Mengais Harapan dari Bayang Suram Sekolah Daring

Konten Media Partner
21 Maret 2022 10:43 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Pendidikan Karakter Saat Pandemi Tanggung Jawab Siapa?
Ilustrasi sejumlah anak asyik bermain gadget saat sekolah tatap muka ditiadakan karena pandemi COVID-19. Foto: Ulul Azmy
MALANG - Astutik (45) hanya bisa geleng-geleng kepala memikirkan anaknya. Belakangan ini, dia merasa heran dengan sikap anaknya yang berubah drastis. Dari yang sebelumnya betah di rumah, kini menjadi jarang di rumah.
ADVERTISEMENT
Perasaan itu sudah dia rasakan sejak enam bulan pasca wabah corona datang pada 2020 lalu. Anaknya, kini genap berusia 17 tahun. Dan di tahun pandemi itu, harusnya anaknya menikmati masa-masa orientasi remajanya di bangku kelas SMA.
Namun waktu itu sudah tidak ada lagi pemandangan anak-anak berseragam berangkat ke sekolah pagi-pagi karena segala kegiatan pembelajaran tatap muka (PTM) ditiadakan untuk mencegah laju penularan virus asal Wuhan, China itu.
Sebagai gantinya, anak masih bisa tetap belajar dari jarak jauh alias sekolah daring (online). Awalnya, Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) ini disambut positif karena menjadi pembuka gerbang menyongsong era revolusi industri 4.0.
Namun di sisi lain, kurikulum dengan mengandalkan internet of things (IOT) ini rupanya dikhawatirkan menyimpan bayangan yang suram di balik jubah emasnya. Bayangan suram itu adalah pendidikan karakter. Di mana rasa empati sosial atau karakter kebangsaan dan bernegara tidak bisa diciptakan oleh robot.
ADVERTISEMENT
''Dulu waktu saya sekolah, saya merasa ada baiknya juga. Kita dinasehatin guru, kemudian ketemunya temen-temen di kelas, ngobrol. Artinyakan nasihat itu jadi kayak langsung dipraktekkan ke lingkungan,'' ujar ibu yang akrab dipanggil Tutik ini, pada Selasa (15/3/2022).
Berbeda dengan kondisi yang dirasakan anaknya yang kini hanya bertemu gurunya lewat ponsel. Tidak ada jalinan emosi yang kuat di situ. Apalagi, jam belajarnya juga dibatasi karena menimbang kesehatan mata anak jika terus-menerus melihat layar ponsel.
Sejak PJJ itulah, pengawasan pendidikan anaknya tidak bisa dia awasi dengan baik. Dia harus bekerja. Begitu juga ayahnya. Praktis, perjumpaan ketiganya hanya bisa dilakukan pada malam hari. Itupun tidak bisa maksimal.
''Lama-kelamaan, anak saya mulai sering main ke temen-temennya yang saya gak tahu latar belakang dia. Saya takut dia terjerumus ke pergaulan gak bener, apalagi di kampung sinikan terkenal sebagai kampung preman,'' kata Tutik.
ADVERTISEMENT
Ya, tempat tinggal ibu dua anak ini berlokasi di Jalan Muharto Kota Malang yang memang dikenal sebagai red district alias kampung preman. Perkampungan padat yang berada di sekitar bantaran Sungai Brantas.
Meski kini sudah tak seangker dulu, namun tetap saja, bibit-bibit jalanan itu masih ada. Ini mengingat tingkat ekonomi penduduknya yang rata-rata masih di bawah taraf sejahtera.
Tutik menceritakan di mana dirinya selalu mewanti anak-anaknya agar tidak terpengaruh dengan arus pergaulan di kampungnya, Tutik secara terang-terangan mengaku tak sedikit anak remaja di sana malas belajar bahkan putus sekolah.
''Ya ada yang ngamen, jadi anak jalanan. Saya tidak ingin anak saya jadi seperti itu karena pergaulan. Mereka banyak main daripada belajarnya,'' ucapnya, khawatir.
ADVERTISEMENT
Sebab itu, dirinya berharap banyak agar pemerintah bisa segera menemukan formulasi tepat untuk kembali menggelar PTM. ''Biar anak saya bergaul sama temen sekolahnya saja. Biar gak kebawa pengaruh buruk di jalanan,'' harap dia.
Hal senada dikatakan Putri (40), seorang wali murid lain yang tinggal di Kelurahan Dinoyo Kota Malang. Selama masa PJJ setahun kemarin, ia justru merasa anaknya seolah diberi kesempatan untuk mengakses ponsel daripada buku untuk belajar.
''Saya bukannya anti teknologi, tapi memang kalau kayak gini terus, anak saya ya kerjaannya bakal hanya main hape terus. Beda kalau ke sekolahkan gak saya bolehin bawa hape,'' keluhnya.
Guru Sudah Harus Mulai Bergerak
Seorang guru di SMPN 6 Kota Malang saat mengajar di kelas dengan penerapan protokol kesehatan. Foto: Ulul Azmy
Terlepas dari hiruk-pikuk perdebatan antara lebih baik mana sekolah daring atau tatap muka? Pengamat Pendidikan dari Universitas Negeri Malang (UM), Drs I Wayan Dasna MSi MEd PhD memberikan sebuah pencerahan dari sudut berbeda.
ADVERTISEMENT
Sekolah luring atau daring seperti uang koin. Punya dua sisi, kekuatan dan kelemahan masing-masing.
Dalam konteks pendidikan karakter, kata Dasna, kedua metode itu tidak ada masalah karena keberhasilan pendidikan karakter terletak pada tenaga pengajar alias gurunya.
Dijelaskan Dasna, komitmen pengawasan oleh para guru dalam membina karakter anak didik adalah yang utama. Bagaimana cara membangun rasa tanggung jawab, kerja keras, disiplin, dan lain-lain dengan cara menerapkan pembelajaran aktif.
''Apapun medianya, kalau guru hanya mikir sekedar memberi tugas dan memberi nilai, nilai-nilai pendidikan karakter itu ya sulit tertanam,'' kata pria yang juga menjabat Ketua Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Pembelajaran UM ini.
Apa yang dimaksud tanggung jawab guru ini adalah bagaimana cara guru ini membangun keaktifan siswa dari dalam dirinya. Misal dari tugas yang telah diberikan, guru tetap harus memberikan evaluasi dan nasihat kepada siswa. Diajak berkomunikasi.
ADVERTISEMENT
Bicara dampak dari sekolah daring? Memang dirinya juga tidak bisa memungkiri akan ada karakter anak bangsa yang hilang selama dua tahun masa sekolah daring itu. Dampak yang tampak adalah learning loss hingga interaksi sosial anak yang menipis.
Meski begitu, menurut dia masih ada secercah harapan untuk membayar tuntas dampak suram pendidikan karakter yang terpaksa tidak bisa dibangun selama masa pandemi.
''Sekolah daring adalah pilihan terbaik dari pilihan lain yang paling jelek selama pandemi. Bukan tidak mungkin tahun-tahun nanti kita masih akan menjalani PJJ atau bahkan pembelajaran hibrid,'' kata dia.
Maka dari itu, guru dan sekolah punya PR tersisa dalam membenahi komitmen dan tanggung jawabnya mendidik anak bangsa. Bagaimana nanti caranya mendidik anak yang selama dua tahun ini pasif belajar, menjadi anak yang aktif di kelas. Bagaimana menanamkan sifat-sifat berbudi pekerti yang selama ini hanya tersampaikan secara daring.
ADVERTISEMENT
''Saya kira semua bisa, kalau guru dan sekolahnya juga mau berkembang. Itu jadi tantangan berat kita semua di masa depan setelah ini,'' pungkas pria kelahiran Kabupaten Badung, Bali ini.
Kepala Dinas Pendidikan Kota Malang, Suwarjana menuturkan bahwa kebijakan sekolah daring merupakan alternatif paling baik guna memutus rantai penularan virus dan melangsungkan pendidikan. Meski pada akhirnya sekolah daring ini membawa masalah baru yang lain.
Saat itu, masalah datang dari kebutuhan tambahan yakni kuota internet. Itu langsung dijawab oleh Kemendikbud dengan menyiapkan jatah kuota sebesar 35 GB untuk tiap siswa, termasuk untuk di Malang, Jawa Timur.
Selain itu, Pemerintah Kota Malang juga menyiapkan fasilitas free WIFI di 511 titik yang tersebar di semua RW. Semua dilakukan agar pelayanan pendidikan tetap berjalan optimal.
ADVERTISEMENT
Di Kota Malang, PTM terbatas mulai berjalan untuk diujicoba sejak 6 September 2021, pasca status PPKM Kota Malang turun ke level 3 dan vaksinasi. Sejak itu, anak-anak menjalani sekolah hanya sekitar setengah hari dan bergantian karena dibatasi 30 - 50 persen.
Saat ini, persebaran COVID-19 kembali mereda. Pemerintah bahkan merencanakan mengubah status pandemi menjadi endemi. Pihaknya juga telah berani kembali memberlakukan PTM, meski masih dibatasi hanya 50 persen dari kapasitas kelas. Itu juga atas izin orang tua masing-masing.
"Meski begitu kami tetap selalu waspada menjaga keselamatan bersama di satuan pendidikan. Saya harap partisipasi aktif juga dari orang tua untuk mendampingi anaknya,'' katanya.
Kini, pihaknya bahkan telah berani menerapkan PTM 100 persen, baik dari sistem protokol kesehatan di sekolah dan termasuk tenaga pengajarnya. PTM 100 persen menggunakan mekanisme dua tahap. Masing-masing akan dibagi kuotanya terbatas sebesar 50 persen dari daya tampung kelas. Begitu juga untuk durasi pembelajaran dibatasi hanya lima jam.
ADVERTISEMENT
"Rombelnya dibagi dua shift. Shift pertama pukul 07.00 WIB hingga pukul 11.00 WIB. Pukul 11.00 WIB hingga 12.00 WIB penyemprotan desinfektan. Baru kloter kedua masuk pukul 12.00 WIB hingga pukul 15.00 WIB," katanya.
Suwarjana memnambahkan bahwa PTM ini juga sudah atas kemauan dari para wali murid. Banyak dari wali murid yang resah karena selama anaknya belajar di rumah, tidak ada yang mengawasi.
"Banyak orangtua menghendaki PTM ini karena tidak ada yang mengawasi di rumah. Banyak murid yang lebih banyak main daripada belajarnya. Banyak dari orang tua ini mereka bekerja," pungkasnya.(*)