Ironi Perceraian di Kabupaten Malang yang Tembus 6.878 Kasus Pertahun

Konten Media Partner
28 Februari 2019 10:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Kabupaten Malang menyisakan ironi. Di kabupaten terbesar kedua di Jawa Timur ini, perceraian begitu berjibunnya. Pada 2015 silam, wilayah ini menjadi penyumbang janda dan duda terbanyak di Indonesia. Lalu, bagaimana saat ini? berikut reportase khas tugumalang.id

Suasana Pengadilan Agama (PA) Kabupaten Malang di Kepanjen, rabu (27/2). Mayoritas persoalan yang ditangani oleh PA Kabupaten Malang adalah kasus perceraian.
zoom-in-whitePerbesar
Suasana Pengadilan Agama (PA) Kabupaten Malang di Kepanjen, rabu (27/2). Mayoritas persoalan yang ditangani oleh PA Kabupaten Malang adalah kasus perceraian.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
ADVERTISEMENT
Dari orang yang hilir mudik di Pengadilan Agama (PA) Kabupaten Malang saban hari, sekitar 80 persen masih kasus perceraian. Perhari, rata-rata PA Kabupaten Malang menangani sebanyak 18 hingga 19 kasus perceraian.”Kalau dihitung, mungkin hampir 80 persen memang kasus perceraian," kata Humas PA Kabupaten Malang M. Nur Syafiuddin, saat ditemui rabu (27/2).
Jumlah perceraian di wilayah Kabupaten Malang dalam tiga tahun terakhir sebenarnya masih relatif tinggi tanpa adanya penurunan yang sangat signifikan. Data dari Pengadilan Agama Kab Malang, selama tahun 2018 lalu terdapat sebanyak 6.878 kasus perceraian. Sedang pada tahun 2017 jumlahnya lebih rendah, yakni sebanyak 6.420 kasus. Dan pada tahun 2016 terdapat sebanyak 6.889 kasus perceraian.
Syaifuddin mengungkapkan bahwa penyebab perceraian adalah permasalahan ekonomi. Namun, yang melatari hal itu sebenarnya adalah fenomena yang memang banyak terjadi di Kabupaten Malang, yakni ketika pihak istri atau perempuan memilih untuk bekerja di luar negeri alias menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW).
ADVERTISEMENT
"Kalau penyebab signifikan memang tidak bisa dipungkiri adalah TKW tersebut," jelas pria asli Lamongan tersebut. Ia menyatakan bahwa mayoritas kasus perceraian yang ia tangani, dikarenakan adanya pihak keluarga yang pergi ke luar negeri."Mungkin sekitar 75 persen kasus perceraian yang terjadi saat ini adalah mantan TKW," bebernya.
Ia menjelaskan bahwa hal itu sebenarnya masuk dalam faktor ekonomi kenapa pasangan memutuskan untuk bercerai. Ia menuturkan bahwa yang melatari perempuan menjadi TKW dikarenakan keterbatasan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari."Dan yang memutuskan menjadi TKW itu, mungkin hampir 90 persennya rentan untuk bercerai," imbuhnya tegas.
Humas Pengadilan Agama (PA) Kabupaten Malang M. Nur Syafiuddin.
Jika bekerja di luar negeri menjadi faktor utama, pada urutan kedua, penyebab yang menjadi masalah perceraian dilatari oleh pernikahan dini."Jadi mungkin secara psikologis, kesiapan mereka sebenarnya masih belum. Jadi begitu ada benturan sedikit mereka langsung mengajukan cerai ke pengadilan agama," sambungnya. Ia menjelaskan, bahwa kasus pada pernikahan dini, masa pernikahan hanya berkisar antara satu hingga dua tahun saja. "Mungkin hanya maksimal dua tahun, pernikahan itu telah usai," terangnya.
ADVERTISEMENT
Ia juga menilai bahwa kasus pernikahan dini terjadi lantaran budaya buruk yang telah menjadi suatu fenomena di masyarakat."Ini seakan orang tua lepas tanggung jawab dari putra putri mereka, mereka kebanyakan hanya menjawab 'daripada... , daripada...' pada putrinya yang menikah di bawah umur. Ini seakan mereka lepas tanggung jawab atas putri mereka," terangnya.
Pergaulan Bebas hingga Banyaknya Wanita yang Selingkuh
Tak hanya itu, maraknya pergaulan bebas juga dituding menjadi alasan kenapa perceraian di Kabupaten Malang begitu tinggi. "Jadi pernikahan dini terjadi karena ada yang hamil duluan, seperti hal itu. Dan seharusnya orang tua berperan dalam hal itu," tuturnya. Oleh karena itu ia menyatakan bahwa sebenarnya ada yang salah dengan persepsi konsep pernikahan yang sebenarnya.
ADVERTISEMENT
Jika urutan pertama dilatarbelakangi bekerja di luar negeri atau menjadi TKW, dan kedua adalah pernikahan dini. Pada urutan ketiga penyebab perceraian dikarenakan adanya perselingkuhan. Namun, yang menarik ternyata perselingkuhan itu justru dilakukan oleh pihak istri atau si perempuan. Hal itu juga dijelaskan oleh Syaifuddin berkaca dari pengalamannya sebagai hakim.
"Dulu selingkuh mungkin domainnya (wilayah) laki-laki, namun sekarang ini saya melihat justru pihak istri yang melakukan perselingkuhan," sambung lulusan Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri (UIN) Surabaya itu. Ia menerangkan, bahwa alasan sang istri biasanya didominasi karena tidak ada perhatian dari suami, dan alasan kedua adalah silau yang sesaat dari pria lain.
Meski demikian, ia menilai bahwa jumlah kasus perceraian di Kabupaten Malang sebenarnya masih relatif normal jika dibandingkan jumlah penduduk Kabupaten Malang yang berjumlah lebih dari 2,5 juta jiwa tersebut. "Dari perkara total memang besar, tapi jika dibandingkan jumlah penduduk sebenarnya jumlah ini masih terbilang wajar," tambahnya.
ADVERTISEMENT
Nikah jangan Asal Nekat
Lalu, bagaimana solusi agar bisa menekan jumlah angka perceraian? Pria yang tengah mengejar gelar Doktor dari Fakuktas Hukum Universitas Brawijaya (UB) itu berpendapat bahwa terdapat konsep yang salah dalam pernikahan. Menurutnya, seseorang menikah harus dalam kondisi yang benar-benar mapan baik secara ekonomi maupun psikologis.
"Jadi ekonominya harus mapan, jangan ketika bergaji Rp 50.000 sebulan, tapi sudah berani untuk menikah," ucapnya. Oleh karenanya, ia menyarankan agar seseorang menikah ketika sudah benar-benar mapan dan tidak hanya sekadar ikut-ikutan karena banyaknya teman atau tetangga yang menikah.
Tak hanya itu, masyarakat seharusnya tidak memakan mentah-mentah omongan terkait ketika seaeorang menikah pasti saja ada jalan atau rejeki. "Maka dari itu, ada konsep yang salah. Sebenarnya konsep rumah tangga itu yang harus 'diupgrade'. Terkait hal itu sebenarnya kan banyak juga hadist-hadits yang perlu dilihat," terangnya.
ADVERTISEMENT
Ia juga menilai bahwa kategori ekonomi dikatakan mapan ini sebenarnya belum tentu berharta banyak. "Jadi mapan ini kan sebenarnya tidak harus bergelimang harta, melainkan cukup untuk hidup," tandas pria kelahiran 7 Maret 1976 itu.
Reporter : Gigih Mazda
Editor : Irham Thoriq