa tarian-tarian yang ada di Keraton Jogja itu sangat mudah tinggal pergi ke kanal YouTubenya Kraton Jogja itu semua sudah tersedia,” jelas Notonegoro.
ADVERTISEMENT
Selain tarian, inovasi dalam penyebaran pengetahuan lainnya juga dikembangkan pada jenis-jenis kesenian lain. Seperti alunan musik gending sebagai alat musik tradisional khas masyarakat Jawa.
“Lebih jauh dari itu kita saat ini menyediakan notasi gending, rekaman gending-gending kita upload masuk ke macam-macam platform pemutar musik online. Kemudian tarian juga seperti itu, selain dokumentasi video tariannya, kita juga sudah mulai mencoba mengupload dance skrip, dan juga cerita-ceritanya. Jadi kalo kita menampilkan sebuah tarian itu harusnya yang kita tampilkan bukan hanya sekedar pola lantai dan koreografi, tapi falsafah atau pesan-pesan apa yang disampaikan tarian tersebut, untuk membentuk karakter dan jati diri,” tambahnya.
Ia juga menyebutkan bahwa pandemi Covid-19 saat ini adalah bagian dari langkah perjuangan. Tentunya dalam membangun sebuah inovasi perlu adanya perjuangan yang lebih.
ADVERTISEMENT
“Dengan adanya pandemi Covid-19 dimana kita terbatas, tapi justru intensitas kita menggunakan sarana virtual untuk berkonektivitas kan jadi lebih tinggi. Maka ini justru membuka ide-ide baru, dan bagaimana kita bisa terus memikirkan inovasi. Sebenarnya memang dari jaman dulu yang namanya berinovasi itu butuh survive, nah ini saatnya dalam langkah survive ini kita mencoba berinovasi dari sisi kesenian dan kebudayaan. Keraton Jogja selalu terbuka terhadap berbagai pihak yang ingin bekerjasama, dan kami men-share pengetahuan kami untuk digunakan bersama-sama demi kebaikan bersama,” tutupnya.
Aktris asal Yogyakarta, Sekar Sri juga turut menuturkan harapannya tentang kesenian dan kebudayaan. Baik pada masa kini dan pada masa yang akan datang.
“Saya rasa kita punya ruang yang sangat bisa dimanfaatkan, masing-masing dari kita punya media sosial lebih dari satu bahkan dan itu menjadi ruang ekspresi kita dan ruang apresiasi terhadap seni budaya di kehidupan sehari-hari,” ungkapnya. (Ignatio Yoga Permana)
ADVERTISEMENT