Bertemu Lulut Edi, Pak Guru di Malang yang Jadi Pemburu Naskah Kuno

Konten Media Partner
8 Juni 2019 12:27 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Lulut Edi Santoso, Guru SMA di Malang, dan salah satu naskah kuno koleksinya. (Foto: Gigih Mazda/Tugu Malang).
zoom-in-whitePerbesar
Lulut Edi Santoso, Guru SMA di Malang, dan salah satu naskah kuno koleksinya. (Foto: Gigih Mazda/Tugu Malang).
ADVERTISEMENT
TUGUMALANG.ID – Manuskrip-manuskrip lusuh berwarna kusam tampak menumpuk dalam lemari. Ada yang berbentuk lembaran, atau tersulam tebal dalam buku bersampul kulit kerbau.
ADVERTISEMENT
Retakan-retakan kertas pada jilidan buku terlihat di sana-sini. Wajar, dokumen dan naskah tersebut sudah berusia 2-3 abad. Ya, itulah koleksi-koleksi dari Lulut Edi Santoso, seorang kolektor naskah dan buku kuno asal Malang.
Manuskrip tersebut sebagian besar merupakan dokumen pemerintahan dari zaman era kolonial. Ada dokumen berbahasa Belanda, ada yang menggunakan bahasa dan aksara Jawa, bahkan dokumen beraksara Arab tapi isinya menggunakan Bahasa Jawa--Arab Pegon--pun ada.
“Jadi koleksi-koleksi saya adalah buku dan dokumen pada masa kolonial, hingga zaman Republik Indonesia Serikat (RIS),” ucapnya saat ditemui beberapa hari lalu. Beberapa di antaranya adalah dokumentasi terkait tanah perkebunan zaman penjajahan.
Lulut Edi Santoso sudah mengumpulkan naskah kuno sejak tahun 1998. (Foto: Gigih Mazda/Tugu Malang).
Bahkan, jumlahnya mencapai ratusan. Ia membeberkan bahwa dirinya saat ini telah memiliki 16 naskah kuno, 60 dokumen, serta 500-an buku yang belum semuanya sempat ia klasifikasikan.
ADVERTISEMENT
Beberapa di antaranya adalah naskah Layang Wong Agung Jayengrana yang tidak tercantum tanggal ditulisnya, Babad Demak tahun 1869, Carita Nabi Yusuf tahun 1800-an, Alquran tahun 1800-an, hingga dokumen perkebunan, kehutanan, dan pertanahan era pemerintah kolonial.
Lulut bercerita, ia mulai serius mengumpulkan naskah kuno tersebut sekitar tahun 1998. “Saya serius mengumpulkan naskah kuno dan dokumen kuno karena pikiran saya, buku ini pasti berpacu dengan waktu, kalau tidak dikumpulkan dan dirawat dari sekarang, mereka bisa hancur,” terang pria yang juga guru di SMAN 3 Malang tersebut.
Lulut Edi Santoso menunjukkan naskah kuno berbahasa Belanda yang dia koleksi. (Foto: Gigih Mazda/Tugu Malang).
Dirinya menuturkan bahwa kondisi keuangannya saat itu tidak bisa memenuhi untuk hobinya tersebut. Sebab, ia mengaku untuk hidup saja sudah susah pada masa-masa itu. Hingga akhirnya pada tahun 2008, ia semakin serius karena adanya Tunjangan Profesi Guru (TPG) yang ia terima. “Saat itu, saya mulai niat untuk berburu (naskah kuno),” imbuhnya.
ADVERTISEMENT
“Jadi ada yang saya peroleh dari keluarga sendiri, dari Mataram (Lombok), dari Jogjakarta, dan juga ada dari Malang sini sendiri,” imbuh bapak dua orang anak tersebut.
Naskah kuno berhuruf Arab koleksi Lulut Edi Santoso. (Foto: Gigih Mazda/Tugu Malang).
Meski begitu, ketika disinggung telah menghabiskan biaya berapa untuk mengoleksi barang-barang itu, dirinya tidak bisa membeberkannya. “Sulit untuk dihitung, karena mengumpulkannya juga bertahap sedikit-sedikit,” bebernya. Namun, ia juga bercerita bahwa untuk dua buku koleksinya, ia harus merogoh kocek hingga Rp 5 juta.
Tak hanya itu, hobinya sebenarnya tidak hanya mengumpulkan naskah kuno, melainkan juga benda-benda antik lainnya. Tampak di rumahnya juga terlihat mesin ketik kuno, guci, keramik, hiasan perunggu dan kuningan, batik, dan berbagai macam hal.
Lulut Edi Santoso menunjukkan naskah dokumen berbahasa Belanda yang dia koleksi. (Foto: Gigih Mazda/Tugu Malang).
Ketertarikannya pada barang-barang antik dan unik sudah muncul sejak ia berada di bangku sekolah dasar. “Jadi sejak tahun 1971 waktu kelas 1 sekolah dasar, saya sudah mulai tertarik, apapun saya simpan,” kenangnya. Ia mencontohkan saat itu mengumpulkan fosil tulang binatang yang ia temukan, atau batuan-batuan unik.
ADVERTISEMENT
“Kemudian saat SMA saya juga mengumpulkan huruf-huruf untuk handpress,” imbuhnya. Untuk diketahui, percetakan sebelum zaman digital menggunakan handpress atau huruf ditata satu per satu sebelum akhirnya ditekankan pada kertas untuk proses cetak. Namun sayang, ia menceritakan bahwa banyak koleksinya yang hilang atau tak sengaja dijual oleh rekannya ke tukang loak.
Saat ini, ia menyatakan bakal lebih fokus untuk mengumpulkan naskah dan dokumen kuno yang dianggapnya lebih penting untuk dijaga karena mudah rusak.
Reporter: Gigih Mazda
Editor: Irham Thoriq