Ancaman Krisis Pangan, Petani Dinilai Jadi Kunci

Konten Media Partner
17 Oktober 2020 7:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petani di Gubug Lazaris, Desa Sambirejo, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri yang sedang menanam bibit kedelai hitam. Foto: Rino Hayyu Setyo.
zoom-in-whitePerbesar
Petani di Gubug Lazaris, Desa Sambirejo, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri yang sedang menanam bibit kedelai hitam. Foto: Rino Hayyu Setyo.
ADVERTISEMENT
MALANG- Hari Pangan Sedunia yang biasa diperingati pada 16 Oktober rasanya tidak semeriah tahun-tahun sebelumnya. Hal ini dikarenakan adanya pandemi COVID-19 di dunia tak terkecuali Indonesia. Beberapa kalangan membuat refleksi tentang Hari Pangan Sedunia.
ADVERTISEMENT
Koordinator Komite Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA), Roy Murtadho pun memberikan refleksinya. Ia menjelaskan antara pangan dan pertanian merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Dikarenakan, Menurutnya, pangan merupakan hasil dari pengolahan produsen, yakni petani. Maka, membicarakan petani dan pangan dinilai harus berjalan beriringan. “Petani harus menjadi subjek bukan hanya objek,” tegas pria yang akrab disapa Gus Roy. Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Ekologi Misykat Al-Anwar ini mempunyai alasan jika petani hanya menjadi objek dari pertanian, maka petani akan mengalami ketergantungan terhadap sistem yang membelenggu di sektor pertanian. Mulai dari pembibitan hingga pengolahan hasil pertanian. “Kalau selalu seperti ini, maka kedaulatan petani sudah tergadai,” ungkap Gus Roy.
Untuk memperbaikinya, kata Roy, FNKSDA mendorong adanya kedaulatan petani, insentif petani, dan penguasaan pangan dari petani. Namun, Roy menyadari jika kedaulatan petani harus diwujudkan dengan penerapan reforma agraria. “Mau tidak mau penerapan UU PA menjadi kunci,” terangnya.
ADVERTISEMENT
Menyambung Roy, Ketua Buruh Tani Nelayan (Brutal) PP Pemuda Muhammadiyah, Nu’man Iskandar juga menegaskan jika persoalan pertanian memang dinilai sangat kompleks. Maka penyelesaiannya harus dilakukan semua sektor yang memiliki masalah tersebut. Hanya saja paradigma tentang pembangunan pertanian secara komprehensif, ungkap Nu’man, belum dimiliki oleh para pemegang kebijakan. Misalnya, dalam hal pembibitan. Nu’man melihat masih banyaknya investasi pertanian hanya dari penanaman modal asing (PMA). “10 perushaan bibit pertanian terbesar di Indonesia Ada Genta, Bayer, Bisi, ini PMA semua,” terang Nu’man.
Apakah konsep pembangunan pertanian sudah sesuai dengan reforma agraria? Mendapatkan pertanyaan itu, ia menilai kepentingan swasta mayoritas menguasai tanah pertanian di Indonesia. Seperti banyaknya hibrida. Hal tersebut bisa menjadi masalah karena benih hibrida merupakan bibit yang dimandulkan. “Artinya sekali panen lalu beli lagi. Bahkan pupuk masih banyak masalah terutama ketergantungan dari kimia dan itu pasti perusahaan swasta kan,” kata Nu’man. Ia memberikan solusi jika daerah-daerah di Jawa semestinya lebih diperkuat untuk sektor pertanian. Misal, di Kediri dan sekitarnya, kata Nu’man bisa mempunyai integrated farming.
ADVERTISEMENT
Hal ini selaras dengan Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang menegaskan jika di Indonesia masih cukup tinggi angka konversi lahan pertanian pangan. Menurutnya, sekitar 80 ribu Ha pertahun lahan terkonversi menjadi industri dan perumahan. “Dengan hal seperti ini, maka kedudukan petani menjadi rentan,” terang Iwan.
Melihat kondisi ini, Wakil Dekan 1 Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Sujarwo menjelaskan ada mental sektor pertanian yang belum muncul kuat di Indonesia. Yakni jiwa wirausaha bidang pertanian yang kurang terbangun. Sehingga, pertanian hanya dilihat dari watak sosial tapi belum bisa menjadi bisnis yang dikelola mandiri oleh masyarakat. Wajar, kata Sujarwo, jika petani selalu menjadi gurem, artinya tidak bisa berkembang. “Efeknya hasil pertanian juga tidak bisa bersaing secara perdagangan atau dalam antar sektor contoh pertanian dengan nonpertanian. Ujung-ujung ya konversi lahan menjadi pilihan mereka,” kata Sujarwo.
ADVERTISEMENT
Ia mencontohkan kondisi petani di Selandia Baru. Di sana, kata Sujarwo, petani justru melakukan sistem koperasi. Akan tetapi atas dasar produksi dengan sistem buttom up. Jadi pemerintah mengiikuti apa yang diinginkan petani. “Termasuk pasar pangan dikuasai petaninya,” imbuhnya.
Di sisi lain, Romo Hardo Iswanto, pemilik Gubug Lazaris di Pare, Kediri adanya kegembiraan dan peringatan hari pangan ini secara refleksif. Kondisi pangan yang berada di tengah ancaman tersebut, harus dilihat secara serius. Yakni dengan cara, memberikan edukasi mulai dari pembibitan hingga pengolahan mandiri produk pertanian kepada para petani. “Kualitas pangan kita bergantung kepada siapa yang merawatnya, yaitu petani,” tegas Romo Hardo. Seperti apa yang dilakukannya di Desa Sambirejo, Kecamatan Pare , Kabupaten Kediri, Romo Hardo mengajak para petani sekitar untuk belajar mengelola lahan seluas 2,5 Ha sebagai wilayah petanian organik. Mulai dari pembibitan, penanaman, pemupukan, pengolahan, sampai dengan penjualan hasil pertanian atau pangan.
ADVERTISEMENT