Eka Kurniawan dan Kritik Terhadap Kerja-Kerja Negara

Konten Media Partner
18 November 2019 15:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Eka Kurniawan. Foto: facebook eka kurniawan.
zoom-in-whitePerbesar
Eka Kurniawan. Foto: facebook eka kurniawan.
ADVERTISEMENT
Oleh: Abdullah
Beberapa pekan lalu, dunia literasi dihebohkan atas penolakan sebuah penghargaan bergengsi, Anugerah Kebudayaan dan Maestro Seni Tradisi 2019 yang akan diberikan kepada penulis novel best seller ‘Cantik Itu Luka’, Eka Kurniawan. Dalam kesempatan tersebut Eka Kurniawan mendapat penghargaan untuk kategori Pencipta, Pelopor dan Pembaru. Tetapi di luar perkiraan, lelaki kelahiran Tasikmalaya itu malah tidak mengambilnya.
ADVERTISEMENT
Penolakan Eka bukan tanpa sebab. Hal tersebut ia lakukan sebagai kritik terhadap pemerintah, bahwa tidak ada bukti nyata negara dan pemerintah melindungi seniman dan kerja-kerja kebudayaan. Ia menganggap negara tidak serius, tidak peduli terhadap kesusastraan dan kebudayaan negeri ini secara umum.
Namun, terlepas dari itu semua, Eka ingin menyampaikan jika proses yang diawali oleh kerja keras tak dapat begitu saja ditukar dengan apa pun. Termasuk dengan sebuah penghargaan. Mungkin bukan bentuk semacam itu yang diinginkan Eka, tetapi suatu hal yang lebih, mengenai dunia kesusastraan dan kebudayaan literasi bangsa. Mengingat rata-rata generasi melenial sudah sedikit yang berminat tuk belajar hal-hal yang demikian.
Apalagi, yang baru-baru ini terjadi, tentang nasib buku-buku yang diambil paksa, dirampas, bahkan dibakar oleh sejumlah aparat keamanan. Katanya, takut menjadi konsumsi masyarakat yang ke kiri-kirian. Dan yang tak kalah anehnya, dengan buku-buku tersebut aparat takut stabilitas keamanan negara terancam.
ADVERTISEMENT
Coba, apa tidak konyol kedengarannya. Padahal, membakar buku sama halnya negara sedang menghacurkan peradaban. Masih ingatkah kejadian saat Amerika Serikat menggempur habis-habisan wilayah Bagdad pada Mei 2003 lalu. Terpampang jelas negara adidaya itu berupaya memusnahkan peradaban Bagdad dengan pembakaran buku dan perusakan museum-museum yang ada di sana.
Mengenai hal itu, Fernando Baez, penulis ‘Penghancuran Buku Dari Masa Ke Masa’ terlebih dahulu mengemukakan kritiknya bahwa buku-buku dihancurkan bukan oleh ketidaktahuan awam atau kurangnya pendidikan, melainkan justru oleh kaum terdidik dengan motif ideologis masing-masing. Dalam artian negara bukan tidak paham, karena memang ada kepentingan-kepentingan tertentu sehingga secepatnya harus dibasmi—atau takut akan menimbulkan kegentingan yang membuat negara tidak sanggup mengatasinya.
Kejadian tersebut langsung mendapat komentar dari Direktur Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (LESPERSSI), Beni Sukadis yang secara gamblang mengatakan, hal demikian secara tidak langsung merupakan bentuk penghinaan intelektual. Karena di dalam razia tersebut juga terdapat tulisan Founding Fathers kita, Presiden Soekarno yang juga ikut diringkus. Tak luput tulisan pemikir-pemikir hebat, intelektual yang justru anti-komunis seperti Soe Hok Gie dan Ong Hok Ham menjadi sasaran empuk para aparat.
ADVERTISEMENT
Sangat ironis sekali. Saya berani bertaruh, para pelaku Librisida (istilah untuk penghancuran buku) yang menyita buku-buku tersebut belum selesai atau bahkan tidak pernah membacanya sama sekali. Mereka tidak paham bahwa di dalamnya ada sebuah mimbar kebebasan akademik yang wajib dihargai bilamana bangsa ini ingin maju. Sebagaimana dikatakan oleh Filsuf asal Austria, Michael Polanyi, bahwa kebebasan akademik adalah kebutuhan mendasar untuk menghasilkan pengetahuan yang benar..
Tentang karya-karya Eka, bagi saya sangat layak ia untuk mendapatkan penghargaan yang akan diberikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Apalagi penghargaan semacam itu tidak hanya kali ini saja. Pada tahun 2018, pengagum Pramoedya Ananta Toer ini berhasil meraih penghargaan Internasionalnya di Belanda. Ia sukses menggunakan kekuatan sastra dan literatur sebagai penyampai topik-topik krusial terutama dalam masa-masa ketika kebebasan berpendapat mulai tidak dapat tempat.
ADVERTISEMENT
Lewat bukunya-bukunya ia meluapkan kekecewaan yang mendalam. Barangkali benar jika penulis asal Rusia, Maxim Gorky dalam bukunya “Pecundang” mengatakan, kalau buku adalah pelampisan nafsu birahi, produk pelacuran pikiran. Dengan buku pula akan membongkar tabir kejiwaan—cara satu-satunya ketika ucapan kian dibungkam.
Pantas saja seorang Eka menolak mentah-mentah penghargaan itu. Penulis yang dinobatkan sebagai salah satu dari 100 pemikir paling berpengaruh di dunia pada tahun 2015 ini masih kecewa terhadap kerja negara dalam memberikan jaminan keamanan kepada pegiat-pegiat sastra dan kebudayaan bangsa Indonesia. Apalagi dalam penghargaan tersebut ia hanya mendapatkan pin dan sejumlah uang sebesar 50 juta. Itu pun masih dikenakan pajak.
ADVERTISEMENT
Karya kreatifnya harus mendapatkan suatu hal yang lebih dari pada itu. Sebagai bentuk apresiasi negara terhadap para pejuang-pejuang sastra yang ingin meningkatkan kualitas literasi bangsanya.
Abdullah, penulis artikel. Foto dokumen.
Penulis merupakan Mahasiswa di Kota Malang. Jurnalis dan penggiat literasi juga menjadi kesibukannya. Dan sekarang aktif di Komunitas Sastra Malam Raboen.