Kala Batik Yogyakarta Bertahan dari Gempuran Printing

Konten Media Partner
15 April 2019 6:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Yuniati Eka Suraswati, pendiri Suraswati Batik, saat ditemui Minggu (14/4/2019). Foto: atx
zoom-in-whitePerbesar
Yuniati Eka Suraswati, pendiri Suraswati Batik, saat ditemui Minggu (14/4/2019). Foto: atx
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bicara soal harga, batik tulis atau cap tentu jauh lebih mahal dibanding batik printing. Murahnya harga batik printing yang diproduksi dengan mesin secara massal itu tak urung menjadi momok tersendiri bagi para perajin batik tradisional dan lambat laun mengancam keberadaan batik tulis dan cap.
ADVERTISEMENT
Menghadapi gempuran batik printing itu, perajin batik lokal pun berjibaku mencoba berbagai macam cara demi bertahan dan melestarikan batik tulis dan cap. Salah satunya membuat batik tulis dan cap menjadi produk yang lebih eksklusif, dengan motif yang lebih adaptif zaman, serta harganya tetap wajar.
“Saya kembangkan motif batik tulis yang lebih menyesuaikan perkembangan zaman, made by order, sehingga produknya lebih diminati pasar,” ujar Yuniati Eka Suraswati, pendiri Suraswati Batik, Minggu (14/4/2019).
Yuniati menuturkan, saat ini pasar banyak meminta batik dengan motif bernuansa modern, warna lebih cerah, namun tak meninggalkan ciri motif legendaris yang sudah ada. Jika batik-batik halus selama ini cenderung menggunakan warna gelap dan motif tertentu, Yuni memilih mengembangkan gaya kontemporer juga kadang abstrak dengan warna lebih beragam serta cerah.
ADVERTISEMENT
Di beberapa produknya Yuni pun mengkombinasikan motif baku seperti parang dan kawung tetap masuk menjadi bagian desain gaya abstraknya. Sehingga motif batik yang dibuat jadi sangat unik.
Pasar pun tertarik dengan produk yang dikembangkan Yuni. Misalnya Dinas Perikanan pemerintah Kabupaten Bayuwangi Jawa Timur, memesan kepada Yuni dibuatkan batik tulis dengan motif ikan warna-warni.
Kain batik tulis Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
Ada pula yang memesan motif kontemporer kombinasi atau abstrak bercampur tradisional seperti parang.
“Semua produk yang saya buat hanya satu, jadi tak akan pernah ditemukan kembarannya, karena semua made by order,” ujar Yuni yang sudah empat tahun terakhir menjalankan usahanya itu.
Dalam sebulan, perajin batik anggota paguyuban ‘Rejeki Barokah’ yang berbasis di Sewon, Bantul, itu bisa menerima empat sampai lima pesanan saja karena masih ditangani sendirian tanpa karyawan. Satu kain batik pengerjaannya bisa menghabiskan waktu paling lama sampai tiga bulan.
ADVERTISEMENT
Harga batik tulis dari perajin yang sudah memulai usahanya sejak empat tahun terakhir itu bervariasi, tergantung permintaan motif dan tingkat kesulitannya. Namun kisaran harga umum yang dibanderol untuk batik tulis ini sekitar Rp 900 ribu- Rp 1 juta per meter.
“Paling mahal motif nyamping, karena gambarnya penuh, cantingannya kecil-kecil dan banyak isiannya, jadi pewarnaan tidak hanya sekali dua kali, pengerjaannya pun bisa sampai tiga bulan,” ujarnya.
Selain produksi kain batik eksklusif, baju batik, jumputan, shibori dan sampur (selendang tari), Yuni menuturkan juga memproduksi sepatu rajut yang diminati pelanggan berbagai daerah Indonesia.
Sepatu rajut ini dibuat sepenuhnya dari bahan sepatu karet dengan pelindung rajutan tangan manusia sehingga tampak etnik. Sepatu rajut ini sudah memiliki pelanggan di Sumatera hingga Kalimantan.
ADVERTISEMENT
Dari sepatu rajut seharga Rp 150 ribu per pasang itu saja, omzet Yuni per bulan mencapai Rp 13 juta. Yuni bersyukur dalam mengembangkan dan melestarikan batik tulis dan cap itu peran pemerintah masih bisa diandalkan. Khususnya untuk permodalan saat harus beli bahan baku banyak.
“Mau tak mau saat banyak pesanan datang, perajin harus beli materialnya dulu sebelum dikerjakan pesanannya, nah saat butuh modal ini pemerintah membantu,” ujar Yuni yang kini juga tercatat menjadi salah satu mitra binaan PT. Kereta Api Indonesia Daop VI Yogyakarta. (atx/nny)