Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2

ADVERTISEMENT
Oleh Nurudin
Ada asap tentu ada api. Itu peribahasa lama yang sampai sekarang masih relevan. Secara sederhana mungkin peribahasa itu biasa saja. Tak ada yang istimewa. Ada asap ya tentu apa api, bukan? Bagaimana mungkin asap muncul tanpa ada api? Tetapi itu cara berpikir sederhana. Tentu ada tali-temali mengapa peribahasa ini penting untuk saat ini.
ADVERTISEMENT
Coba kita lihat arti peribahasanya. Peribahasa “Ada asap ada api” bisa berarti; (1) beberapa hal yang ada di sekitar kita itu akan amat sulit atau bahkan mustahil untuk disembunyikan, dan (2) segala sesuatu pasti ada penyebabnya.
Kita akan fokus pada arti yang kedua, bahwa segala sesuatu pasti ada penyebabnya. Peribahasa “Ada asap (pasti) ada api” sangat populer dalam pelajaran Bahasa Indonesia pula saat saya sekolah. Waktu itu saya kenal pertama kali saat membaca buku 700 Peribahasa Indonesia karya R. Maskar Gandasudirdja terbitan Toko Buku “Ekonomi” Bandung.
Kebijakan Salah Langkah
Apa yang menarik dari peribahasa tersebut? Peribahasa ini bisa menggambarkan kondisi masyarakat atau dinamika kenegaraan kita saat ini. Kita itu sudah sering salah langkah. Tetapi salah langkah itu masih sering kita lakukan. Jadi, kesalahan akan terus berulang-ulang. Jadilah upaya penyelesaikan masalah yang tidak menyentuh subtansi isi.
ADVERTISEMENT
Misalnya bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). Pemerintah lebih fokus pada bagaimana caranya asap tidak muncul lagi. Misalnya dengan membuat hujan buatan, menyemprot tempat terjadinya kebakaran, sampai harus bersama-sama melakukan sholat minta hujan (istisqa). Usaha ini tentu patut diapresiasi dan didukung. Tapi tidaklah cukup.
Masalahnya, bagaimana jika kabut asap itu seolah menjadi rutinitas tahunan menjelang akhir musim kemarau? Orang tentu bisa berkilah karena udara memang sedang panas-panasnya. Sehingga lahan kering mudah terbakar.
Lalu muncul pertanyaan lain, mengapa saat setelah terjadi kebakaran segera ditanami kelapa sawit atau tanaman produktif lain? Mengapa secepat itu? Pertanyaan lain pun segera menyusul; siapa yang punya kepala sawit itu? Lalu mengapa pula kepala daerah seolah tidak mampu berbuat banyak? Apakah ada kongkalikong antara investor pemilik kelapa sawit dengan pejabat daerah atau justru pejabat tingkat pusat? Ada banyak pertanyaan yang layak dikemukakan.
ADVERTISEMENT
Mengapa harus curiga? Tentu saja kecurigaan ini cukup beralasan. Mengapa pemerintah pusat tidak sigap atas bencana asap? Mengapa tidak dicari penyebab mengapa sampai terjadi kebakaran hutan setiap tahun? Ada apa?
Inilah konteks peribahasa bahwa ada asap pasti ada api menjadi relevan. Mengapa tidak mencari titik penyebab tetapi hanya fokus pada memadamkan asapnya? Kalau hanya memadamkan asap mungkin bisa segera dilakukan. Tetapi jika tidak diselesaikan persoalan pendorong pembakaran hutan itu tentu bencana akan terus muncul. Jika begini yang jadi korban tentu masyarakat, bukan?
Inilah kebijakan dimana sering hanya fokus pada menyelesaikan masalah yang tidak substansial. Penyelesaian masalah bukan pada sumber utamanya. Terjadi usaha mengatasi tetapi hanya sementara saja. Masalah akan muncul lagi karena sumbernya tidak diatasi.
ADVERTISEMENT
Coba kita lihat juga soal penyelesaian demonstrasi mahasiswa beberapa waktu lalu. Lihat pula bagaimana perilaku pejabat dalam menanggapi demonstrasi. Bukankah mereka hanya seperti “memadamkan” asap? Atau bahkan tidak memadamkan asap tetapi justru mengipas-ngipasi agar api terus menyala atau asap itu terus muncul? Jadi, lihat sekali lagi bagaimana komentar para pejabat.
Mengapa mereka tidak fokus pada usaha memadamkan “apinya”? Kenapa tidak ditanya apa sebenarnya yang menjadi penyebab munculnya demonstrasi itu? Kalau sumbernya adalah revisi soal UU KPK atau KUHP mengapa tidak difokuskan pada penyelesaian dengan masalah utama kedua soal itu?
Mengapa masalah melebar dengan menuduh pelaku demonstrasi yang bukan-bukan? Mengapa pemerintah justru melempar atau mengalihkan isu utama? Misalnya, demonstrasi ditunggangi, demonstrasi anarkis, demonstrasi untuk menggagalkan pelantikan presiden terpilih, mengancam NKRI dan label-label lain yang tidak adil. Tidak hanya tak adil, tetapi juga hanya berusaha mengalihkan isu pada substansi masalahnya.
ADVERTISEMENT
Bangsa Keledai?
Bangsa ini sudah banyak belajar bagaimana caranya mengalihkan isu. Masyarakat juga sudah paham bagaimana perilaku pejabat dalam usaha mengatasi masalah. Kadang saling lempar tanggung jawab, melempar isu atau bahkan lari dari permasalahan sebenarnya. Kenapa tidak berusaha fokus pada persoalan intinya? Memang menjadi pejabat itu tidak mudah. Tapi pejabat itu panutan, tuntunan serta “tontonan” masyarakat. Lebih sulit lagi jika ada pejabat yang hanya berurusan dengan memperkuat kekuasaan semata.
Itulah salah satu potret negara kita dalam menyelesaikan masalah. Ini tentu bukan soal suka dan tidak suka pada pemerintah (ini sering saya katakan dalam beberapa tulisan). Tetapi bagaimana pun juga pemerintah dituntut terbuka atas masukan dan kritik. Jika pemerintah saja sudah tertutup bagaimana akan bisa mengatasi persoalan bangsa ini secara cepat di masa kini dan datang?
ADVERTISEMENT
Dalam setiap perubahan, faktor elite politik memegang peranan penting. Itulah kenapa elite politik selalu menjadi sorotan. Jika benar tentu akan didukung. Jika salah tentu akan dikritik. Memang ada sebagian kelompok masyarakat yang mengkritik hanya berdasar kebencian. Tentu fenomena tersebut akan selalu ada dalam setiap perubahan di masyarakat. Tetapi apakah dengan demikian membuat pemerintah itu anti kritik?
Perubahan dimanapun dan kapanpun itu keniscayaan sejarah. Karena hidup ini maju ke depan dan tidak mundur kebelakang. Apakah revisi UU KPK yang dikatakan mundur karena melemahkan KPK itu tidak boleh diprotes? Apakah protes itu harus selalu dikaitkan dengan ketidaksukaan pada pemmerintah. Bukankah revisi UU KPK dan KUHP itu juga melibatkan DPR? Kenapa selalu dikaitkan dengan presiden?
ADVERTISEMENT
Itu cara berpikir orang-orang yang tidak serius menyelesaikan masalah. Menyelesaikan masalah tentu harus ke akarnya, bukan sekadar permukaan. Sebanyak mungkin menyelesaikan masalah jika di permukaan saja hanya akan mengakibatkan masalah akan muncul lagi di masa datang. Kalau caranya begitu, berapa biaya yang harus dikeluarkan?
Menapa kita tidak belajar dari sejarah? Cukup pemerintah Orde Lama dan Orde Baru menjadi teladan baik. Saling curiga berlebihan tentu akan menciptakan stigma negatif tertentu. Stigma ini akan menjadi daya dorong kebijakan yang tidak pada substansial tetapi hanya permukaan. Apakah kita akan menjadi bangsa yang akan terantuk baru dua kali sebagaimana seekor keledai? Jangan-jangan kita masih harus belajar dari keledai atau justru bangsa ini bangsa keledai?
ADVERTISEMENT
Penulis adalah dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan penulis buku. Penulis bisa dihubungi di twitter/IG: nurudinwriter