Konten Media Partner

Gubug Lazaris, Rumah Kedaulatan Pangan Kediri di Tengah Pandemi

16 Oktober 2020 17:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petani di Gubug Lazaris sedang merawat kedelai hitam. Foto: Rino Hayyu Setyo
zoom-in-whitePerbesar
Petani di Gubug Lazaris sedang merawat kedelai hitam. Foto: Rino Hayyu Setyo
ADVERTISEMENT
KEDIRI- Salah satu ancaman yang terjadi karena pandemi COVID-19 ialah krisis pangan. Adanya kekhawatiran tersebut maka diperlukan upaya serius untuk mengantisipasi datangnya bahaya tersebut. Hal tersebut yang sempat dipikirkan Romo Hardo Iswanto, pendiri Gubug Lazaris di Desa Sambirejo, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri.
Para petani sedang menanam bibit kedelai hitam di ladang. Foto: Rino Hayyu Setyo.
zoom-in-whitePerbesar
Para petani sedang menanam bibit kedelai hitam di ladang. Foto: Rino Hayyu Setyo.
Hamparan lahan pertanian seluas 2,5 hektare yang dikelola Gubug Lazaris semua ditanam secara organik. Dari pupuk sampai pembasmi hama, semuanya organik. Dalam menggarap lahan pertanian itu, Romo Hardo mengajak warga sekitar dan bisa langsung menjual hasil pertaniannya secara di lokasi. “Agar masyarakat bisa belajar tentang pertanian organik dengan mudah, saya sediakan lahannya,” ungkap Romo Hardo kepada tugumalang.id partner resmi kumparan.com.
Bibit kedelai hitam Gubug Lazaris yang siap ditanam. Foto: Rino Hayyu Setyo.
Selain padi organik yang menjadi unggulan, petani Desa Sambirejo juga menanam jagung, umbi-umbian, sayuran dan buah organik. Sistem pertanian organik dipilih untuk mendukung upaya pelestarian lingkungan dan ekosistem. Produk pertanian unggulan dari petani Lazaris adalah padi merah, ungu, hitam dan putih.
Petani sedang mengusir burung-burung di ladang padi. Foto: Rino Hayyu Setyo.
Menurut Romo Hardo, upaya budidaya tanaman pangan organik yang dikembangkan dengan tidak memakai pupuk maupun pestisida kimia ini, merupakan langkah nyata dalam menjaga lingkungan agar tidak rusak. Bagaimana dengan proses produksi pupuknya? Mendapatkan pertanyaan itu, Romo Hardo menerangkan jika ia menggunakan pupuk sapi. Romo Hardo pun mengajak secara langsung melihat bagaimana cara memproduksi pupuk kandang itu. Kotoran-kotoran sapi yang terkumpul diberikan cacing tanah. Gunanya, kata Romo Hardo, untuk mengurai zat gas metana yang terkandung dalam kotoran sapi tersebut. Tak hanya itu, kotoran sapi itu juga dibuat biogas untuk gudang penyimpanan gabah dan bibit.
ADVERTISEMENT
Salah seorang pengelola Gubug Lazaris sedang mengambil kotoran sapi. Foto: Rino Hayyu Setyo.
“Kami menghindari penggunaan pupuk maupun bahan pestisida kimia. Kami bisa membuat pupuk dan pestisida sendiri menggunakan kotoran ternak sapi yang difermentasi hingga menggunakan pengendali hama, “ jelasnya.
Romo Hardo Iswanto menunjukan pupuk kandang yang sudah difermentasi dengan cacing tanah. Foto: Rino Hayyu Setyo.
Rumah singgah Gubug Lazaris ini, ungkap Romo Hardo, didirikan sejak tahun 2010 lalu. Komunitas petani organik ini berkomitmen mengelola pertanian secara sehat dan menghasilkan tanaman pangan yang sehat. Sistem pertanian organik ini dipilih sebagi bentuk kepedulian terhadap kelestarian lingkungan karena dengan mengelolah lahan menggunakan sistem ini, dapat memperbaiki struktur dan kesuburan tanah serta membangun ekosistem yang berkelanjutan.
Dapur Gubug Lazaris yang menggunakan biogas. Foto: Rino Hayyu Setyo.
Produk unggulan dari komunitas berupa beras organik, dijual antara Rp 20 ribu hingga Rp 30 ribu per kilogram (kg). Sedangkan sayur organik dijual Rp 20 ribu/kg. Sekali panen produksi beras dari komunitas ini bisa mencapai 2 ton dari berbagai jenis beras. Beras organik dengan kualitas baik ini, sangat disukai pelanggan. Salah satunya Budi Setiawan, asal Surabaya yang mengaku telah menjadi pembeli tetap sejak lama. Ia dan keluarga sering membeli beras organik di tempat ini, meskipun harganya lebih mahal dibandingkan dengan beras di pasaran.
Para petani sedang mengayak gabah padi. Foto: Rino Hayyu Setyo.
Di sisi lain, Romo Hardo mempunyai makna menamai tempatnya dengan Gubug Lazaris. Ia mengaku bahwa Lazaris dari salah seorang sahabat Yesus yang bernama Lazarus. Menurutnya, Lazarus ialah sahabat yang miskin dan kekurangan makan. Namun, diakhir Lazarus masuk dalam surga Firadus dan dipangku oleh Nabi Abraham. Dari hikmah cerita di Injil tersebut, Romo Hardo menggambarkan jangan sampai ada orang yang termarjinal lagi. Dengan semangat itulah, ia ingin menemani petani lokal agar bisa berdaulat. “Tidak sekadar bertahan hidup, tapi benar-benar berdaulat,” pungkasnya.
Penjaga toko Gubug Lazaris dengan produk beras organik unggulannya. Foto: Rino Hayyu Setyo.