Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Mengenang Gugurnya Anggota PMR di Desa Peniwen Kabupaten Malang
1 Juli 2019 15:49 WIB
ADVERTISEMENT
Monumen Palang Merah itu masih berdiri gagah di Desa Peniwen Kecamatan Kromengan Kabupaten Malang. Rumput hijau tumbuh dengan teratur di pelatarannya. Tampak bila perawatan di area itu masih tersaji. Di dekat pelataran tersebut, ada 12 makam yang berjajar rapi. Tempat itu dikenal sebagai Monumen Peniwen Affair. Sebuah monumen yang dibangun untuk mengenang para relawan Palang Merah Remaja (PMR) yang dibantai pasukan militer Belanda pada masa Agresi Militer ke-2, tepatnya tanggal 19 Februari 1949 silam.
ADVERTISEMENT
--------------------------------------------------
TUGUMALANG.ID - Beberapa tahun setelah Presiden Soekarno memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 lalu, pihak Belanda diketahui masih ingin menguasai wilayah NKRI. Mereka pun melancarkan agresi militer ke beberapa tempat di Indonesia. Salah satu lokasi yang dituju yakni Desa Peniwen, di Kabupaten Malang.
Sore itu, sekitar pukul 16.00, 19 Februari 1949, kasus pembantaian terhadap anggota Palang Merah Remaja (PMR) di Desa Peniwen dilakukan satuan patroli pasukan Belanda. Kisah kelam tersebut masih membekas dalam ingatan mantan anggota Brigade 16 Sektor Kawi Selatan, JS Soewarso.
”Kejadian itu (pembantaian terhadap anggota PMR) terjadi pada pukul 4 sore. Dan saya baru mengetahui itu pada keesokan pagi harinya,” ujarnya dengan bahasa Jawa Krama pada Tugumalang.id, minggu (30/6/2019) siang. Saat kejadian, ia mengaku tidak sedang tidak berada di Desa Peniwen, lantaran tengah menghimpun kekuatan di daerah Kawi Selatan bersama Brigade 16.
ADVERTISEMENT
”Ketika paginya tentara Belanda datang, saya pergi untuk berkumpul dengan pasukan gerilya ke daerah yang lebih atas, di daerah Sirah Kencong,” imbuhnya. Ia menuturkan bila pada pagi esok harinya, ia kembali ke Peniwen. Saat itulah ia mengetahui bila pasukan Belanda telah membantai anggota PMR dan juga beberapa warga disana. Ia merinci saat itu ada tiga orang anggota PMR yang dibunuh ketika sedang merawat pasien di Rumah Sakit Panti Husodo.
”Ketika itu ada tiga keluarga yang dibunuh. Jadi suaminya disiksa kemudian dibunuh, sedangkan istrinya, (maaf) diperkosa,” beber pria yang tahun ini menginjak usia 91 tahun tersebut. Tiga anggota PMR yang gugur yakni Suyono, Slamet Penijo, dan Sugianto. Dalam catatan dokumen yang disimpannya, tertulis bila agresi militer Belanda tersebut diawali dengan masuknya pasukan Belanda ke Kecamatan Kepanjen pada tanggal 19 Desember 1948.
Saat itu, Desa Peniwen memang menjadi salah satu markas pertahanan tentara Republik Indonesia. Disanalah personel Brigade 16 Sektor Kawi Selatan berkumpul. ”Peniwen dulu strategis karena di sini sudah terdapat rumah sakit (Panti Husodo), jadi di sini sudah dapat digunakan untuk kegiatan Palang Merah Remaja,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Pada tanggal 16 Januari 1949, untuk kali pertama pasukan Belanda masuk ke Desa Peniwen dan melakukan tindakan kejam. Diantaranya yakni membunuh anggota Corp Polisi Militer, dan juga menangkap dan menganiaya warga lanjut usia bernama Wuryan. Serta menyiksa salah satu pemuda bernama Soewan.
Beberapa hari setelahnya, tepatnya 31 Januari 1949, pasukan Belanda masuk untuk yang kedua kalinya ke Desa Peniwen. Pada saat itu, mereka menangkap Kepala Desa Peniwen, Arjo Wibowo. Beberapa waktu kemudian, tepatnya 19 Februari 1949, terjadilah insiden mengerikan. Satuan militer Belanda yang diperkirakan berjumlah satu kompi menyerang Desa Peniwen. Mereka menembakkan peluru-peluru timah mereka.
Karena tidak menemukan pasukan gerilya sama sekali, mereka kemudian melampiaskan amarah kepada para anggota PMR, pasien yang juga merupakan anggota Brigade 16 Kawi Selatan, dan juga beberapa warga setempat. Ada sejumlah nama yang tercatat dalam monumen tersebut. Seperti Matsaid, Slamet Ponidjo, Suyono Inswihardjo, Sugiyanto, JW Paindono, Roby Andris, Wiyarno, Kodori, Said, Sowan, Nakrowi, dan Soendono.
Warga setempat yang ikut gugur ialah Wagimo, Rantiman, Twiandoyo, Sriadji, dan Kemis. Akibat kejadian pembantaian yang diawali oleh penganiayaan terhadap anggota PMR itu, Jemaat Kristen Peniwen kemudian mengajukan protes keras kepada Gereja Dunia (World Churc Council). Pendeta bernama Martodipuro, memimpin langsung protes tersebut.
ADVERTISEMENT
Pihak Belanda pun sempat mendapat kecaman dari dunia internasional. Keberadaan Martodipuro yang dianggap membuat malu pihak Belanda sempat dicari. Beruntung baginya, karena ia telah diamankan para tentara Republik Indonesia sebelumnya. Kasus itu pun kemudian berlanjut. Pada tanggal 18 November 1949, terdapat lima orang utusan dari Dewan Gereja Dunia yang datang ke Desa Peniwen. Merka melakukan penyelidikan terkait insiden pembantaian disana.
”Penyelidikan itu memakan waktu hingga tiga bulan, mereka bertanya ke sini, mecocokkan lagi ke sana, dan mencocokkan lagi ke sana,” kenang Warso. Akhirnya, pada saat peringatan Hari Pahlawan, tepatnya 10 November 1983 silam, monumen untuk mengenang kejadian tersebut diresmikan Bupati Malang saat itu, Edy Slamet. Sedangkan beberapa bulan setelahnya, tepatnya pada tanggal 17 Februari 1983, perwakilan dari Palang Merah Internasional juga datang kesana untuk menunjukkan rasa berbela sungkawa atas tragedi tersebut. (*)
ADVERTISEMENT
*Tulisan ditulis bersumber dari wawancara dan juga dokumen berjudul Monumen Peniwen Affair yang disusun oleh AMPI Kabupaten Dati II Malang.
Reporter: Gigih Mazda
Editor: Irham Thoriq
Foto: Gigih Mazda