Catatan dari Balik Rutan Medaeng untuk Mama Nanda di Hari Ibu

Konten Media Partner
23 Desember 2019 17:17 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ya'qud Ananda Gudban, mantan anggota DPRD Kota Malang dan penulis artikel. (Foto: Dokumen)
zoom-in-whitePerbesar
Ya'qud Ananda Gudban, mantan anggota DPRD Kota Malang dan penulis artikel. (Foto: Dokumen)
ADVERTISEMENT
Oleh Ya'qud Ananda Gudban
23 September 2019 Kepada Yth...Mama Nanda Surat untuk Mama Nanda
ADVERTISEMENT
Assalamualaikum Wr, Wb. Saya selaku murid atau anak, mengucapkan banyak berterima kasih atas jasa-jasa Mama Nanda, karena beliau telah mengajari dan merobah saya, dan pembelajaran setiap hari, saya bisa kembali ke jalan yang benar lagi, atas jasa-jasa beliau saya mengucapkan banyak-banyak berterima kasih kepada beliau. Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya kalau saya pernah membuat mama marah dan tidak nurut kepada beliau dari saya.
Tertanda,
YUS
Sepucuk surat sederhana, dengan kalimat ala kadarnya itu ditulis tangan di atas sobekan kertas oleh salah satu dari puluhan 'anak-anak' saya di Rutan Medaeng. Sebut saja Namanya Yus.
23 September lalu, Yus dilayar dari Rutan Medaeng ke Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas 1 Blitar. Dilayar, adalah sebuah istilah untuk narapidana yang dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) setelah divonis dalam persidangan.
ADVERTISEMENT
Membaca surat tersebut membuat saya meneteskan air mata. Saya tak sempat bertemu lagi sebelum dia dilayar. Sepertinya Yus pergi tak membawa apa pun. Kecuali beberapa larik pesan yang saya titipkan lewat kelas-kelas 'sekolah' Rutan Medaeng yang dia ikuti.
Saya menangis sedih sekaligus bangga. Sedih karena harus melepas salah satu 'anak saya' tanpa sempat mengucapkan salam perpisahan. Bangga, karena anak remaja ini menyempatkan diri berpamitan. Meski hanya lewat secarik surat. Terlebih, dia memanggil saya 'Mama Nanda'.
Surat di atas sobekan kertas itu saya baca lagi, dan lagi. Berulang-ulang. Kata demi kata saya maknai sebagai tanda kasih seorang mama terhadap anaknya. Seorang mama yang ingin mendengar dan memahami perasaan anaknya. (*)
ADVERTISEMENT
Mereka Memanggil Saya Mama
Yus mengawali suratnya dengan menyebut dirinya sebagai murid atau anak. Bagi saya, Yus dan puluhan tahanan anak di Rutan Medaeng memang bukan sekadar murid, mereka adalah anak-anak saya. Mereka memanggil saya Mama.
Saya bersyukur karena setiap Rabu dan Jumat, pihak Rutan mengizinkan saya menjadi guru bagi para tahanan anak. Di kelas-kelas yang sungguh sangat sederhana. Duduk lesehan melingkar dengan bahan belajar ala kadarnya. Meski begitu, suasana hati mereka menampakkan tak sesederhana kelas yang ditempati. Para tahanan anak ini ceria dan bahagia. Mereka sangat antusias berpartisipasi di kelas sederhana ini. Bahkan rela menunggu ketika saya terlambat memulai kelas. Mereka menunggu seorang Mama Nanda, bukan sekadar Ibu Guru Nanda.
ADVERTISEMENT
Sebagai seorang mama, saya mengajarkan hal-hal sederhana tentang nilai-nilai yang harus dipegang dalam menjalani kehidupan. Mengajak mereka memahami norma-norma yang berlaku di masyarakat. Bagaimana bersikap dan berperilaku dengan berpegang pada norma-norma sosial. Meski tak mengenyam pendidikan formal, sikap dan kepribadian tetap harus terdidik.
Pelajaran di kelas pun tak perlu terlalu rumit. Cukuplah belajar tentang cara menyapa, memanggil, bahkan soal senyum ramah. Saya juga mengajak anak-anak sama belajar mendengar. Menyikapi perbedaan ketika berada di lingkungan yang beragam serta bersikap sportif. Saya juga mengajarkan agar setiap anak berani mengemukakan pendapatnya dan santun berpendapat.
Yang tak kalah penting adalah belajar mendengar dan menghormati pendapat teman yang sedang berbicara. Tak ada batasan apa yang bisa dan tak bisa disampaikan. Saya menjadi pendengar yang baik dan memberikan pendapat saya tanpa mengecilkan pendapat mereka. Menjadi Mama bagi mereka.
ADVERTISEMENT
Mereka yang tak bersentuhan langsung dengan anak-anak dalam tahanan ini mungkin berpikir bahwa apa yang dipelajari di kelas Rabu dan Jumat adalah pelajaran budi pekerti yang sangat basic. Bagi saya yang telah menjalani rutinitas kelas Rabu dan Jumat selama beberapa bulan terakhir, sungguh sebuah pencapaian ketika anak-anak dengan latar belakang yang cukup ‘ajaib’ itu mau bergabung. Bahkan berpartisipasi dalam kelas.
Mereka sudah terbiasa menjadi yang terbuang. Tersisih, tertolak, dan dicap nakal. Bahkan maling, dan sebagainya. Padahal, di balik jeruji, mereka adalah anak-anak yang sesungguhnya haus kasih sayang orang tua. (*)
Ilustrasi kasih sayang Foto: Pixabay
Kelas Sesungguhnya adalah Kehidupan
Saya membaca kembali surat dari Yus. “Mengucapkan banyak berterima kasih atas jasa-jasa Mama Nanda, karena beliau telah mengajari dan merobah saya, dan pembelajaran setiap hari, saya bisa kembali ke jalan yang benar lagi, atas jasa-jasa beliau saya mengucapkan banyak banyak berterima kasih kepada beliau.”
ADVERTISEMENT
Kalimat ini sungguh seadanya. Mungkin tak sesuai dengan kaidah-kaidah dan logika bahasa Indonesia yang baik dan benar. Air mata saya kembali menetes karena kalimat seadanya tersebut begitu mengena di hati saya. Anak yang telah dicampakkan dari tatanan nilai sosial ini masih bertata krama. Dengan tulus mengucapkan terima kasih ketika ucapan terima kasih terasa mahal bagi sebagian orang. Namun lebih dari itu, melihat Yus memiliki kesadaran baru untuk kembali ke jalan benar adalah kebahagiaan sejati seorang guru, apalagi seorang mama.
Dunia, Terimalah Mereka!
Mengenal anak-anak itu membuat saya makin bersyukur. Dari ruangan kecil yang seadanya ini, setiap Rabu dan Jumat, anak-anak yang mendapat embel-embel tahanan tersebut melewati ujian kehidupan yang sesungguhnya. Mereka bukan anak-anak bengal yang pantas digelandang masuk penjara. Mereka naik kelas dari yang pernah terbuang menjadi berani menatap masa depan. Apapun kesalahan yang mereka lakukan, mereka telah berusaha menebus dan siap menorehkan kisah baru. Tak perlu menoleh lagi ke masa lalu. Bukankah semua sudah berlalu?
ADVERTISEMENT
Sebagai guru dan mama, saya hanya berharap bahwa dunia akan mampu melihat bahwa Yus dan puluhan, bahkan ratusan Yus Yus lainnya telah mengalami sekolah kehidupan di dalam Rutan Medaeng. Persinggungan saya dan anak-anak ini setiap Rabu dan Jumat pun menjadi sekolah kehidupan tersendiri bagi saya.
Padang Berhampar Syukur
Yus dan anak-anak di Rutan Medaeng mengajarkan saya agar ucap syukur tak berhenti. Bahkan makin berlipat tak terhingga. Ucap syukur ini saya lakukan lewat mengasihi mereka dengan berbagi ilmu. Pengetahuan, dan tentunya berbagi kebaikan. Allah mempertemukan saya dengan anak-anak yang spesial. Sedangkan anak-anak itu menemukan sosok seorang mama yang dirindukan.
Mengasihi manusia tak perlu kenal sekat kelas, sekat moral, bahkan sekat penjara. Meski saya sendiri merasakan sesaknya jeruji penjara, saya bertekad menjadi bermanfaat dimana saja.
ADVERTISEMENT
Dulu saya pernah menjadi calon Ibu untuk Aremania. Lucunya, kini saya menjadi Mama dari para Bonek karena mayoritas anak-anak di Rutan Medaeng adalah pendukung berat Persebaya. Di kelas saya sering mengajak mereka menyanyikan lagu mars Persebaya, ketika mereka terlihat tdk bersemangat.Semua ikut menyanyi dan mencandai saya yang kini sudah bisa menjadi Mama para bonek padahal seorang Aremania. Ahhh betapa saya merindukan bumi aremaku.
Dalam situasi yang tak ideal, semua berjuang mencari setitik kegembiraan. Menjadi Mama bonek juga menjadi cara untuk ikut tertawa sejenak bersama mereka. Berbagi kebahagiaan ternyata mendatangkan kebahagiaan yang jauh lebih besar. Termasuk menjadi mama, ibu, bunda atau apa pun istilahnya bagi anak-anak Rutan ini.
Selamat Hari Ibu! Sampai bertemu di kelas kehidupan berikutnya. Jangan lupa bersyukur.
ADVERTISEMENT
Ya'qud Ananda Gudban