Membincang Praktik Pembelajaran Para Guru Inspiratif Indonesia

Konten Media Partner
29 April 2022 18:48 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua Cerita Guru Belajar, Adelina Anggraini dalam FJP pada Senin 25 April 2022. Foto: tangkapan layar
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Cerita Guru Belajar, Adelina Anggraini dalam FJP pada Senin 25 April 2022. Foto: tangkapan layar
ADVERTISEMENT
MALANG - Pandemi COVID-19 jadi tantangan tersendiri bagi para guru di Indonesia di mana mereka harus tetap mendidik anak didik meski dari jarak jauh atau biasa disebut Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).
ADVERTISEMENT
Meski begitu, ada pula guru yang berhasil menciptakan terobosan pembelajaran yang kreatif dan berorientasi pada kompetensi murid.
Pembelajaran daring yang tetap optimal membantu siswa mencapai kompetensinya ini, dilakukan oleh guru-guru di berbagai sekolah di Indonesia. Salah satunya lahir dari para guru yang tergabung dalam Yayasan Guru Belajar.
FJP yang diinisiasi oleh Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan (GWPP) bersama PT Paragon Technology and Innovation, pada Senin 25 April 2022. Foto: tangkapan layar
Mereka berbagi cerita praktik baik pembelajaran yang telah mereka lakukan sejak pandemi COVID-19 merebak dalam sesi program Fellowship Jurnalisme Pendidikan (FJP) yang diinisiasi oleh Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan (GWPP) bersama PT Paragon Technology and Innovation, pada Senin 25 April 2022.
Dalam kurikulum Merdeka Belajar yang digaungkan saat ini, memang tidak hanya fokus pada teori dan soal-soal, melainkan lebih mendalam lagi untuk membentuk karakter unggul hingga kecakapan hidup.
ADVERTISEMENT
Perbincangan tersebut menghadirkan Ketua Cerita Guru Belajar, Adelina Anggraini dan tiga guru inspiratif. Mereka adalah Lilik Nur Indah Sari (Guru SDI Nurul Hikmah Banten), Iwan Ardhie Priyana (Guru SMP Negeri 1 Nagreg, Jawa Barat), dan Virandy Putra (Guru SMA Negeri 1 Sijuk Belitung).
Bahasan menarik terjadi pada sesi pengayaan FJP Batch IV itu adalah bagaimana konsep Merdeka Belajar saat ini sedang berusaha mengubah mindset dunia pendidikan yang selama ini terus menekankan iklim yang kompetitif.
Kompetisi yang dimaksud adalah di mana kurikulum pembelajaran selama ini selalu berkutat pada nilai akademik, perangkingan, hingga lomba yang itu justru cenderung terjadinya pengkelasan individu.
Iklim seperti itu ternyata bagi para guru ini dinilai tak berpengaruh terhadap kompetensi siswa secara menyeluruh. Di mana siswa hanya disuruh untuk menghafal buku, mengerjakan soal tanpa mereka tahu apa manfaatnya bagi kehidupan sekitar.
ADVERTISEMENT
Lilik Nur Indah Sari adalah salah satu sosok guru yang resah akan hal tersebut. Sebab itulah, dirinya menerapkan metode pembelajaran berbasis proyek (project based learning) kepada siswa kelas 1 dan 2, sama seperti peserta didik vokasi.
Dalam metode pembelajarannya, wanita yang juga Instruktur Pendidikan Guru Penggerak ini, lebih fokus membangun kompetisi anak dalam memaknai sesuatu dengan kacamatanya sendiri sesuai kondisi realitasnya masing-masing.
Tentu saja, sambungnya, hasilnya akan berbeda-beda karena setiap rumah memilki kondisi yang juga berbeda. Dengan begitu, kompetensi yang terbentuk juga bisa menyeluruh. Beda dengan asesmen model mengerjakan soal yang hanya terkonstruk pada satu kompetensi saja.
Kondisi itu dia ibaratkan lewat puisi berjudul Seonggok Jagung karya WS Rendra yang berbunyi; ''Orang belajar sampai tinggi. Tapi ketika kembali ke tanahnya justru merasa asing.'' Artinya, ada yang hilang dari ekosistem pendidikan itu yakni adalah kolaborasi.
ADVERTISEMENT
''Kurikulum seperti ini dibutuhkan untuk kembali mendekatkan anak pada konteksnya sehingga anak bisa berperan aktif di daerahnya. Berkolaborasi, bukan berkompetisi,'' ucap Lilik.
Hal senada dikatakan Iwan Ardhie Priyana, Guru SMP Negeri 1 Nagreg di Jawa Barat, bahwa konsep kompetitif seperti ujian soal atau lomba memang sudah bukan menjadi acuan sekolah hari ini.
Iwan sendiri juga menggunakan metode belajar berbasis proyek terhadap siswanya.
''Sekolah kita sudah gak cocok untuk ikut lomba, tapi kolaborasi. Itu mindset yang terus kami bangun karena sesuai dengan kebutuhan di masa depan membentuk generasi unggul yang kolaboratif,'' jelas Iwan.
Begitu juga Virandy Putra, Guru SMA Negeri 1 Sijuk Belitung, juga kompak mengamini bahwa ilmu pengetahuan hari ini harus dimengerti peserta didik sebagai senjata untuk membentuk kecakapan hidup sesuai dengan minat dan bakatnya masing-masing.
ADVERTISEMENT
Untuk membangun kecakapan hidup itu, menurut Virandy memerlukan sosok guru yang inovatif, kreatif, dan tahu kebutuhan peserta didik. Virandy yang mengajar Fisika itu, memilih metode belajar yang asyik dan relate dengan kehidupan sehari-hari.
Misal untuk keterampilan mengukur, dirinya lebih memilih mengajak anak untuk mengukur diameter batang pohon di hutan daripada mengukur tebal kertas atau uang koin yang sama sekali tidak bermanfaat untuk hidup sehari-hari.
''Saya kira ada banyak cara menanamkan ilmu yang lebih efektif dan nyantol, daripada harus mengukur ketebalan kertas, ketebalan uang koinkan gak ada manfaatnya,'' kata Virandy.
Pemikiran ketiga guru di atas terbilang visioner untuk mewujudkan Merdeka Belajar. Ketiganya sama-sama terwadahi dalam komunitas Cerita Guru Belajar yang menjadi wadah untuk memberdayakan karir guru. Tidak hanya mereka, masih ada 9 ribu guru lain di seluruh Indonesia yang berpikiran sama.
ADVERTISEMENT
Cerita Guru Belajar juga menjadi wahana belajar dan berbagi praktik baik pembelajaran dan membangun kepemimpinan (leadership).
Ketua Cerita Guru Belajar, Adelina Anggraini optimistis jika kolaborasi menjadi kebutuhan utama dalam ekosistem pendidikan hari ini.
Dia yakin jika kolaborasi dan praktik baik ini terus dikuatkan, maka tugas para guru untuk membentuk generasi unggul bisa terwujud secara menyeluruh. "Kami yakin dengan berkolaborasi dengan kerja barengan kami bisa saling menguatkan bisa berbagi praktik baik satu sama lain," ucapnya.(*)