Cerita Para Mantan Demonstran Kota Malang saat Kerusuhan Mei 1998

Konten Media Partner
21 Mei 2019 14:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Para tokoh asal Malang yang ikut berdemonstrasi di 1998. Ada juga yang mengabadikan gerakan Mei 1998 melalui sembuah karya sastra.(olah foto tim desainer tugu malang).
zoom-in-whitePerbesar
Para tokoh asal Malang yang ikut berdemonstrasi di 1998. Ada juga yang mengabadikan gerakan Mei 1998 melalui sembuah karya sastra.(olah foto tim desainer tugu malang).
ADVERTISEMENT
Hari ini, tepat 21 tahun yang lalu, Presiden Republik Indonesia (RI) ke-2, Soeharto, tumbang karena aksi jalanan. Ibarat melukis, jalanan Kota Malang kala itu seakan menjadi kanvas bagi para demonstran. Derap langkah kaki mereka menggambar harapan baru.
ADVERTISEMENT
Suara orasi terdengar nyaring dari kejauhan, pepohonan tua di Jalan Semeru dan Jalan Kawi, Kota Malang, jadi saksi bisu reformasi sekaligus kerusuhan Mei 1998.
Saat demonstran ramai menyerukan pidato perubahan, tiba-tiba terdengar bunyi tembakan peluru nyasar di kampus Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan Universitas Brawijaya (UB). Peristiwa tersebut sempat membuat situasi Kota Malang, hening dan mencekam.
Hingga kini, Mei 1998 selalu menjadi pengingat untuk menolak lupa atas apa yang telah diperjuangkan oleh para demonstran dan mereka yang menjadi korban.
Dalam rangka memperingati peristiwa Mei 1998, beberapa aktivis Kota Malang bercerita soal pengalaman yang mereka alami saat tragedi Mei 1998 terjadi.
Sepenggal kisah tentang peristiwa Mei 1998 di Kota Malang kami dengar langsung dari Lukman Hakim-aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Malang, Sidratahta Muktar-Presidium Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Malang (FKSMM ), Muhammad Nuruddin- Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Eko Sigit Rukminto Kurniawan-Gerakan mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Malang, Ahmad Rosidi-seniman.
ADVERTISEMENT
Kehadiran mereka hanyalah segelintir dari sekian banyak aktivis yang terlibat dalam peristiwa ini.
Semua 'kekacauan' itu juga sempat dirangkum dalam beberapa karya. Seperti puisi ‘Seorang Polisi kepada Anaknya yang Mahasiswa’ karya Tengsoe Tjahjono; Novel ‘1998’ karya Ratna Indraswari Ibrahim; dan lagu 'Nyanyian Parlemen Jalanan' karya Sakban Rosidi.
Berikut liputan khusus tugumalang.id, media online partner resmi kumparan.com untuk mengenang tragedi reformasi 1998 di Malang.
Dua Zona Gerakan Mahasiswa di Malang
Aktivis HMI Lukman Hakim.(foto-foto dokumen).
Tuntutan turunnya Presiden Soeharto sudah mengudara sejak akhir April 1998. Suara para mahasiswa terus bergelora. Konsolidasi dilakukan untuk mempercepat lengsernya si penguasa yang sudah 32 tahun memerintah Indonesia itu.
Ingatan peristiwa Reformasi Mei 1998 masih tergambar jelas dibenak Lukman Hakim, aktivis Himpunan Mahasiswa Islam.
ADVERTISEMENT
Ketika ditemui Tugumalang.id, raut wajah Lukman berubah, sorot matanya meruncing mendengar kata 'reformasi’.
"Semua kampus diblokade Brimob,” ungkap pria yang sempat menjabat Wasekum HMI Cabang Malang 1998 pada Selasa (21/5).
Ia menyibak kembali memori 21 tahun itu. Lukman termenung, berusaha mengurutkan kepingan tanggal serta runtutan kejadian pada pertengahan Mei 1998.
Salah satu hal yang paling diingat ialah pasca-kejadian penembakan terhadap empat mahasiswa Universitas Trisakti. Menurut pria yang juga berprofesi sebagai dosen IKIP Budi Utomo ini, kematian empat mahasiswa Trisakti membuat massa aksi semakin solid.
"Atas nama kemanusiaan dan perubahan Indonesia, kami membagi kampus dengan dua zona,” imbuh Lukman.
Pertama, zona tengah Malang diisi oleh Universitas Negeri Malang (UM), Institute Teknologi Nasional (ITN), UMM, UB, Universitas Merdeka (Unmer), Universitas Islam Malang (Unisma), dan Universitas Islam Negeri (UIN) Malang.
ADVERTISEMENT
Kedua, kampus zona utara merupakan gerakan mahasiswa yang berasal dari Universitas Widyagama, STIBA, dan Universitas Wisnu Wardhana.
Pembagian klaster gerakan ini terjadi karena faktor jarak antar kampus. Sehingga, seluruh gerakan mahasiswa dari masing-masing kampus itu dibagi dua.
Pada 20 Mei 1998, Lukman menjelaskan, para demonstran mulai berani keluar kampus. Mereka sepakat untuk melanjutkan aksinya menuju balai kota dan gedung DPRD. Meski tidak mudah, para demonstran berkali-kali meyakinkan pihak kepolisian jika aksinya tidak anarkis.
Hujan lebat sore itu, 20 Mei 1998, mengantar mahasiswa menduduki Balai Kota Malang. Mereka berkabung dengan memasang pita hitam di lengannya. Hal ini untuk mengenang empat mahasiswa Trisakti yang meninggal dunia karena tembakan dari aparat.
ADVERTISEMENT
Keesokan harinya, 21 Mei 1998, sedari pagi gabungan mahasiswa dari seluruh kampus di Malang itu, sepakat berkumpul di kompleks Stadion Gajayana, Kota Malang. Di sana mereka berorasi dan menuntut Soeharto mundur.
Setelah aksi berdemo dan berorasi selama beberapa jam, para mahasiswa memutuskan untuk segera meninggalkan lokasi. Mengapa demikian?
Lukman menerangkan, ada informasi dari Jakarta jika Soeharto akan turun dari tahtanya. Sehingga, para mahasiswa membubarkan diri dan mencari televisi untuk menyaksikan siaran langsung mundurnya The Smiling General alias Presiden Soeharto.
"Saya bersama teman-teman HMI ke kantor cabang Basuki Rachmat menunggu itu (siaran televisi),” kata pria berambut klimis ini.
Senada dengan itu, Achmad Rosidi, aktivis seni dari IKIP Malang alias Universitas Negeri Malang, membenarkan jika blokade barisan polisi berada di sekitar kampus. Bahkan, ia sempat berusaha menyamar karena gencarnya isu penculikan di kalangan aktivis.
ADVERTISEMENT
"Saya mengubah penampilan menjadi perempuan," kata Rosidi yang menjadi pencetus Gerakan Kambing Putih UM.
Sebab, ia berambut panjang dan setiap akan keluar kampus sempat menggunakan daster. Trik tersebut digunakannya untuk mengelabuhi aparat yang melakukan sweeping di Kota Malang.
Achmad Rosidi, aktivis seni dari IKIP Malang (Sekarang Universitas Negeri Malang).
Barometer Gerakan Moral Mahasiswa Indonesia
Informasi tentang bagaimana mahasiswa Malang menjadi barometer pergerakan pemuda di Indonesia memang belum bisa dibuktikan secara utuh. Membutuhkan beberapa riset untuk membuktikannya. Akan tetapi, nama gerakan mahasiswa Malang menjadi 'seksi' di telinga karena ada faktor kekuatan intelektualitas.
Presidium Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Malang (FKSMM) Sidratahta Mukhtar.
Presidium Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Malang (FKSMM) Sidratahta Mukhtar menjelaskan hal ini secara gamblang. Dosen Kajian Ketahanan Nasional Universitas Indonesia (UI) ini berusaha membedakan gerakan yang terjadi di beberapa kota saat Mei 1998.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, aksi Mei 1998 di Malang terjadi karena diskusi intrakampus. Kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK) yang dicetuskan Menteri Pendidikan Daoed Joesoef memberikan dampak untuk organisasi mahasiswa ekstra kampus (OMEK).
Mereka harus masuk ke organisasi intrakampus untuk membuat diskusi dan konsolidasi terkait kondisi negara.
"Gerakan kami melebur, jadi semua mahasiswa bisa sadar apa yang sedang dihadapi,” tegas Sidratahta.
Pria asal Bima, NTB, ini menjelaskan jika kelompok diskusi yang terjadi di kampus inilah yang akhirnya menjadi motor lahirnya gerakan intelektual. Tak hanya itu, mereka membuktikannya dengan sebuah gerakan moral.
Aksi-aksi demo di Malang tergolong tidak seberapa besar jika dibandingkan dengan Solo dan Jakarta. Mengapa demikian?
Sidratahta tak memungkiri jika Kota Malang merupakan wilayah yang dikepung banyak kantor militer. Sehingga, penjagaan ketat selalu menyelimuti kampus-kampus sekitar. Sehingga, konsolidasi yang terjadi harus sangat rapi.
ADVERTISEMENT
Kekuatan kampus inilah faktor utama jika gerakan di Malang kental dengan dialektika dan kematangan sebelum bergerak (demo).
Berbeda dengan Solo dan Jakarta, lanjut Sidratahta, dua kota itu lebih kental dengan pendekatan politik. Sehingga, wajar jika terjadi kerusuhan.
Bahkan, pernah aksi demonstrasi di Malang dinilai menjadi yang paling unik se-Indonesia. Yakni dengan menggelar aksi dengan orasi dengan empat bahasa. Bahasa Arab oleh Ahmad Ziadi, Bahasa Mandarin oleh Maya, Bahasa Inggris oleh Waluyo Hansudi, dan Bahasa Walikan Malang oleh Nur Hasani.
Lantas bagaimana dengan kondisi gerakan mahasiswa saat ini? Sidratahta menjelaskan jika ada tantangan sendiri yang dialami mahasiswa ‘zaman now’. Yakni menggabungkan antara riset dengan moralitas.
ADVERTISEMENT
Sidratahta berharap histori tentang reformasi ini tidak berlalu begitu saja. Namun, mahasiswa kini harus merumuskan kondisi negara.
"Berkarya dan riset juga bisa digunakan menyampaikan sikap kritis,” pungkasnya.
Cita-cita Lulus Kuliah Setelah Soeharto Jatuh Akhirnya Terwujud
Muhammad Nuruddin adalah seorang aktivis tulen. Bahkan, sekitar tahun 1998, dia punya niat kalau dirinya tidak akan lulus kuliah jika Soeharto belum runtuh.
"Itu niat yang konsisten saya pegang, tidak hanya bercandaan,” kata pria yang kini menjabat sebagai Ketua Ikatan Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (IKAPMII) Kota Malang ini.
Muhammad Nuruddin, Ketua Ikatan Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (IKAPMII) Kota Malang.
Setelah Soeharto tumbang pada 21 Mei, Nuruddin akhirnya lulus.
"Setelah Soeharto tumbang saya akhirnya yudisium, dan diwisuda pada Oktober 1998,” imbuh pria yang kini menjadi penasehat Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia (RI) Bidang Kewirausahaan Desa ini.
ADVERTISEMENT
Nuruddin sendiri waktu itu meyakini kalau Soeharto akan segera tumbang. Ini sesuai dengan prediksi KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, yang memprediksi Soeharto tumbang.
"Setelah Uni Soviet runtuh, Gus Dur memprediksi negara-negara yang dipimpin otoriter akan runtuh, karena itulah set-up dunia barat,” katanya.
Nuruddin bercerita, meski dirinya tidak ikut melakukan demonstrasi di Jakarta, tapi suasana ‘panas’ begitu terasa hingga Malang.
"Dulu saya yang memimpin demo pertama kali di depan kampus Unisma, ketika itu terjadi kericuhan sampai merambat ke kampus-kampus lain,” kata pria 49 tahun ini.
ADVERTISEMENT
-----
Baca story lain tentang liputan khusus terkait 21 Tahun Reformasi hanya di tugumalang.id atau kumparan.com/tugumalang
Reporter : Rino Hayyu Setyo
Editor : Irham Thoriq