Konten Media Partner

Berburu Multatuli di Pasar Buku Bekas

3 Maret 2019 18:41 WIB
clock
Diperbarui 21 Maret 2019 0:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Bambang Hermanto,59, salah seorang pedagang buku yang mengalami gangguan syarah menunjukan buku Max Havelaar karya Multatuli. (foto: Irham Thoriq/Tugu Malang).
zoom-in-whitePerbesar
Bambang Hermanto,59, salah seorang pedagang buku yang mengalami gangguan syarah menunjukan buku Max Havelaar karya Multatuli. (foto: Irham Thoriq/Tugu Malang).
ADVERTISEMENT

Multatuli masih ‘hidup’, di toko-toko buku bekas. Di pedagang buku yang tak menentu pendapatannya. Tentu saja, bukan jasadnya, tapi pemikirannya, dan semangatnya, yang mendobrak tabu.

ADVERTISEMENT
Sabtu (2/3) lalu, seandainya Multatuli diberi umur panjang seperti umat-umat zaman terdahulu, dia genap berumur 199 tahun. Untuk memperingati kelahirannya pada 2 Maret 1820 itu, kumparan.com membuat liputan khusus tentang Multatuli.
Wartawan Tugu Malang, yang membaca liputan itu, kian penasaran dengan sepak terjang pria bernama lengkap Eduard Douwes Dekker itu. Inilah yang menggerakan wartawan Tugu Malang untuk berkunjung ke Pasar Buku dan Seni Velodrome, Kota Malang.
Di tempat yang jauh dari hiruk pikuk nan asri itu, tentu saja yang dicari adalah buku karya Multatuli berjudul Max Havelaar. Novel inilah yang dinilai menjadi tonggal awal, para pribumi di Hindia Belanda (Indonesia,red) merasa terjajah oleh Belanda. Buku ini juga mengungkap fakta sebenarnya, kalau ada perbudakan di bumu nusantara. Sebelumnya, informasi yang muncul kepermikaan adalah hoax dan kebohongan tentang perlakuan Belanda.
ADVERTISEMENT
Karena novel inilah, penulis kenamaan Pramodya Ananta Toer berucap.”Seorang politikus yang tidak pernah mengenal Multatuli, bisa menjadi politikus yang kejam. Pertama, karena dia tidak kenal sejarah Indonesia, dan kedua dia tidak mengenal humanisme modern.”
Wartawan Tugu Malang beruntung, di ruko paling pojok Pasar Buku dan Seni Velodrome, penulis bertemu dengan Bambang Hermanto, 59 tahun. Di tempat inilah, buku Max Havelaar penulis temukan.”Buka laci itu, persis di bawah buku Mark (Karl Marx),” kata Bambang.
Kondisi Pasar Buku dan Seni Velodrome di Kota Malang yang sepi. (foto: Irham Thoriq/Tugu Malang).
Bambang meminta penulis membuka sendiri laci buku, karena dia memang mengidap kelainan syaraf. Karena inilah, tangan dan kakinya mengecil. Sekilas, dia seperti orang struk yang kesulitan menggerak-gerakan tangan dan kakinya.”Karena sakit ini, cita-cita menjadi apapun tidak tercapai, termasuk cita-cita punya istri,” katanya berseloroh.
ADVERTISEMENT
Dia lantas bercerita tentang buku Max Havelaar. Menurut dia, buku tersebut memang sudah langka, buku bekasnya.”Saya dapat pertengahan tahun lalu, baru laku ini,” katanya.
Menurut dia, mencari buku bekas, apalagi buku lama kayak Max Havelaar, seperti mencari jodoh. Yakni, gampang-gampang susah.”Kalau pas ada orang jual, saya beli. Kalau tidak ada orang jual, ya tidak dapat, biasanya saya beli banyak buku, lalu yang judul buku Max Havelaar cuman ada satu,” imbuhnya.
Memang, buku yang penulis dapat adalah buku langka. Buku berwarna hijau ini, diterbitkan oleh Penerbit Djembatan pada 1972 atau 47 tahun lalu. Penerjemahnya adalah H.B. Jassin.”Kalau buku ini lumayan laku, jadi kalau ada begitu, suatu saat pasti ada yang cari,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Dia lantas bercerita suka-duka berdagang buku. Menurut dia, dirinya memutuskan menjadi pedagang buku karena suka membaca.”Saya salah satunya suka tulisannya Dahlan Iskan, jadi asyik saja kalau sedang baca buku,” imbuhnya.
Tapi, meski bekerja tentang dunia yang dia senangi, tidak semuanya menyenangkan.”Pernah memang satu hari dapat uang dua juta enam ratus ribu, tapi lebih sering lagi, tidak laku sama sekali daganganya,” pungkasnya lalu terkekeh.
Sementara itu, Dodik Irawan,37, Ketua Paguyuban Pedagang Buku dan Seni Velodrome mengatakan, buku Max Havelaar memang langka.”Saya pernah cari-cari, tidak ada yang punya, yang punya cuman pak Bambang itu, jadi Anda beli ke Pak Bambang, beruntung karena cuman tinggal itu,” katanya.
Menurut dia, penggemar Max Havelaar memang cukup banyak. Menurut dia, ketika dirinya dapat buku itu, langsung laku terjual.”Saya pernah dapat yang terbitan tahun 1980, langsung laku,” ucap pria asal Muharto, Kota Malang ini.”Buku ini bagus, saya juga suka,” imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Terkait industri perbukuan, menurut dia sekarang naik turun. Dia bersyukur, di zaman online ini, dia bisa jualan buku melalui Facebook, Instagram dan Marketplace.”Kalau yang jualan di kios, rata-rata satu bulan omsetnya dua juta, kalau yang online, bisa sampai sepuluh juta,” katanya.”Biasanya, kalau di online, mulai ramai pembelian saat awal bulan begini,” katanya lalu terkekeh.
Reporter: Irham Thoriq