Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten Media Partner
Mengingat dan Membaca Chairil Anwar
28 April 2019 16:33 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB

ADVERTISEMENT
Dia adalah sosok idealis dan egois. Namun, kiprahnya menembus batas waktu. Dialah Chairil Anwar, sastrawan yang melintas jauh dari zaman penjajahan hingga milenial. Seperti “... dipukul angin yang terpendam...” Chairil meninggal pada 28 April 1949, atau tepat hari ini, 70 tahun yang lalu.
ADVERTISEMENT
Kemudian, dia menyapa para generasi muda. Segala kontroversi tentang sosok dan karya Chairil tak luput dari sastrawan di Kota Malang. Termasuk puisi fenomenalnya, ‘Aku’, yang tak pernah luput dari kurikulum sekolah menengah atas (SMA).
Namun, apa yang sebenarnya membuat Chairil layak disebut legenda sastra Indonesia? tugumalang.id mewawancarai tiga sastrawan di Malang untuk mengulas ‘Sang Binatang Jalang’.
Mereka adalah Dr Tensoe Tjahjono, Prof Dr Djoko Saryono, dan Yusri Fajar, M.A. Menurut penyair Tengsoe Tjahjono, Chairil telah membawa warna baru dalam puitika Indonesia. ”Chairil lebih bebas dan keluar dari pakem sastrawan sebelumnya,” ungkap Tengsoe kepada Rino Hayyu S, wartawan tugumalang.id, Minggu (28/4).
Ia menambahkan bahwa Chairil memandang vitalitas setiap kata, sehingga hal tersebut menjadi daya hidup dalam gaya penulisan khasnya. Ia tidak mau terikat, lanjut Tengsoe, seorang Chairil sebagai sastrawan ia lahir sendiri dan lebih kritis.
Ketika ditanya tentang daya tarik Chairil, Tengsoe tidak basa-basi. Hanya ada satu, yakni kata.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, Chairil mempunyai kelugasan dalam berpuisi, yang justru membuatnya semakin kuat. Bahkan, Tengsoe menilai, usai Chairil wafat, banyak sastrawan yang terpengaruh dengan gaya puisinya.
”Ya tidak hanya sekarang saja, sejak tahun 1950-an, Chairil mulai menjadi bahan pembicaraan yang layak menjadi perkembangan sastra Indonesia,” imbuh dosen Universitas Negeri Surabaya (Unesa) ini.
Tak hanya itu, Tengsoe menilai dalam hal romantika Chairil terlihat dalam puisinya, 'Derai-Derai Cemara'. Sebab, isinya menunjukkan sebuah perjalanan kemanusiaan. Berikut puisinya:
Cemara menderai sampai jauh
Terasa hari akan menjadi malam
Ada beberapa dahan di tingkap merapuh
Dipukul angin yang terpendam
Aku sekarang orang yang bisa tahan
Sudah berapa waktu bukan kanak lagi
Tapi dulu memang ada suatu bahan
Yang bukan dasar pertimbangan kini
ADVERTISEMENT
Hidup hanya menunda kekalahan
Tambah terasing dari cinta sekolah rendah
Dan tahu, ada yang tetap tidak terungkapkan
Sebelum pada akhirnya kita menyerah
Lain Tengsoe, lain Djoko Saryono. Djoko melihat sosok Chairil sebagai cendekiawan. ”Tak hanya seorang sastrawan, tapi cendekiawan,” tegas guru besar Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang itu.
Sebab, Chairil mempunyai gaya Aesthetica Mind dan Depth Thinking. Hal inilah yang membuat Chairil pantas masuk dalam kategori cendekiawan. Di sisi lain, Djoko menilai Chairil mempunyai pergaulan yang luas. Namun, ia mempunyai kekuatan untuk melepaskan diri dari kolektifnya.
“Individualitasnya kuat, tapi ia bisa berpisah dari lingkungannya,” kata Djoko.
Djoko memandang Chairil mempunyai kekuatan pembacaan antara kenyataan dengan kontemplasinya, sehingga hal tersebut menjadi kemerdekaannya saat memikirkan sesuatu. Namun, kekuatan Chairil tersebut tidak bisa dilepaskan dari ekosistem intelektual pada saat itu. Jadi, karya Chairil bisa abadi hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
Jika dibedah, lanjut Djoko, Chairil punya tiga karakteristik karya. Pertama, esai yang mendalam. Kedua, puisi saduran yang lebih bagus dari aslinya, sehingga para pembaca kadang keliru menganggap karya saduran itu sebagai karya asli Chairil. Ketiga, puisi otensitasnya.
Djoko pun kagum terhadap dua puisi Chairil yang berjudul 'Isa' dan 'Nisan'. Menurutnya, dua puisi tersebut punya humanitas, spiritualitas dan rasa keridaan atau kelapangdadaan.
Sementara itu, dalam liputan khususnya, Majalah Tempo pada Agustus 2016, Chairil diistilahkan sebagai seorang pahlawan, yang lahir dari seniman. ”Ia adalah perintis jalan bagi sastra modern Indonesia,” tulis.
Dalam Majalah Tempo, sastrawan kenamaan, Sapardi Djoko Damono, menyebutkan kalau kehebatan Chairil adalah kemampuannya dalam menggunakan bahasa baru. Sering dia menggunakan kosakata baru, yang membuat sajak-sajaknya terlihat berbeda dengan seniman yang lain.
ADVERTISEMENT
”Jadi, menghargai Chairil adalah menghargai usahanya mengangkat bahasa baru, kalau tema-tema puisinya sih, sama dengan penyair lain,” kata guru besar Universitas Indonesia itu.
Bahasa baru itu, sebagaimana kata Sapardi, setidaknya bisa kita nikmati sampai sekarang. Meski sang pujangga telah berpulang 70 tahun yang lalu.
Reporter: Rino Hayyu S
Editor: Irham Thoriq