Indeks Kebahagiaan di Jogja Turun, Ini Pendapat Dosen Filsafat UGM

Konten Media Partner
9 Januari 2022 18:41 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi bahagia. Foto: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bahagia. Foto: pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Indeks Kebahagiaan 2021 telah dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) beberapa waktu lalu. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menjadi sorotan lantaran peringkatnya terjun bebas. DIY menduduki peringkat 22 untuk Indeks Kebahagiaan 2021.
ADVERTISEMENT
Dekan Fakultas Filsafat UGM, Siti Murtiningsih, membeberkan berbagai faktor yang menyebabkan turunnya indeks kebahagiaan di Yogyakarta. Menurutnya, filsafat hidup mempengaruhi seseorang memaknai arti bahagia.
“Kenapa kita (Yogyakarta) selalu nangkring di atas (peringkat 1 untuk Indeks Kebahagiaan) itu kan bersaing. Kebahagiaan itu kan berkaitan dengan cara pandang terhadap diri kita, terhadap hidup. Cara pandang orang Jogja itu kan berkaitan dengan filsafat hidupnya,” ujarnya saat dihubungi.
Cara pandang seseorang akan memengaruhi hal yang ingin dicapai dalam hidup. Hal ini lah yang mempengaruhi seseorang memaknai kebahagiaan.
Sejak 2 tahun terakhir, berbagai permasalahan mendera. Yang terbesar adalah pandemi corona. Tak hanya menerjang bidang kesehatan saja, pandemi corona juga menyasar bidang lain termasuk sosial, budaya, dan ekonomi.
ADVERTISEMENT
“Kenapa Jogja jadi turun, masalah itu kan tidak tunggal dia berkaitan dengan banyak bidang terutama sosial politik budaya, terutama soal ekonomi dan kesehatan. 2 tahun ini kan kita berada di titik yang paling rendah, seluruh dunia merasakannya,” tuturnya.
Ia mengibaratkan pandemi corona layaknya tsunami yang mengguncang pola pikir orang Jogja. Definisi bahagia seolah dirombak paksa akibat adanya pandemi corona ini.
“Filsafat hidup kita (orang Jogja) itu pasrah, keikhlasan yang tinggi, dan manunggaling kawula Gusti. Itu cukup membuat goyang. Diperparah dengan ekonomi, gelombang tsunami berikutnya kan ekonomi,” ujarnya.
Meskipun pandemi corona berdampak negatif pada sejumlah aspek kehidupan, ia mengungkapkan jika kondisi tersebut membuat seseorang kembali pada keluarga. Tidak menutup mata jika masyarakat lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah bersama keluarga.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, keluarga menjadi bagian terkecil dari eksistensi manusia sebagai makhluk sosial. Hubungan antar anggota keluarga menjadi dipererat selama pandemi. Menurutnya, ini menjadi modal untuk bangkit dari keterpurukan.
“Keluarga jadi institusi terkecil untuk bekal bangkit atasi semua persoalan,” katanya.
Selama pandemi corona, tak sedikit masyarakat yang merilis usaha kreatif dari rumah. Hal ini menjadi salah satu pertanda warga Jogja bisa bangkit dari keterpurukan.
“Keluarga ada di garda depan untuk bangkit dari situasi ini, kita lihat bagaimana ekonomi kreatif muncul dari rumah,” ujarnya.