Gereja Jago Malang, Satu Gereja Beragam Budaya

Konten Media Partner
26 Desember 2020 13:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Yohanes Suhadi. Foto: Rizal Adhi
zoom-in-whitePerbesar
Yohanes Suhadi. Foto: Rizal Adhi
ADVERTISEMENT
MALANG - Di Kecamatan Lawang Kabupaten Malang, berdiri bangunan Gereja Katolik Maria Tak Bernoda atau yang biasa disebut Gereja Jago.
ADVERTISEMENT
Gereja yang dibangun saat masa kolonial Belanda, tepatnya tahun 1916 ini, memiliki sejarah panjang. Dimana gereja ini awalnya dibangun untuk tempat peristirahatan pegawai Belanda yang sekaligus tempat beribadah pensiunan pegawai Belanda.
Alasan dibalik pembangunannya sendiri cukup unik. Para pensiunan pegawai Belanda ini dulu kesulitan untuk beribadah karena harus jauh-jauh ke Gereja Hati Kudus Yesus Kota Malang atau Gereja Katolik Pasuruan. Karena terlalu jauh, mereka memutuskan mendirikan Gereja Katolik sendiri di Kecamatan Lawang.
Gereja Katolik Maria Tak Bernoda. Foto: Rizal Adhi
"Karena jarak tempuh dulu bisa sampai 10 kilometer, jadi mereka membangun gereja berbentuk kota berukuran 7 meter kali 16 meter bergaya Eropa di tempat peristirahatan," ujar Seksi Siperawatan Lingkungan Gereja Jago Malang, Yohanes Suhadi, pada Sabtu (26/12/2020).
Setelah tegak berdiri, Gereja Jago Malang mulai merekrut pastor dari sekolah pastor di Kayutangan Kota Malang. Sejak saat itulah, Gereja Katolik Maria Tak Bernoda memiliki pastor sendiri dengan jemaat sekitar 75 orang.
ADVERTISEMENT
"Dan yang memakai gereja waktu itu bukan hanya pensiunan pegawai Belanda, tapi juga pegawai aktif Belanda sampai orang Belanda pemilik tanah di Lawang," bebernya.
Gereja Katolik Maria Tak Bernoda. Foto: Rizal Adhi
Setelah Indonesia merdeka, jumlah jemaat Gereja Jago Malang langsung membludak. Dari awalnya hanya 75 jemaat, langsung meningkatkan menjadi 250 jemaat. "Jemaatnya jadi tidak hanya orang Belanda, tapi ada orang Jawa juga," ungkapnya.
Karena jumlah jemaatnya terus membludak, pada tahun 1977, Camat Lawang waktu itu memberikan izin perluasan bangunan seluas 14 meter kali 12 meter. Bangunannya mendapatkan sentuhan budaya Jawa berupa bangunan joglo.
"Gaya tersebut dipilih karena kebanyakan jemaat adalah orang Jawa, sementara dulu banyak gereja bergaya neo-ghotic tapi kami memilih gaya Jawa," jelasnya.
Yohanes Suhadi. Foto: Rizal Adhi
Gereja ini kembali mengalami perluasan dan perbaikan pada tahun 1994-1998, dengan penambahan luas bangunan menjadi 22 meter kali 30 meter. Selain luasnya yang ditambah, ternyata ornamen-ornamen gereja juga makin bervariasi seiring beragamnya suku jemaat mulai dari Bali, Tionghoa, Jawa, dan Eropa.
ADVERTISEMENT
"Hal ini karena waktu itu mulai meningkat transmigrasi, jemaat akhirnya juga main beragam. Ada yang dari Jawa, Bali, hingga China," ungkapnya.
Kapasitas jemaat juga makin meningkat. Kini, jumlah jemaat yang bisa ditampung hingga 900 orang.
Secara khusus, Yohanes menunjukkan ornamen-ornamen khas Jawa seperti 2 bentuk malaikat di dekat altar. Uniknya, malaikat tersebut memiliki bentuk seperti wayang Jawa. Ada juga relief-relief batu yang merujuk pada budaya Bali
"Begitupun dengan selendang yang dipakai dua malaikat tersebut identitas dengan budaya Jawa. Sementara pahatan relief-relief di sini menunjukkan corak budaya Bali." terangnya.
Sementara corak budaya Eropa masih terlihat kental dengan mozaik-mozaik di kaca jendela yang khas dengan gereja berkultur Eropa.