Taraban, Upacara Daur Hidup Perempuan di Yogyakarta

Konten Media Partner
28 Januari 2020 9:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Siraman saat upacara Taraban di Yogyakarta. foto: Pranadhipta Krisswarama
zoom-in-whitePerbesar
Siraman saat upacara Taraban di Yogyakarta. foto: Pranadhipta Krisswarama
ADVERTISEMENT
Yogyakarta memiliki beragam upacara salah satunya upacara yang dinamakan Taraban. Upacara ini bagi masyarakat Jawa merupakan penanda daur hidup seorang perempuan yang telah mencapai akil balig. Taraban pada prinsipnya merupakan sebuah upacara menandai menstruasi pertama kali bagi kaum perempuan.
ADVERTISEMENT
Taraban berasal bahasa Jawa dengan kata dasar ‘Tarab’ yang berarti berarti haid atau menstruasi. Menurut kamus bahasa Jawa yang ditulis oleh Sutrisno Satro Utomo, Taraban secara lengkap berarti selametan ketika datang haid pertama.
Penghageng Tepas Dwara Pura KRT Jatiningrat atau yang akrab disapa Romo Tirun mengatakan, sebagai bagian dari tradisi masyarakat Jawa, Keraton Yogyakarta masih melakukan upacara tersebut. Bahkan sebagian upacara daur hidup lainnya juga masih dilakukan dalam rangka memelihara budaya asli Yogyakarta. Upacara daur hidup masyarakat Yogyakarta sendiri meliputi kelahiran, pernikahan, dan kematian.
“Putri raja Yogyakarta masih melakukan (upacara Taraban). Itu sudah bagian dari budaya. Keraton mempertahankan budaya,” ujar Romo Tirun saat dihubungi pada Senin (20/1/2020).
Suasana Taraban di Yogyakarta. foto: kratonjogja(.)id
Dalam Ensiklopedia Kraton Yogyakarta, upacara Taraban dilangsungkan saat seorang putri mengalami taran atau menstruasi pertama kali. Upacara Taraban dilakukan dengan cara siraman pada saat menstruasi hari pertama hingga satu minggu. Setelah dilakukan upacara Taraban ini maka seorang putri sudah dianggap akil balig atau remaja.
ADVERTISEMENT
Menurut KRT Purwodiningrat dalam postingan yang dilansir di laman Kraton Jogja menyebut bahwa semasa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VIII, upacara ini dilangsungkan tanpa patokan umur. Yakni disesuaikan dengan masa tumbuh kembang masing-masing anak perempuan. Dalam upacara daur hidup tersebut ada tiga prosesi yang harus dijalankan. Diantaranya tata-tata dan manjang, marak pamitan, dan diakhiri dengan siraman.
Saat upacara tata-tata dan majang, kegiatan akan dilakukan di Bangsal Sekar Kedaton dan Keraton Kilen tepatnya sehari sebelum Tarab dilangsungkan. Keesokan harinya barulah upacara marak pamitan dilangsungkan. Saat prosesi ini putri dalem yang akan melangsungkan Taraban akan sungkem kepada orangtuanya. Setelahnya barulah pada puncaknya dimana sang putri akan melakukan siraman yang dilakukan oleh ibunda atau kerabat putri yang dituakan di Bangsal Sekar Kedhaton.
Siraman saat upacara Taraban di Yogyakarta. foto: Pranadhipta Krisswarama
Menurut ensiklopedia, busana yang dikenakan oleh putri yang menjalankan prosesi ini cukup lengkap. Busana terdiri dari nyamping cindhe, lontjong kamus bludiran, udhet cindhe, slepe, gelang kana, sangsangan sungsun, subang dan cincin.
ADVERTISEMENT
Upacara dilakukan di Bangsal Sekar Kedhaton sebelah selatan Kedhaton Kilen. Upacara ini termasuk upacara intern wanita sehingga para pria termasuk Sultan tidak boleh hadir dalam upacara tersebut.
Taraban dalam Perkembangan Zaman
Bagi masyarakat saat ini, sebagian upacara daur hidup terutama Taraban mungkin begitu asing terdengar. Sebagian bisa dikatakan yang masih menjalankan upacara seperti ini hanya sedikit. Bahkan bisa dikatakan hanya internal keraton Yogyakarata saja yang masih menjalankannya.
“Di Jogja masih ada. Masyarakat tidak banyak yang tahu karena memang itu acara internal (keluarga) saja,” pungkasnya.
Suasana Taraban di Yogyakarta. foto: kratonjogja(.)id
Memang dalam perkembangan kini, berbagai upacara atau tradisi ditinggalkan oleh masyarakat, Romo Tirun menjelaskan ada berbagai faktor yang membuat masyarakat tidak lagi menjalankan hal serupa. Alasannya bisa dari segi ekonomi. Jika ditilik, sebagian besar upacara Jawa yang lengkap memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Bahkan juga dari segi kepraktisan upacara seperti ini juga membutuhkan proses persiapan yang panjang.
ADVERTISEMENT
Menurutnya hal itulah yang kemudian membuat masyarakat tak lagi menjalankan tradisi serupa. Sama seperti upascara Tetesan, biasanya untuk memperingati upacara daur hidup, masyarakat hanya akan menggelar upacara kecil-kecilan seperti tumpengan atau doa bersama.
“Sebagian (masyarakat) kan tidak menjalankan bisa jadi karena biaya (mahal). Yang terpenting itu dalam upacara ungkapan syukurnya,” ungkap Romo Tirun.