Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Saat ini sedang viral cover Majalah Tempo bergambar karikatur wajah presiden dengan bayang-bayang wajahnya berhidung panjang, seperti pinokio. Sekilas secara semiotik, kita bisa menangkap simbolisasi pesan bahwa presiden berbohong, yakni tidak memenuhi bahkan berlawanan dengan janji-janjinya. Mengingatkan kita pada tokoh pinokio yang bertambah panjang hidungnya setiap kali berbohong.
ADVERTISEMENT
Sebagai majalah yang telah lama malang melintang dan bisa disebut pioner jurnalistik investigasi, saya yakin pemimpin redaksi tidak sembarangan menerbitkannya. Saya yakin mereka memiliki data, yang menurut mereka valid.
Saya tidak mengupas aspek data ini. Biarlah menjadi ranah pemerintah untuk merespon dalam bingkai hak jawab. Tentu ada implikasi etika dan hukum jika data dalam berita terbukti tidak valid.
Saya ingin tekankan implikasi etis dari cover teesebit. Jikalau datanya valid, apakah etis cover seperti itu? Apakah cover tersebut cermin keniscayaannya kebebasan pers? Apalagi, di cover itu, simbolisasi kebohongan berdasarkan tudingan penggiat antikorupsi.
Inilah dampak era demokrasi. Dalam sebuah konferensi internasional di Bangkok pada Juli 2019, riset seorang profesor media dari Universitas Utara Malaysia menyebut pers kita paling bebas di asia tenggara. Tampaknya, riset ini bisa saya terima.
ADVERTISEMENT
Jika di era orba, distorsi pers berasal dari pengekangan kekuasaan, sekarang distorsi pers muncul dari pemilik modal dan insan pers itu sendiri. Distorsi yg terakhir ini distimulus munculnya kebebasan pers.
Saya meyakini bahwa biasanya kebebasan dibarengi dengan reduksi nilai etika.
Semestinya, peran kebebasan pers sebagai watchdog bisa tetap jalan dengan tetap menjunjung nilai-nilai etis bangsa. Kita punya karakter kebebasan yang khas budaya kita, tanpa perlu meniru kharakter kebebasan bangsa lain.
Landasan filosofis sebagai bentuk ideal praktek pers berbeda karena landasan filosofis masing-masing masyarakat berbeda. Karenanya, teori pers akan berbeda-beda antarnegara.
Di AS, menyebut presiden langsung namanya adalah biasa secara etis. Tapi, hal itu tidak etis di masyarakat kita. Masyarakat kita mempunyai adab atau local wisdom menghormati orang tua sehingga mempunyai banyak simbol-simbol penghormatan, termasuk kepada pemimpin. Ada prinsip dalam bahasa jawa yakni mikul dhuwur mendem njeroh.
ADVERTISEMENT
Agama-pun mengajarkan menghormati orang lain, menghormati pemimpin, dilarang menghina dan mengolok-olok. Andaikan yg diberitakan itu benar, cara menyampaikannya dengan cara-cara yang baik.
Jika kita menengok UU no 40/1999 dan Kode etik jurnalistik, pers wajib menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat.
UU no 40/1999 juga menekankan pers berfungsi edukasi. Dalam hal ini edukasi nilai-nilai budaya bangsa agar tidak tergerus interaksi dengan budaya bangsa lain.
Pers harus membangun (shaping) bukan hanya giving budaya populer bangsa lain. Jangan hanya untuk beritanya laku maka masyarakat dicekoki budaya asing dan melupakan kearifan bangsa yang luhur.
Penulis: Rachmat Kriyantono, Pemerhati komunikasi, Ketua Program Studi Magister Ilmu Komunikasi, Universitas Brawijaya (UB)
ADVERTISEMENT