Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Kafe di Malang yang Tumbuh dan Tumbang
5 Maret 2019 13:56 WIB
Diperbarui 21 Maret 2019 0:02 WIB
ADVERTISEMENT
Kota Malang semakin bergeliat sebagai kota metropolitan. Salah satu dampaknya, tempat tongkrongan di tempat ini begitu berjibun. Bisnis kafe seakan menjadi bisnis yang prospektif. Tapi kenyataannya, tidak sedikit pula para pebisnis kafe yang terpaksa harus gulung tikar. Seperti itulah kembang-kempis bisnis café di kota pendidikan ini.
ADVERTISEMENT
Guratan corak lukisan kontemporer menghiasi dinding-dinding kafe yang berpendar pantulan dari sinar lampu temaram. Para pengunjung tampak sibuk bercengkrama, diiringi kepulan asap rokok dan juga alunan suara musik. Ada pula yang sibuk dengan laptop dan gawainya. Fenomena itu seakan sudah menjadi pemandangan yang biasa di sudut-sudut Kota Malang.
Diperkirakan, jumlah tempat ngopi untuk nongkrong atau café di Kota Malang jumlahnya mencapi ribuan. Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua Asosiasi Pengusaha Kafe dan Restoran Indonesia (Apkrindo) Malang, Indra Setiyadi.”Kalau di Kota Malang saja, mungkin jumlahnya sudah sampai 1.000 lebih,” kata Indra kepada Tugu Malang.
Ia mencontohkan tempat-tempat seperti di Jalan Soekarno Hatta, kawasan Dinoyo, Joyo Grand, serta area belakang kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim jumlahnya mungkin sudah ratusan.
ADVERTISEMENT
Dirinya mengakui, bahwa memang belum ada data pasti terkait jumlah tersebut.”Sebab yang tergabung di Apkrindo sendiri hanya sedikit, saya sebagai ketua Apkrindo pun tidak tahu berapa jumlah kafe-restoran di Malang. Sebab untuk melakukan pendataan seperti itu juga diperlukan dana,” imbuh pemilik Restoran Kertangeara tersebut. Untuk diketahui, Apkrindo Malang saat ini hanya beranggotakan sekitar 60 orang pengusaha kafe dan restoran saja.
Menurutnya, menjamurnya kafe di Kota Malang baru terjadi 2-3 tahun terakhir ini saja. Namun, ia bercerita bahwa tidak semua bisnis tersebut berjalan dengan sukses.”Sudah banyak ceritanya ketika baru saja buka, kafe itu harus terpaksa tutup. Bahkan anggota Apkrindo pun jumlahnya tidak sedikit (yang menutup kafe atau restonya),” tuturnya.
Ia menjelaskan, bahwa saat ini kebanyakan para pebisnis pemula hanya melihat kesuksesan orang lain dan mencoba menggeluti bisnis yang sama dengan orang lain tersebut. “Ikut-ikutan ini memang seakan sudah menjadi tradisi budaya kita,” terangnya. Padahal, menurutnya banyak yang perlu dilihat sebelum membuka usaha café tersebut.
ADVERTISEMENT
“Sekarang ada tempat, langsung buka (kafe). Tetapi tidak melihat prospeknya. Serta segmen pasar yang dituju itu juga harus jelas,” bebernya. Ia menerangkan bahwa menentukan segmen pasar begitu penting, seperti target sasaran adalah mahasiswa, wisatawan, atau kelas menengah ke atas.
Ia melihat bahwa pasar untuk kafe di Malang saat ini adalah para mahasiswa.”Kalau saya melihat memang mahasiswa, bayangkan saja setiap tahun puluhan ribu mahasiswa masuk ke Malang,” ujarnya. Untuk diketahui, di Kota Malang sendiri terdapat total 57 perguruan tinggi dengan jumlah total mahasiswa berkisar 300 ribu jiwa. Hal itulah target pasar dari kafe-kafe yang menjamur di Kota Malang.
Selain itu, dirinya juga bercerita bahwa membuka bisnis di tempat milik sendiri bakal relatif lebih aman. “Jika kontrak, dalam 2-3 tahun nilai kontraknya bakal naik. Bahkan karena terlihat ramai, terkadang yang mengontrakkan itu juga ingin berbisnis yang sama di tempat tersebut. Dan itu sering terjadi. Jadi biasanya yang aman ini yang memiliki tempat sendiri,” bebernya.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, menurutnya survei tempat dan pasar sangatlah penting sebelum membuka usaha. ”Dan yang perlu dicermati, kafe kelas mahasiswa saat ini lebih banyak yang kecil tempatnya. “Kadang tempatnya kecil. Hanya diisi pengunjung yang duduk seharian sambil minum kopi. Maka omset dari mana? Dan saya kasihan akan hal itu,” sambung pria asli Malang tersebut.
Selain itu, dirinya juga menyarankan agar kafe tersebut juga menjual produk lain selain hanya sekedar secangkir kopi. “Jadi mungkin ada barang jualan yang untuk memperbanyak omset,” tandas Indra.
Pendapatan Sektor Pajak Kedua Terbesar di Kota Malang
Sementara itu, menjamurnya kafe dan restoran juga mempengaruhi jumlah pemasukan dari sektor pajak untuk pemerintah Kota Malang. Dari total kas yang masuk senilai Rp 433,5 miliar tahun 2018 lalu, pajak dari restoran lumayan besar yakni Rp 63,5 miliar.
ADVERTISEMENT
Hal itu diungkapkan oleh Kepala Badang Pelayanan Pajak Daerah (BP2D) Kota Malang Ade Herawanto.”Restoran mungkin yang kedua, yang terbanyak tetap dari BPHTB (Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan),” terang Ade. Untuk diketahui, nilai pajak dari BPHTB adalah senilai Rp 170,6 miliar.
Meski demikian, ia mengungkapkan bahwa pajak kafe untuk saat ini masih tidak dibedakan dari pajak restoran.”Jadi jumlah tersebut juga termasuk restoran, depot, warung, catering, café. Itu semua masuk pajak restoran,” ungkapnya. Ia mengungkapkan bahwa jika pengusaha memiliki omset sebesar RP 5 juta/bulan, maka ia dikenakan wajib pajak.
Untuk diketahui, data dari BP2D, para pemiliki NPWPD (Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah) di Kota Malang adalah sebanyak 1.642, diantaranya adalah 122 restoran, 1.264 rumah makan, 144 kafe, dan 112 pengusaha catering.
ADVERTISEMENT
Reporter : Gigih Mazda
Editor : Irham Thoriq