Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0

Oleh Nurudin
ADVERTISEMENT
Sebuah WhatsApp (WA) dari mahasiswa semester I masuk ke Hand Phone (HP) saya. Bunyinya, “Pak, mau tanya apakah mereka yang demonstrasi itu mencintai NKRI. Apa bukan menambah masalah bagi stabilitas bangsa ini?”
ADVERTISEMENT
Itu pertanyaan yang cerdas bagi saya, meskipun ia masih semester I. Paling tidak untuk ukuran mahasiswa baru. Ia sudah sangat tanggap dengan persoalan di sekitarnya. Meskipun sangat terkesan lugu, tidak apa. Pertanyaan seperti di atas akan membuat seseorang ingin tahu lebih banyak. Dengan cara begitu, ia akan belajar dan berusaha memahami dinamika sosial di sekitarnya, untuk bekal masa depannya.
Seperti biasanya saya membaca laman media sosial teman-teman. Apalagi saat riuh adanya demonstrasi akhir-akhir ini. Lalu saya sampai pada status yang ditulis seorang kolega dosen. Tulisan dilengkapi dengan hastag begini, “Mohon Maaf. Saya masih #PercayaLangkahJokowi #NKRIHargaMati #BhinnekaTunggalIka #PancasilaWillNeverDie”.
Tulisan itu memang tidak ada yang istimewa. Itu hanya ungkapan pribadi seseorang dalam mengamati gejolak dan dinamika sosial politik akhir-akhir ini. Hastag di atas juga saya anggap biasa. Itu ungkapan klasik dan normatif yang selama ini kita baca dan dengar. Dan hastag itu tidak perlu diperdebatkan jika itu dikaitkan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Bhinneka Tunggal Ika, dan Pancasila. Bagi saya, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila sudah final dan tak bisa diutak-atik lagi.
ADVERTISEMENT
Lalu apa yang menarik dari tulisan kolega dosen tersebut? Coba kita amati secara terbalik. Bisa jadi ini pikiran subjektif saya, tetapi saya yakin pembaca akan memahaminya sama. Status itu sepertinya mengatakan bahwa demonstrasi yang dilakukan mahsiswa mengapa menyalahkan Jokowi? Bukankah yang bersalah itu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)? Juga, ada kesan mencurigai bahwa para demonstrasi itu anti NKRI, Bhinneka Tunggal Ika dan tidak cinta Pancasila.
Sekali lagi jika ini dipahami bukan dari teks yang muncul, tetapi makna yang terungkap. Bisa jadi subjektif. Lebih lanjut jika ditafsirkan ulang, demonstrasi yang dilakukan itu merongrong dan mengganggu stabilitas. Coba dilihat dan dibaca bagaimana komentar para pejabat pemerintah terkait demonstrasi itu
Soal Nilai
Curiga pada demonstrasi sah-sah saja. Tak ada larangan untuk itu. Itu juga menyangkut sudut pandang masing-masing. Sudut pandang ini akan dipengaruhi oleh personal dan lingkungan sosial dimana seseorang berada. Seseorang yang sudah telanjur membabi buta mendukung pemerintah secara personal, tentu akan sulit untuk “melepaskan baju” di luar yang berseberangan dengan pemerintah itu. Namun mereka yang mendukung secara rasional dengan mempertimbangkan plus minusnya akan bisa berpikir lebih jernih. Dukungan itu persoalan nilai pada kepentingan umum bukan pada personal.
ADVERTISEMENT
Jika ada pihak-pihak tertentu yang masih curiga pada demonstrasi mahasiswa coba dilihat bagaimana latar belakang personalnya? Apa kecenderungan personalnya selama ini? Apa kepentingan politik atasnya? Apa pula misi dan visi yang sedang diperjuangkan. Ada kalanya seseorang bersikap hanya atas dasar suka dan tidak suka.
ADVERTISEMENT
Dalam status seorang teman saya juga terungkap bahwa ada anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang sinis pada demonstrasi karena tidak rasional. Demonstrasi kok di daerah, di depan gedung DPRD lagi? Sementara yang berurusan dengan demonstran itu DPR pusat. Harusnya demonstrasi itu ke gedung DPR di Jakarta sana, bukan?
Kalau yang mengatakan ini orang awam, mungkin kita tidak perlu risau. Ini yang bicara anggota DPRD yang waktu mahasiswa pernah jadi seorang aktivis? Apakah dia sudah tergadai integritasnya di tengah budaya materialisme yang dibungkus kepentingan politik? Sudah sedemikian parahkan anggota DPRD kita saat ini? Kalau yang daerah saja begitu, bagaimana dengan anggota DPR?
Bisa juga ada yang komentar sinis. Untuk apa demonstrasi? Apakah demonstrasi itu akan mengubah aturan yang sudah ditetapkan? Kalau DPR dan presiden sudah sepakat masyarakat bisa apa?
ADVERTISEMENT
Membangun Opini Publik
Demonstrasi itu tidak melulu soal apakah ia bisa berhasil memengaruhi kebijakan atau tidak. Juga bukan soal apakah jika kebijakan sudah disetujui sepihak pemerintah dengan DPR lalu berubah. Bukan soal itu. Memang titik akhirnya bagaimana memengaruhi kebijakan tersebut yang dianggapnya tidak mewakili kepentingan masyarakat umum. Tentu tafsir kata “masyarakat” ini juga bermacam-macam. Tetapi jika yang sudah berbicara itu mahasiswa dalam jumlah besar bisa dipastikan ia mewakili kepentingan masyarakat luas.
Sekali lagi demonstrasi tidak semata-mata mengubah kebijakan. Mengubah kebijakan itu tidak sebagaimana membalikan telapak tangan. Membalikkan telak tangan saja susah jika tangannya sedang sakit.
Demonstrasi itu yang terpenting dan terutama adalah membangun opini publik ke masyarakat luas. Kita boleh amati, ada narasi yang dibangun untuk “menggembosi” demonstrasi mahasiswa. Misalnya, demonstrasis itu “anti NKRI”, “disusupi taliban”, “tidak cinta keberagaman”. Dan mereka yang tidak suka dengan demonstrasi itu akan terus membangun wacana. Tujuannya apa? Melemahkan tujuan ideal demonstrasi tersebut.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, jika memang ada wacana yang berseberangan dengan gerakan demonstrasi itu maka demonstrasi dalam skala luas harus terus dibangun. Bukan soal apakah dia bisa mengubah kebijakan atau tidak. Paling tidak membangun dan melawan wacana yang dibuat sepihak untuk “menggembosi” demonstrasi. Wacana dibangun agar bisa menjadi opini publik.
Jadi tujuan demonstrasi dalam jangka panjang tak lain membangun opini publik. Apakah dengan demonstrasi saja kebijakan yang diprotes itu besok pagi akan berubah? Mereka yang berkepentingan pada kebijakan tentu akan melindungi dengan berbagai cara. Mereka punya kekuasaan dan alat negara. Apakah dengan demikian demonstrasi harus berhenti? Tentu saja tidak. Sekali lagi, demonstrasi itu tidak sekadar mengubah kebijakan. Ini tidak mudah. Membangun opini publik juga bagian dari proses ke arah perubahan yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
Jadi, soal cinta NKRI kita tidak usah mengklaim yang paling benar. Kata NKRI dalam beberapa hal sudah menjadi komoditas politik. NKRI bukan diteriakkan tetapi harus dilaksanakan dalam wujud nyata. Jika demonstrasi itu dilandasi karena cintanya pada NKRI berarti mereka pelaksana sejati cinta NKRI. Mereka tidak usah berlindung dibalik ungkapan manis dan ideal yang sebenarnya penuh dengan kepentingan terselebung.
Penulis adalah dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan penulis buku. Penulis bisa dihubungi di twitter/IG: nurudinwrite
ADVERTISEMENT