Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten Media Partner
Marsinah dan Para Penumpang Gelap
8 Mei 2019 15:30 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Catatan oleh Rino Hayyu Setyo
ADVERTISEMENT
Suasana peringatan Hari Buruh Internasional di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, berbeda dengan kebanyakan kota lain. Biasanya, pada tanggal 1 Mei, barisan buruh menggelar aksi massa, turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasi.
ADVERTISEMENT
Namun, ada pemandangan yang berbeda di tengah panasnya terik matahari di Kota Angin ini. Setiap tahun, para buruh di Kabupaten Nganjuk melakukan nyekar bersama ke makam Marsinah. Tepatnya pada 8 Mei 1993, buruh perempuan itu menghadap Ilahi. Ia mangkat usai mengalami penyiksaan sadis.
Tradisi ini sepertinya telah berjalan dari tahun ke tahun. Setelah melakukan prosesi nyekar, para buruh berjalan menuju ke rumah Suraji, paman almarhumah Marsinah, di Dusun/Desa Nglundo, Kecamatan Sukomoro.
Pintu yang mulanya tertutup itu pun dibuka dari dalam rumah. Terlihat beberapa orang sudah siap menyambut para tamu buruh dari luar kota.
Gambaran lalu-lalang buruh yang masuk ke rumah masa kecil Marsinah ini masih menancap di kepala penulis. Saat itu, penulis masih bertugas sebagai jurnalis di Kabupaten Nganjuk. Selama dua tahun berturut-turut, 2016-2017, penulis berkesempatan merekam ritual ribuan buruh yang datang dari berbagai kota.
ADVERTISEMENT
Mari bertanya kepada diri sendiri. Sebenarnya, siapakah Marsinah? Perempuan 24 tahun yang tiba-tiba namanya melambung ke langit. Hingga, telinga tiap generasi seolah selalu mendengar namanya.
Menjawab pertanyaan ini, Marsinah adalah seorang buruh di PT Catur Putra Surya, Porong, Sidoarjo. Apakah hanya itu? Siapa Marsinah di balik itu semua?
Laporan Majalah Tempo berjudul “Penculikan Setelah Tewasnya Marsinah” tanggal 30 Oktober 1993 menyebutkan, ada skenario yang dibuat untuk menangkap Marsinah. Skenario itu terbongkar dan menjebloskan beberapa aparat dan pimpinan perusahaan.
Yang perlu diketahui, Marsinah merupakan pejuang hak buruh pada zaman Orde Baru. Ia masuk dalam 18 buruh yang menginisiasi aksi mogok kerja 500 buruh pabrik pada 3 Mei.
Ia hilang karena dianggap melakukan sabotase. Tepatnya, ajakan pemogokan kerja kepada perusahaan sebelum tuntutan dipenuhi. Hal inilah yang dianggap aparat waktu itu menjadi ancaman karena melakukan pemogokan seperti cara partisan partai terlarang, Partai Komunis Indonesia (PKI).
ADVERTISEMENT
Rekaman mata saya masih jelas. Saya bertemu langsung dengan Suraji, paman Marsinah itu. Ia menahan duka ketika mengingat kematian sang keponakan.
Ada beberapa hal yang belum banyak diketahui orang. Pertama, Marsinah gemar berjualan sejak Sekolah Dasar (SD). Kedua, Marsinah selalu memberi makan teman pabrik arloji. Terakhir, Marsinah ingin menjadi seorang guru. Selepas lulus dari SMA Muhammadiyah Nganjuk, ia ingin melanjutkan pendidikan di IKIP. Pilihannya hanya dua, Malang atau Surabaya. Namun, semua pupus karena tidak adanya biaya untuk masuk perguruan tinggi.
Penulis ingin melompat dengan pegas ke masa kini. Peringatan Hari Buruh Internasional. Mengapa tanggal 1 Mei menjadi tanggal merah dalam kalender Indonesia? Mengapa pemerintah memberikan tanggal merah?
Eksploitasi terhadap buruh rupanya belum juga usai. Setelah dihisap tenaganya, mereka kini dibungkam secara halus. Sebab, tanggal merah pada 1 Mei itu membuat semua lupa bahwa setiap kota dibangun dari tangan dan pajak-pajak yang harus dibayar buruh.
ADVERTISEMENT
Pemberian tanggal merah siapa yang menikmati? Bukan malah membela dan memperjuangkan buruh, namun hiburan dan liburan tak dapat dihindari. Kenikmatan itu beralih dari aksi di jalan, pemogokan kerja, dan tuntutan hak menjadi istirahat dirumah dan mungkin jajan di mal.
Lalu sebenarnya, mahasiswa dan buruh yang aksi itu sedang menyuarakan apa dan kepada siapa? Inilah penumpang gelap. Tak memperjuangkan apapun ikut merasakan kenikmatan ‘liburan’.
Belum lagi, derasnya arus status WhatsApp dan Instastory bergambar Marsinah berkelindan di media sosial. Seolah menjadi paling heroik. Merangkai kata paling dramatis untuk mengenang Marsinah.
ADVERTISEMENT
Tak perlu menunggu Hari Buruh Internasional untuk mengenang Marsinah. Tak juga perlu menunggu tiap 8 Mei, peringatan kematian perempuan Nganjuk itu. Akan tetapi, mengenang Marsinah harus bisa dilakukan lebih kekinian.
Memberikan santunan makan kepada yang tidak mampu, itu bukti mengenang Marsinah. Ikut mengadvokasi aktif buruh dalam pabrik atau perusahaan, itu mengenang Marsinah. Menjaga tanah petani agar tidak dijual kepada konglomerat, ada Marsinah dalam kegiatan sehari-hari.
Setalah 26 tahun meninggalnya, saya ingin mengutip penggalan puisi Sapardi Djoko Damono ‘Dongeng Marsinah’
“Saya ini Marsinah, saya tak mengenal
wanita berotot,
yang mengepalkan tangan,
yang tampangnya garang
di poster-poster itu;
saya tidak pernah jadi perhatian
dalam upacara, dan tidak tahu
harga sebuah lencana.”
ADVERTISEMENT
Marsinah itu arloji sejati,
melingkar di pergelangan
tangan kita ini;
dirabanya denyut nadi kita,
dan diingatkannya
agar belajar memahami
hakikat presisi.
Kita tatap wajahnya
setiap hari pergi dan pulang kerja,
kita rasakan detak-detiknya
di setiap getaran kata.
Marsinah itu arloji sejati,
melingkar di pergelangan
tangan kita ini.
Perjuangan mengilhami Marsinah kiranya harus dirumuskan lebih matang. Zaman sedang menantang aktivis mahasiswa dan buruh untuk memikirkan bersama langkahnya. Apakah kita hanya latah pada peringatan atau sebenarnya kita membawa nilai kemanusiaan. Marsinah, namamu tak akan musnah.
*Penulis adalah wartawan tugumalang.id