Kuasa Hukum Pendiri SMA SPI Sebut Perkara Kekerasan Seksual Hanya Rekayasa

Konten Media Partner
4 Agustus 2022 15:24 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sidang pleidoi terdakwa kekerasan seksual yang menjerat Pendiri SMA Selamat Pagi Indonesia (SPI) Kota Batu, Julianto Eka Putra, di Pengadilan Negeri (PN) Malang, pada Rabu (3/8/2022). Foto: Kejari Kota Batu
zoom-in-whitePerbesar
Sidang pleidoi terdakwa kekerasan seksual yang menjerat Pendiri SMA Selamat Pagi Indonesia (SPI) Kota Batu, Julianto Eka Putra, di Pengadilan Negeri (PN) Malang, pada Rabu (3/8/2022). Foto: Kejari Kota Batu
ADVERTISEMENT
MALANG - Kuasa hukum Julianto Eka Putra (JEP), terdakwa kekerasan seksual di SMA Selamat Pagi Indonesia (SPI) Kota Batu, Hotma Sitompul menyebut bahwa perkara yang ditudingkan pada kliennya hanya sebuah rekayasa. Hotma mengeklaim telah memiliki sejumlah bukti rekayasa itu.
ADVERTISEMENT
Hal itu disampaikan pada sidang pleidoi Pengadilan Negeri (PN) Malang, pada Rabu (3/8/2022) kemarin. Pleidoi dibacakan usai JEP dituntut penjara 15 tahun oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Hanya saja, Hotma tidak memaparkan secara detail bagaimana kasus ini adalah hasil rekayasa. Hotma hanya menjelaskan bahwa dirinya sudah memiliki sejumlah bukti dan akan melemparkannya ke publik di waktu yang tepat.
''Saya kira sudah bukan rahasia lagi, bagaimana mereka diatur di sebuah tempat, bikin skrip, ada studio hingga kamera untuk merekayasa kasus ini,'' sebutnya.
Hotma menegaskan bahwa kliennya tidak pernah terbukti melakukan kekerasan seksual seperti didakwakan. Bahkan hal ini juga diamini oleh siswa-siswi di sekolah yang bahkan tidak pernah mendengar perihal itu.
''Jika dikatakan aktivis-aktivis bahwa di sana (SMA SPI Kota Batu) terjadi hal itu, tapi masalahnya siswa-siswi di sana mengatakan tidak pernah ada isu tentang pelecehan seksual," kata Hotma.
ADVERTISEMENT
Hotma bahkan menuding dakwaan dari tim JPU tidak kuat. JPU, kata dia, tidak berhasil membuktikan perkara tersebut dengan valid. ''Jika memang korban mengalami tekanan psikis selama 12 tahun, tapi kok korban malah jalan-jalan sama pacarnya. Sekarang, pacarnya malah melaporkan kasus eksploitasi baru. Saya kira dua orang ini ingin menghancurkan SPI,'' tuding Hotma.
Menanggapi hal ini, Ketua Komnas Perlindungan Anak (PA), Arist Merdeka Sirait menganggap tudingan hasil rekayasa yang dilontarkan kuasa hukum terdakwa mengada-ada.
Menurut dia, bukti yang dibeberkan sangat lemah. ''Saya pikir mereka panik, bukti yang ditunjukkan sangat lemah dan gak relevan. Kejahatan seksual yang ditonjolkan kok soal keperawanan atau tidak. Kalau berani, tunjukkan siapa yang merekayasa,'' ucap Arist, pada Kamis (4/8/2022).
ADVERTISEMENT
Malah dengan sikap seperti itu, sambung Arist, kuasa hukum terdakwa telah membuat kejahatan baru. Dalam hal ini, kata dia, kuasa hukum telah melakukan konstruksi pemikiran bahwa siapapun perempuan jika sundal, boleh dilakukan kekerasan seksual.
"Itu sangat menyakitkan, bagaimana martabat anak dan perempuan direndahkan," ucapnya.
Lebih lanjut, perkara ini akan dilanjutkan dengan agenda sidang replika jawaban dari JPU pada 10 Agustus 2022 mendatang.
Arist berharap majelis hakim bisa mempertimbangkan lagi tuntutan JPU. Terlebih, masa tahanan yang dituntutkan JPU yakni 15 tahun dengan denda Rp300 juta dan uang ganti rugi korban sebesar Rp44 juta masih belum setimpal dengan apa yang dialami korban.
"Jadi bisa saja ditambah 20 tahun karena sudah ada unsur bujuk rayu dan tipu daya yang dilakukan oleh terdakwa,'' pungkasnya.
ADVERTISEMENT