Konten Media Partner

Kekerasan Seksual pada Murid, Perspektif Hipnoterapi Klinis

20 Februari 2019 7:07 WIB
clock
Diperbarui 21 Maret 2019 0:04 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Oleh DR. Adi W. Gunawan, CCH*

Dr Adi W. Gunawan, CCH, penulis artikel.
zoom-in-whitePerbesar
Dr Adi W. Gunawan, CCH, penulis artikel.
ADVERTISEMENT
Siang ini, saya dapat kabar dari sahabat saya, Dr. Sakban Rosidi, MSi., Direktur Pascasarjana IKIP Budi Utomo, Malang, tentang dugaan kekerasan seksual yang dilakukan seorang guru pria di SD Negeri Kauman 3, Malang, kepada sekitar 20 orang muridnya. Salah satu bentuk kekerasan seksual yang dilakukan pelaku adalah memegang payudara murid.
ADVERTISEMENT
Kasus ini sedang diusut Polres Malang Kota. Komentar Dr. Sakban tentang kejadian ini bisa dilihat di: Video, Pencabulan pada Murid adalah Kejahatan Struktural.
Saya baca tulisannya di tugumalang.id, yang merupakan media partner resmi dari kumparan.com. Dari 20 orang murid ini, dua anak telah menjalani konseling dan baru satu yang memberanikan diri melakukan pelaporan. Kasus ini, bila terbukti benar, tentu sangat memprihatinkan.
Dalam tulisan ini, saya tidak akan membahas dari sisi hukum. Saya akan membahas kasus ini dari perspektif ilmu pikiran, khususnya hipnoterapi klinis. Pada kasus ini, ada dua pihak, pelaku, dan korban. Pelaku, atau biasa disebut predator, melakukan ini bisa karena ia sendiri dulunya adalah korban atau ia mengalami penyimpangan perilaku seksual.
ADVERTISEMENT
Saat seseorang di masa kecil mengalami kekerasan seksual, maka kejadian ini bisa langsung menjadi pengalaman traumatik dan bisa juga baru di kemudian hari menjadi pengalaman traumatik. Suatu kejadian bisa langsung menjadi pengalaman traumatik bila anak telah telah mampu memberi makna pada pengalamannya sebagai hal negatif, merugikan dirinya, dan tidak boleh dilakukan.
Kejadian ini terekam di pikiran bawah sadar (PBS) sebagai pengalaman traumatik yang menjadi peristiwa (memori) yang dilekati emosi negatif intens. Suatu peristiwa, untuk dapat menjadi pengalaman traumatik, harus memenuhi lima syarat. Yakni, harus ada kejadian yang menghasilkan emosi negatif (intens), kejadian ini memiliki makna bagi individu, kondisi kimiawi otak pada saat kejadian mendukung, individu merasa terperangkap, tidak bisa menghindar dari kejadian itu, dan individu merasa tidak berdaya.
ADVERTISEMENT
Memori dengan emosi negatif intens tidak bisa bergabung dengan memori global atau memori autobiografi. Akibatnya, memori ini akan berkelana sendiri sambil terus berupaya untuk bisa bersatu dengan memori global.
Dari pengalaman klinis, saya menemukan satu fungsi sangat penting PBS, yaitu pikiran bawah sadar sangat menyadari pentingnya resolusi trauma, namun ia bukan penyelesai masalah.
Memori traumatik ini akan mengambil salah satu dari tiga kemungkinan pola aktivitas. Pertama, ia akan terus teringat dan mengganggu hidup korban. Kedua, ia akan muncul kemudian menghilang secara berulang. Ketiga, ia seolah hilang dan baru muncul saat ada pemicu atau terpicu. Apapun pola aktivitas memori, selama belum diproses, ia akan menjadi beban yang terus dibawa korban sampai berapa pun usianya.
ADVERTISEMENT
Sesuai fungsi PBS yang saya temukan, PBS sangat menyadari pentingnya resolusi trauma, namun ia bukan penyelesai masalah, untuk menyelesaikan masalah atau trauma PBS akan menempatkan individu pada situasi yang sama atau mirip dengan kejadian traumatik dulu. Ini secara teknis disebut re-enactment.
3 Ribu Perempuan Indonesia Mengalami Kekerasan di Ruang Publik. Foto: Shutterstock
Dengan demikian, bila seseorang menjadi korban kekerasan seksual di masa kecil, saat dewasa ia sangat rentan untuk kembali mengalami pengalaman yang sama atau mirip. Suatu kejadian, yang sebenarnya traumatik, dialami seseorang di masa kecil, pada saat ia mengalaminya, bisa tidak berdampak negatif. Ini terjadi karena korban, saat itu, belum mampu memberi makna pada kejadian yang ia alami.
ADVERTISEMENT
Biasanya, saat beranjak dewasa, dan telah mengerti tentang moralitas, mana yang baik, mana yang buruk, mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan, dan saat korban ingat kejadian yang dialaminya dulu, ia memberi makna atas kejadian ini. Barulah pada saat ini pengalaman itu menjadi trauma.
Korban, selain membawa trauma dalam dirinya, tanpa ia sadari, dalam PBS-nya juga tercipta introject pelaku kekerasan. Introject adalah rekaman diri pelaku yang hidup dan tersimpan di PBS korban. Introject, saat aktif, bisa sepenuhnya mengendalikan diri korban.
Saat introject aktif, maka pada saat itu tubuh korban dikuasai sepenuhnya oleh introject untuk melakukan apapun yang introject inginkan. Saat korban telah dewasa, tubuh korban sudah besar dan kuat, dan saat introject ini aktif, maka ia akan menggunakan tubuh korban untuk melakukan kekerasan seksual kepada anak kecil.
ADVERTISEMENT
Dari luar, yang tampak adalah korban yang sekarang telah dewasa melakukan kekerasan seksual pada anak kecil. Yang sesungguhnya terjadi adalah introject menggunakan tubuh korban untuk melakukan kekerasan.
Hukuman kebiri bagi para pelaku kekerasan seksual pada anak tidak mempertimbangkan kemungkinan kondisi ini. Dengan demikian, saat pelaku kekerasan seksual dihukum kebiri, yang dikebiri sebenarnya adalah tubuh korban, bukan introject. Ini tidak bisa menyelesaikan masalah.
Bila hendak menyelesaikan masalah, korban perlu menjalani proses terapi, trauma masa lalunya diproses tuntas, dan introject pelaku dalam diri korban dinetralisir.
Identitas korban perlu dirahasiakan agar tidak mengalami trauma lanjutan akibat ditanya oleh orang di sekitarnya mengenai apa yang ia alami.
Konseling dan Terapi
Ilustrasi pelecehan seksual. Foto: Instagram @amarisdellisanti
Anak-anak korban kekerasan seksual tentu perlu mendapat perhatian, dukungan, dan bantuan agar mampu melewati dan mengatasi pengalaman traumatik ini. Ada dua pendekatan yang bisa digunakan, konseling dan terapi.
ADVERTISEMENT
Dua hal yang perlu diperhatikan benar. Saat konseling, tentu anak akan ditanya apa yang terjadi. Anak menceritakan pengalamannya. Sebaiknya anak tidak diminta menceritakan pengalamannya sampai berulang kali.
Saat anak bercerita, maka dalam pikirannya ia sedang mengalami kembali kejadian ini (revivifikasi). Dengan demikian, semakin sering ia diminta menceritakan kembali kejadian yang ia alami, maka semakin sering ia mengalami ulang kejadian ini, dan semakin banyak kali ia mengalami trauma.
Hal lain yang perlu diperhatikan, saat korban dalam kondisi traumatik, merasakan emosi takut, konselor atau pihak yang melakukan investigasi perlu sangat hati-hati dalam mengajukan pertanyaan untuk mengungkap apa yang sesungguhnya terjadi.
Pertanyaan yang diajukan sifatnya harus memandu (guiding) bukan mengarahkan (leading). Bila konselor salah dalam mengajukan pertanyaan, bisa tercipta memori palsu (false memory) dan ini akan membuat situasi dan kondisi semakin rumit.
ADVERTISEMENT
Konseling sebagai langkah awal penanganan adalah hal yang sangat baik. Dan tidak boleh hanya berhenti sampai di sini. Konseling bermain di pikiran sadar dan tidak bisa tuntas mengatasi masalah.
Konseling perlu dilanjutkan dengan terapi, terutama hipnoterapi klinis, untuk memproses pengalaman traumatik yang tersimpan di PBS korban. Dari pengalaman kami, untuk kasus traumatik sebenarnya mudah untuk ditangani dan diselesaikan.
Korban yang tidak dibantu mengatasi trauma akibat kekerasan seksual, dari apa yang telah dijelaskan di atas, di masa depan bisa menjadi predator, bukan karena keinginannya tapi karena ulah introject yang menguasai dan mengendalikan dirinya.
Tindakan Pencegahan
Ilustrasi pelecehan seksual Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Mencegah selalu lebih baik daripada mengobati. Bercermin dari kejadian ini, sekolah dan orangtua perlu duduk bersama untuk memikirkan langkah terbaik untuk mencegah agar kejadian yang sama tidak berulang di masa depan.
ADVERTISEMENT
Guru yang diduga melakukan kekerasan seksual perlu segera dinonaktifkan dan diperiksa. Polisi dan Komnas HAM anak perlu segera tangan untuk memastikan apa yang sesungguhnya terjadi. Bila terbukti bersalah, pelaku harus diberi hukuman setimpal.
Selain itu, anak didik juga perlu diberi edukasi agar bisa mengerti apa yang dimaksud dengan kekerasan seksual, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan pada mereka, khususnya terkait tubuh fisik. Anak juga diberi dukungan untuk berani melaporkan pada guru dan orangtua bila ada orang yang melakukan hal yang tidak baik kepada mereka.
Satu cara yang banyak dilakukan sekolah untuk mengawasi proses belajar di kelas dan aktivitas di luar kelas adalah dengan memasang CCTV.
Para guru dan orang tua perlu diberi edukasi tentang Undang-Undang Perlindungan Anak dan sanksi pidana yang akan dialami oleh mereka yang melakukan kekerasan pada anak.
ADVERTISEMENT
---
*Penulis adalah Ketua Umum Asosiasi Hipnoterapi Klinis Indonesia (AHKI), Founder of Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology dan Indonesia’s Leading Expert in Mind Technology.