UMY Minta DPR Hentikan Revisi UU Penyiaran, Khawatir Hilangkan Kebebasan Pers

Konten Media Partner
26 Mei 2024 11:09 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Konferensi pers UMY minta DPR hentikan revisi UU Penyiaran. Foto: M Wulan
zoom-in-whitePerbesar
Konferensi pers UMY minta DPR hentikan revisi UU Penyiaran. Foto: M Wulan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Berbagai kritik terus berdatangan atas adanya revisi Undang-Undang Penyiaran yang saat ini tengah digodok di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Satu di antaranya datang dari akademisi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
ADVERTISEMENT
Kepala prodi Ilmu Komunikasi UMY, Fajar Junaedi mengatakan ada beberapa kejanggalan yang ditemukan dalam revisi tersebut. Kejanggalan itu ada pada substansi dan proses revisi. Ia menilai revisi UU tersebut terlalu terburu-buru dilakukan, sehingga dikhawatirkan justru akan berpotensi membungkam kebebasan pers Indonesia di masa mendatang.
Selain itu juga ada proses dan isi revisi yang tidak mencerminkan kemerdekaan berpendapat. Bahkan, kencenderungannya membungkam, mengebiri, kebebasan media massa. Apalagi minim partisipasi publik dalam RUU tersebut dimana masyarakat hanya tahu hasil jadinya tanpa dilibatkan dalam prosesnya.
"Revisi berpotensi menjadi pembungkaman atas kebebasan pers di Indonesia. Karena itu segera hentikan proses revisi dan kaji bersama pihak-pihak yang berkompeten,'' ujar Kaprodi Ilmu Komunikasi UMY, Fajar Junaedi, Sabtu (25/5/2024).
ADVERTISEMENT
Sementara pada aspek isi, Fajar juga menilai ada ancaman besar bagi kebebasan pers. Media massa sebagai salah satu pilar demokrasi disebut tak boleh lagi melakukan kegiatan jurnalistik yang bersifat menelisik dan menginvestigasi. Padahal jurnalisme investigasi menjadi salah satu strategi pers dalam mengawasi jalannya pemerintahan (eksekutif, legislatif, yudikatif) sebagai pilar keempat demokrasi (fourth estate).
Sehingga ia menekankan pentingnya melibatkan lebih banyak masyarakat sipil dalam perancangan revisi UU Penyiaran untuk memastikan bahwa semua pihak yang terdampak dapat memberikan masukan dan terlibat secara aktif dalam proses legislasi.
"Undang-undang dibentuk oleh elit politik dan masyarakat sipil hanya diminta untuk mengikuti, seharusnya berbagai pihak seperti jurnalis, peneliti yang berkaitan dengam riset media, akademisi dan berbagai kalangan harus dilibatkan dalam revisi ini," tegasnya.
ADVERTISEMENT
Hal yang sama juga disampaikan oleh Dosen Prodi Ilmu Komuniksi UMY Senja Yustitia. Ia juga melihat kontroversi RUU Penyiaran terdapat pada isi dan prosesnya. Kata dia, revisi itu dikhawatirkan bakal menghalangi kebebasan pers, dan konten siaran di internet yang harus sesuai standar isi siaran (SIS).
Begitupula dengan wewenang sensor oleh KPI, dinilai tumpang tindih kewenangannya antara dewan pers dan KPI terkait sengketa produk jurnalistik, serta tidak ada pembatasan kepemilikan lembaga penyiaran swasta. Padahal, kehidupan pers yang independen merupakan roh dan pilar demokrasi yang sehat.
"Prosesnya ini memang harus panjang melelahkan terbuka, demokratis, karena ini ngomongin legislasi. Jadi memang tidak boleh serampangan dan tidak boleh terburu-buru (dalam mengesahkan revisi RUU Penyiaran)," kata dia.
ADVERTISEMENT
"Kalau eksekutif, yudikatif, legislatif tidak bisa kita harapkan, maka pada media lah kemudian kita bersandar," pungkasnya.
(M Wulan)