Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten Media Partner
Mempertimbangkan TNI Ikut Serta Dalam Penanganan Terorisme, Efektifkah?
12 Oktober 2020 19:33 WIB
ADVERTISEMENT
MALANG - Terorisme adalah kejahatan luar biasa yang daya rusaknya luar biasa. Sebab itu, terorisme masih terus diwaspadai berbagai pihak, khususnya Lembaga Kajian dan Pengembangan SDM Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU) Kota Malang.
ADVERTISEMENT
Bekerjasama dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya, Lakpesdam NU Kota Malang menyelenggarakan diskusi virtual membahas rencana pelibatan unsur TNI dalam penanggulangan terorisme ini secara terbuka, Senin (12/10).
Dalam diskusi ini melibatkan banyak tokoh dan pengamat terorisme. Yakni Kepala BNPT 2011-2014, Irjen Pol (Purn) Drs Ansyaad Mbai, Peneliti CSIS, Fitri Bintang Timur, Pengamat Terorisme dari UB Malang, Milda Istiqomah dan Pengamat Terorisme dari Lakpesdam NU Malang, Yusli Effendi.
Kegiatan diskusi ini berlangsung selama 3 jam dengan difasilitatori oleh Direktur Institute for Defense Security and Peace Studies (IDSPS) Jakarta, Mufti Makarimal Akhlaq.
Diskusi ini membahas berbagai hal tentang penanggulangan terorisme yang kini pemerintah mulai berancang melibatkan TNI. Disebutkan, pemerintah berencana mengeluarkan PP turunan Undang-undang yang mengatur fungsi dan kewenangan TNI dalam penanggulangan terorisme.
ADVERTISEMENT
Diskusi ini sangat penting untuk mengkritisi dan memperluas respon masyarakat terhadap proses penyusunan peraturan tersebut. Akuntabilitas di hadapan masyarakat, bagaimana pun, diperlukan dan harus ada dan diutamakan mengingat peraturan tersebut ditujukan demi kepentingan masyarakat luas.
Seperti dikatakan Mantan Kepala BNPT 2010-2014, Irjen (Pol) Purn. Ansyaad Mbai bahwa berdasarkan penelitian, belum pernah ada bukti terkait efektifitas pendekatan militer dalam menangani terorisme. Hal ini menurut dia justru meningkatkan eskalasi ancaman.
Seperti terjadi di Afganistan, yakni penerapan Operasi Militer skala besar di Afghanistan dan di beberapa negara Timur Tengah. Hasilnya, ternyata tidak menghentikan gerakan radikalisme terorisme global (Al-Qaeda dan ISIS).
Terorisme, kata dia adalah tindak pidana. Maka juga harus diselesaikan dengan hukum pidana. Namun jika ada pelibatan aktor lain, maka itu merupakan dukungan dan perbantuan ketika eskalasi ancaman melampaui kapasitas kepolisian (beyond police capacity) untuk kemudian diserahkan kepada aparat penegak hukum
ADVERTISEMENT
''Jadi, bukan untuk diperangi seperti layaknya operasi perang. Terorisme adalah tindak Pidana, harus diselesaikan dengan pendekatan hukum,” tegasnya.
Hal senada juga dikatakan pengamat terorisme dari Lakpesdam NU Kota Malang, Yusli Effendi bahwa pelibatan TNI dalam penanganan terorisme justru dikhawatirkan menjadi bentuk sekuritisasi. Sebab TNI sudah punya ranah Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dan perbantuan terhadap Polri.
Banyaknya wilayah yang dimasuki TNI, bagi Yusli tidak sebanding dengan konteks ancaman yang dihadapi. “Kalaupun perlu diatur, harus dijelaskan situasinya. Harus dibuat pagar, bahwa pelibatan ini merupakan pilihan terakhir (last resort), dilakukan untuk menghindari korban jiwa sipil, ketika kekuatan sipil tidak mampu,” ungkapnya.
Lalu, jika menilik sudut pandang dari Fitri Bintang Timur, peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta ini juga berkesimpulan sama, bahwa tidak semua persoalan harus diselesaikan dengan pendekatan militer. Jika dipaksakan, akan ada masalah baru hingga tumpang tindih peran dari kepolisian juga BNPT.
ADVERTISEMENT
“Perlu kehati-hatian. Apakah benar pelibatan TNI akan mendukung deradikalisasi dan berkurangnya ancaman, atau justru meningkatkan eskalasi ancaman?. Harus relevan,'' katanya.
Keterlibatan TNI dalam hal ini memang dirasa terlalu berlebihan. Jika menilik pemikiran dari Ketua Tanfidziyah PCNU Kota Malang Dr. KH. Muhammad Isyroqunnajah, bahwa terorisme justru bisa jadi tidak pernah pudar. Karena itu hanya bermula dari soalan pemahaman teks yang beragam.
''Saya kira secara historis, sebetulnya ragam pikiran seperti ini bahkan sudah muncul sejak zaman nabi. Sederhana saja, karena ada beda pandangan dalam memaknai teks keagamaan,'' ujarnya.
Dalam hal ini, sepatutnya masalah ini juga menjadi tugas otoritas keagamaan. Sebagai contoh, ketika program KB (Keluarga Berencana) dulu sempat gagal karena ada beda pandangan dari segi agama.
ADVERTISEMENT
''Disitu akhirnya NU terlibat dan mampu berperan lebih. Masalah keagamaan, harusnya ya bisa dicairkan oleh otoritas keagamaan. Contoh lain saat Covid 19, itu juga ada beda pemahaman soal qodho dan qadar, itu jadi tugas otoritas agama yang bisa menyelesaikan,'' pungkasnya.