Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Oleh: Angga Prasetyo Adi, S.Sos, Mahasiswa S2 Sosiologi Pedesaan IPB
ADVERTISEMENT
Mungkin saya akan memulai dengan falsafah masyarakat adat Ciptagelar yang memaknai pangan sebagai sebuah kehidupan. Barang siapa menjual pangan maka mereka juga sama dengan menjual kehidupan.
Pangan sendiri merupakan jantung dari sebuah kehidupan manusia. Jika melihat Indonesia sebagai negara agraris, menjadi ironis bahwa mengalami krisis pangan dan di tengah masyarakat harus bertahan dari pandemi COVID-19.
Pengamanan pangan menjadi sangat penting ditengah pendemi COVID-19 seperti ini. Dengan ketercukupan pangan, akan berdampak pada psikologis masyarakat dan mampu untuk menenangkan masyarakat di tengah pandemi.
Krisis pangan yang terjadi saat ini tidak terlepas dengan adanya ketergantungan atas pangan yang cukup akut seperti import beras dari Vietnam, Thailand, maupun India dengan jumlah import beras sebesar 1,17 juta/tahun.
ADVERTISEMENT
Maka wajar jika pemerintah import karena jumlah produksi beras sebesar 1,22 juta ton. Sedangkan konsumsi beras mencapi 2,51 juta ton. Untuk mencukupi jumlah konsumsi masyarakat dibutuhkan 1,29 juta ton.
Jika melihat hitungan setiap hektar menghasilkan padi 5,7 ton, maka membutuhkan 226 ribu hektar lahan guna mencukupi kebutuhan konsumsi. Menjadi dilema karena setiap tahun alih fungsi lahan mencapai 200 ribu hektar.
Tidak hanya skala internasional, ketergantungan pangan ditingkat nasional juga cukup besar. Sebagian besar di daerah pedesaan masih mensuplai bahan pangan ke daerah perkotaan.
Ketergantungan pangan yang cukup tinggi memaksa pemerintah harus mampu menyediakan bahan pangan sendiri dengan skala rumah tangga untuk mengatasi krisis pangan yang terjadi saat ini karena kebijakan negara pengeksport beras ke Indonesia untuk mencukupi pangan dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Ancaman krisis pangan yang terjadi di Indonesia juga direspon oleh pemerintah dengan membuka lahan seluas 900 ribu hektar dilahan gambut yang dinilai hanya berorientasi jangka pendek dan memiliki dampak buruk terhadap lingkungan di masa depan.
Langkah Alternative Mengatasi Krisis Pangan
Jika melihat krisis pangan yang terjadi ditengah pandemi, maka pemerintah seharusnya memperhatikan pentingnya sektor pertanian kecil karena sebagian besar petani di Indonesia merupakan petani kecil.
Pertama, sebagian besar data menunjukan bahwa ditengah pandemi COVID-19 saat ini, merupakan musim panen, tetapi hasil jual petani tetap saja anjlok di sejumlah daerah. Harga gabah sampai menyetuh harga Rp 3 ribu/kg.
Seharusnya, pemerintah memanfaatkan momentum musim panen yang terjadi saat ini untuk mengatasi krisis pangan dengan memanfaatkan hasil panen petani dan meningkatkan hasil jual padi. Guna meningkatkan ekonomi rumah tangga petani. Selain tidak ugal-ugalan dalam alih fungsi lahan supaya kebutuhan konsumsi tercukupi.
ADVERTISEMENT
Juga adanya pangan alternatif sebagai penganti beras. Sehingga mengurangi ketergantungan asupan karbo dari satu komoditi dengan menanam berbagai tanaman dengan masa panen yang singkat seperti talas, ubi jalar, dan kentang.
Kedua, meningkatkan pangan harapan bagi masyarakat dengan memanfaatkan lahan-lahan disekitar pekarangan rumah atau Home Garden untuk mengurangi ketergantungan pada distribusi sayur, buah, maupun bahan lain dari pedesaan.
Masyarakat juga mengurangi pengeluaran untuk pemenuhan gizi seimbang tetapi juga dengan harga yang cukup murah. Sehingga tercipta sebuah kedaulatan pangan pada sistem terkecil masyarakat yaitu keluarga.
Penguatan pangan pada skala rumah tangga menjadi penting karena pada masa pandemi dan adanya isolasi diri dilakukan pada skala rumah tangga.
Seperti banyak kita lihat Home Garden pada pedesaan Jawa mampu memperlihatkan sebuah keragaman, struktur kompleks, dan fungsi pekarangan rumah dengan menghasilkan panen berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
ADVERTISEMENT
Produksi makanan yang diproduksi Home Garden di Jawa mampu menyediakan lebih dari 40 persen total asupan kalori dan memiliki kemampuan untuk menghasilkan makanan sepanjang tahun dengan input tenaga kerja yang cukup murah dengan setiap surplus yang dapat dipasarkan membantu menyediakan sumber pendapatan dan perlindungan terhadap kegagalan panen.
Ketiga, mengoptimalkan fungsi BULOG sebagai pengendali harga pasar dengan mendorong untuk menyerap gabah dari petani. Sehingga, harga pada masyarakat tetap stabil ditengah pandemi saat ini yang sebagian besar ekonomi masyarakat terpuruk bahkan hancur.
Terakhir, pemerintah melakukan intensifikasi pangan bukan membuka lahan baru yang justru membutuhkan biaya yang cukup besar dan memanfaatkan lahan milik petani kecil di pedesaan yang status tanahnya masih belum legal dengan luas 233.439 ribu hektar. Jika setiap hektar menghasilkan 5,7 ton, maka menghasilkan 1,33 juta ton. Sehingga mampu untuk mengatasi krisis pangan di masa pandemi hingga jangka panjang dan tidak perlu membuka lahan yang hanya berjangka pendek dan berdampak buruk pada lingkungan di masa depan.(*)
ADVERTISEMENT