Mahfud soal Rencana Kembalikan GBHN: Sudah Dibahas BPIP dan Presiden

Konten Media Partner
12 Agustus 2019 15:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD. Foto: erlm
zoom-in-whitePerbesar
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD. Foto: erlm
ADVERTISEMENT
Rencana Amandemen Undang-Undang Dasar (UUD)1945 untuk mengembalikan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sudah didiskusikan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), MPR, dan ketua-ketua partai politik (parpol). Sementara itu, usulannya pun sudah dibicarakan dengan Kapolri, Panglima TNI, bahkan Presiden Joko Widodo.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut diungkapkan oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD. Mahfud bilang, dari diskusi-diskusi tersebut telah diambil kesimpulan bahwa saat ini diperlukan amandemen terbatas terhadap UUD 1945. Artinya MPR hanya terbatas membuat GBHN.
"GBHN ini akan menjadi aturan pemerintah dari pusat sampai daerah," paparnya, Senin (12/8/2019).
Sebab, saat ini tidak ada masterplan yang menyatu. Sehingga kebijakan pusat dan daerah sering kali tak sejalan. Dengan wewenang otonomi daerah, bahkan ada daerah-daerah yang mengeluarkan lisensi dengan mudah, misalnya eksplorasi tambang, hutan, dan sebagainya.
Saat ini, lanjut Mahfud, ada izin eksplorasi tambang yang dikeluarkan melebihi luasan daerahnya sendiri. Misalnya daerah A itu luasnya 200 kilometer persegi, namun izin pertambangannya 300 kilometer persegi. Hal ini karena setiap kepala daerah baru, selalu memberi izin pertambangan, padahal daerah pertambangannya sedikit.
ADVERTISEMENT
Menurut Mahfud, selama ini pemerintah pusat menginginkan peraturan A di daerah, namun peraturan tersebut bertentangan dengan peraturan daerah. Konflik tersebut bermuara pada konklusi: Mungkin perlu ada GBHN.
"Maka ada didiskusikan. Yang kesimpulannya ada amandemen terbatas," ungkapnya.
Mahfud melanjutkan, amandemen terbatas yang sudah dibahas yaitu bagaimana menjadikan MPR itu sebagai lembaga tertinggi negara. Yaitu lembaga yang bisa mengawasi presiden.
"Tetapi yang disepakati itu tampaknya pembicaraan tentang amandemen terbatas. Soal materinya seperti apa, apakah MPR itu menjadi lembaga tertinggi negara atau tidak, itu nanti melalui proses perdebatan yang lebih panjang lagi," terangnya.
Mahfud menambahkan, sampai saat ini memang belum ada yang final. Namun prinsipnya, dua materi itu telah disepakati. Seperti apa nanti yang menjadi keputusan bersamanya, itu nanti tergantung proses.
ADVERTISEMENT
"Saya kira MPR yang sekarang enggak ada waktu kan tinggal satu bulan ya. Hampir tidak ada waktu tidak mungkin untuk menyelesaikan itu. Meskipun sudah ada ketuanya itu, Ahmad Basarah," tambahnya.
Jadi baginya, usulan mengembalikan GBHN tersebut disalurkan melalui proses politik yang konstitusional. Karena ada penyaluran yang bisa dilakukan. Namun, yang penting bagi Mahfud adalah usulan ini tidak menjadi 'kotak pandora'.
"Begitu dibuka, lalu pasal-pasal lain juga ingin diubah. Itu saja dikhawatirkan karena misalnya sudah ada kan yang berpikir udahlah diubah semua gitu," harapnya.
Oleh karena itu, yang diperlukan saat ini adalah kesepakatan awal. Sebelum MPR membahas secara resmi antara pemerintah, pimpinan partai politik, dan tokoh-tokoh masyarakat, hingga perguruan tinggi, harus ada pandangan yang sama terlebih dulu, perihal keterbatasan kedua hal itu.
ADVERTISEMENT
Terkait dengan dua usulan tersebut, menurut Mahfud, selama kesepakatan politiknya dituangkan dalam amandemen, hal tersebut boleh saja dilakukan. Karena sebenarnya, UUD itu tidak ada yang buruk dan tidak ada yang baik. UUD itu biasa-biasa saja kalau dari sudut hukum.
Undang-Undang Dasar harus ditaati karena sudah jadi sebuah kesepakatan. Bukan karena baik atau pun bukan buruk, dan bukan juga karena benar atau salah, tetapi karena kesepakatan. Dan di dalam Teori Konstitusi, setiap kesepakatan yang dibuat secara sah adalah konstitusi. (erl/adn)