Konten Media Partner

Meneliti Kemunduran Radio Komunitas, Ressi Raih Doktor Ilmu Komunikasi UI

13 Januari 2021 11:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sidang terbuka Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) untuk Ressi Dwiana.
zoom-in-whitePerbesar
Sidang terbuka Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) untuk Ressi Dwiana.
ADVERTISEMENT
MALANG - Eksistensi Radio Komunitas kian surut. Bahkan, di tengah masa sulit pandemi, keberadaan radio komunitas menjadi semakin rumit karena regulasi yang menyulitkan. Dalam sidang terbuka Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) untuk Promosi Doktor Ilmu Komunikasi dengan promovendus. Ressi Dwiana mengangkat judul penelitian Kemunduran Radio Komunitas di Indonesia (Studi Ekonomi Politik tentang Relasi Kuasa dalam Pengaturan Penyiaran di Indonesia).
ADVERTISEMENT
Ressi mengatakan bahwa dalam UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 adalah regulasi yang mengakui keberadaan penyiaran komunitas. "Meskipun demikian, di dalam UU tersebut, radio komunitas dituntut agar menjadi penyiaran yang utopis atau bersifat independen, tidak komersial, dan melayani kepentingan komunitasnya. Di sisi lain, tidak ada dukungan nyata dari negara, bahkan dalam aturan-aturanpelaksanaan, pemerintah membuat batasan-batasan yang sangat ketat sehingga mempersulit kehidupan radio komunitas," ungkapnya pada Senin (11/01/2021).
Ressi Dwiana saat sidang terbuka via daring.
Ia mengungkapkan jika sebenarnya awal kemunculan radio komunitas adalah untuk mewadahi suara-suara dan gerakan-gerakan sipil dari LSM, akademisi, dan praktisi radio komunitas bersama dengan politisi di DPR RI.
"Namun, pemerintah (eksekutif) sejak awal tidak ingin penyiaran komunitas diakui di dalam sistem penyiaran Indonesia. Meskipun pemerintah gagal menghalangi legalitas radio komunitas di dalam UU Penyiaran, tetapi pemerintah tetap konsisten pada sikapnya," bebernya.
ADVERTISEMENT
Kendati pemerintah sudah mengakui legalitas radio komunitas dalam UU Nomor 32 Tahun 2002. Nyatanya pemerintah juga menerapkan PP Nomor 51 Tahun 2005 yang membatasi kebebasan radio komunitas.
"Spirit demokratisasi yang ada di dalam UU Penyiaran tidak lagi menjiwai aturan-aturan pelaksanaannya. Salah satu permasalahan yang timbul akibat pengaturan di dalam PP Nomor 51 Tahun 2005 adalah masalah perizinan," tegasnya.
Ressi Dwiana saat sidang terbuka via daring.
"Berdasarkan PP Nomor 51 Tahun 2005, perizinan radio komunitas harus diurus sampai di tingkat menteri dengan memenuhi beberapa persyaratan, termasuk badan hukum yang juga harus diurus hingga di tingkat menteri," sambungnya.
Selain itu, prosedur perizinan awal membutuhkan dana untuk membayar biaya izin prinsip, biaya izin tetap, dan biaya perpanjangan izin tetap. "Untuk mendapatkan izin penyiaran, radio komunitas harus memiliki perangkat bersertifikat. Harga perangkat ini dapat mencapai empat kali lipat lebih mahal dari perangkat rakitan dengan kualitasnya lebih rendah," beber perempuan yang juga dosen Ilmu Komunikasi di FISIP Universitas Medan Area, Sumatra Utara ini.
ADVERTISEMENT
"Setelah beroperasi, stasiun radio harus membayar Izin Stasiun Radio (ISR), Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP), PPh, dan BPJS TK (di beberapa wilayah). Masalah pembayaran ini menjadi penyebab utama pencabutan izin radio komunitas," pungkasnya.