Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Dibangun untuk Belajar Mengaji sampai Solusi Berbagai Masalah
ADVERTISEMENT
MALANG - Pondok Pesantren (Ponpes) Salafiyah Bihaaru Bahri 'Asali Fadlaailir Rahmah (Bi Ba'a Fadlrah) atau yang lebih dikenal Masjid Tiban Turen Malang telah dikenal hingga penjuru dunia. Kali ini, Tugu Malang ID mengupas tuntas sejarah berdirinya masjid yang sempat diterpa isu miring ini.
ADVERTISEMENT
Panitia Masjid Tiban Turen, Kisyanto, bercerita jika Ponpes ini didirikan oleh Romo Kiai Ahmad untuk belajar agama dan menyelesaikan masalah para santrinya.
"Bertujuan untuk menyelesaikan masalah-masalah baik dari kami para santri tetap, santri Riadloh atau yang tetap di sini tapi sampai batas waktu pulang, dan santri jamaah. Jadi setiap kami punya masalah dan mengadu pada beliau, beliau langsung sholat istiqoroh untuk mencarikan solusinya," terangnya, pada Jumat (24/11/2020).
"Karena beliau percaya bahwa apapun masalahnya, muaranya adalah dari penyakit hati," sambungnya.
Lebih lanjut, pria asal Sidoarjo ini menerangkan, pendirian Ponpes Bi Ba'a Fadlrah melalui proses yang panjang. Dan tidak tiba-tiba berdiri sendiri dalam semalam seperti isu yang beredar.
"Ini dulu sekitar tahun 1963 sebenarnya adalah rumah Romo Kiai Ahmad selaku pemilik, perintis, pendiri, dan pengasuh Ponpes Bi Ba'a Fadlrah. Beliau lahir di sini, jadi dari rumah lalu banyak orang yang datang untuk mengaji dari warga sekitar sampai kecamatan sekitar," jelasnya.
Hingga akhirnya, Ponpes ini diresmikan pada 1976. "Lalu resmi menjadi pondok pesantren tahun 1976, sehingga sudah ada santri yang tinggal di sini. Jadi oleh beliau bangunannya mulai dirubah untuk dibangun tempat tinggal santri," tuturnya.
ADVERTISEMENT
Krisyanto menceritakan, di awal pendirian, material bangunan yang dipakai masih seadanya. "Waktu itu membangun bangunan masih memakai material seadanya, kalau membangun dengan batu bata merah itu masih ditempelkan menggunakan tanah liat. Bahkan untuk menghaluskan temboknya masih menggunakan tanah liat," ujarnya sambil menunjuk salah satu bangunan.
Dalam pembangunannya, Ponpes Bi Ba'a Fadlrah juga sempat mengalami kendala. "Lalu pembangunan sempat terhenti di tahun 1994 karena diminta IMB oleh pemerintah setempat. Kalau IMB kan harus ada perencanaan, padahal pondok pesantren ini dibangun atas dasar istikharah," kenangnya.
Pria yang juga Kepala Sekolah SMK di Sidoarjo ini menjelaskan, setiap pembangunan tidak pernah ada gambaran pembangunannya. Bahkan sampai sekarang, dia tidak tahu gambarannya.
Lanjut dia, setelah melakukan salat istikharah, Romo Kiai Ahmad memutuskan untuk melanjutkan pembangunan pada tahun 1998.
ADVERTISEMENT
"Lalu pondok pesantren ini kembali dibangun justru saat sedang ramai-ramainya krisis moneter 1998. Karena penyelesaian masalah dari hasil istiqoroh Romo Kiai itu kita harus terus membangun meskipun hanya sedikit demi sedikit," ungkapnya.
"Pembangunan itu bertujuan untuk menyelesaikan krisis di Indonesia maupun di dunia," imbuhnya.
Kata dia, keputusan untuk melanjutkan pembangunan ternyata sangat tepat. Pasalnya, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Malang mulai memberikan perhatian.
"Semakin dibangun ditengah krisis, membuat Pemerintah Kabupaten Malang tahu dan kita dibantu untuk menyelesaikan IMB. Waktu itu gambaran bangunan juga seadanya, yang penting dari dinas perijinan sudah oke dan mereka tahu gambaran pembangun di pondok pesantren ini," bebernya.
Yang menarik, pembangunan Ponpes Bi Ba'a Fadlrah ini tanpa menggunakan teknik arsitektur. "Dan pembangunan sampai sekarang bukan berdasarkan teknis ke-arsitekturan, tapi melalui sholat istikharah," ucapnya.
ADVERTISEMENT
Dia juga menepis isu-isu miring jika pembangunan Masjid Tiban Turen dibantu oleh jin. "Lalu kalau di luar ada yang bilang pembangunan ini melayang sendiri, itu jelas tidak benar. Karena ini ada proses yang sangat panjang dan saya tahu persis pembangunannya karena saya sudah di sini sejak 1992," tegasnya meluruskan.
Krisyanto mengungkapkan, isu tersebut muncul sekitar tahun 2006. "Karena lantai 5 ke atas mulai dibangun dan mulai kelihatan dari luar. Di sini kan banyak kelapa, jadi saat pembangunan sampai lantai 5 ini tidak kelihatan dari pinggir jalan," paparnya.
Dan semakin ramai saat peringatan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 2006. "Baru saat kita diperintahkan oleh beliau (Romo Kiai) membuat tiang bendera setinggi 62 meter dan bendera berukuran 20 meter kali 30 meter. Lalu dikibarkan saat 17 Agustus, baru banyak orang kelihatan dari luar dan langsung kaget," tuturnya.
ADVERTISEMENT
Pria ramah senyum ini juga mengatakan, warga sekitar pondok pesantren tahu persis proses pembangunannya dari awal. "Padahal kalau masyarakat sini tahu semua pembangunannya, karena materinya diambil dari luar semua," pungkasnya.