Konten Media Partner

Payung Hukum untuk Penilai

8 Januari 2021 16:06 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Opini Guntur Pramudiyanto SE MEc Dev MAPPI (Cert) - Ketua Umum 2 MAPPI

Penulis
zoom-in-whitePerbesar
Penulis
ADVERTISEMENT
Tercapainya pembangunan nasional yang berkesinambungan tidak terlepas dari peran profesi jasa penilai. Namun selama ini belum ada payung hukum yang memadai untuk melindungi para penilai agar dapat berjalan dengan lancar. Paling jauh, profesi penilai diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK), akan tetapi masih menyisakan definisi dan pengaturan penilai yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Smentara itu, penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan kepentingan umum telah membawa kemajuan infrastruktur dalam menunjang ekonomi nasional. Banyak jalan tol terbangun yang menghubungkan antar kota sehingga memudahkan distribusi transportasi barang dan jasa. Bendungan dan waduk banyak terbangun sehingga mengurangi bencana banjir dan mengurangi dampak kekeringan pada wilayah rawan bencana. Pembangkit, jaringan transmisi dan distribusi jaringan listrik juga tidak ketinggalan, sehingga bisa mengaliri listrik bagi penduduk serta industri dan perkotaan.
Bisa dilihat dari jumlah proyek dan progress pendanaan pengadaan lahan dari tahun 2016 hingga 2020 yang dikerjakan oleh KJPP. Di antaranya, 47 proyek jalan tol senilai Rp 76,545 triliun, 28 bendungan Rp 8,156 triliun, 8 jalur Kereta Api Rp 4,749 triliun, 1 pelabuhan senilai Rp 0,900 triliun, 4 irigasi Rp 0,853 triliun. Sementara itu hingga 2020, KJPP telah menyelesaikan sebanyak 47 ruas tol, 32 bendungan, 1 pelabuhan, dan 7 kereta api. Pencapaian ini senilai total Rp 64,783 triliun, dan membebaskan sebanyak 96.460 bidang tanah seluas 150.841.779 meter persegi. Ini merupakan suatu kerja untuk pembangunan nasional yang penting.
ADVERTISEMENT
Namun pada sisi lain, keberhasilan dan kesuksesan ini harus dibayar mahal oleh profesi penilai. Tak sedikit penilai masuk penjara karena beban penentuan besaran ganti rugi ditugaskan kepada profesi penilai. Sementara dalam melaksanakan profesinya, penilai tidak diberi sarana payung hukum. Tak heran bila banyak penilai yang dikriminalisasi. Hanya di Indonesia seorang penilai bisa dianggap sebagai tindak pidana karena opininya.
Maka, bersamaan dengan lahirnya UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang juga memuat tentang profesi penilai. Setidaknya terdapat sembilan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang didalamnya terdapat beberapa pasal yang mengatur peran profesi jasa penilai. Pada 9 November 2020 RPP Pertanahan sempat dipublikasikan. Namun ada beberapa hal yang mesti diperhatikan agar penilai terhindar dari kriminalisasi. Pada RPP itu ada enam poin penting yang harus direvisi, dan berikut usulan terbaiknya.
ADVERTISEMENT
Pertama, perlu menghapus kata publik. Istilah publik digunakan pada pasal 68 “penilai publik”. Penunjukan penilai “publik” untuk menilai pada pengadaan tanah adalah sangat beresiko. Ini membuka potensi semakin banyak permasalahan hukum dan menjebak para penilai di daerah masuk ranah pidana. Sebaiknya kata “publik” itu dihapus dan ketentuan atau persyaratan tentang penilai pertanahan, dijelaskan tersendiri dalam peraturan menteri di mana yang bisa mendapatkan lisensi tidak harus hanya penilai publik properti saja. Namun juga dibuka untuk penilai publik bisnis dan penilai publik properti sederhana dengan objek yang bisa dinilai sesuai dengan ketentuan PMK.
Kedua, opini tak bisa dipidana karena pada dasarnya hasil output dari pekerjaan jasa profesi penilai adalah sebuah opini yang dalam hal ini adalah tentang nilai. Pada profesi apapun dan dimanapun, sepanjang yang dilakukan seorang profesi dalam menjalankan kegiatannya sudah sesuai dengan prosedur standar profesinya, maka tidak seharusnya profesi tersebut dikenakan tindakan pidana. Untuk mengetahui dan membuktikan apakah seorang penilai dan hasil penilaiannya telah sesuai dengan prosedur standar profesinya atau tidak, maka hanya asosiasi dari profesi yang membuat standar profesilah yang bisa menentukan dan bukan pihak lain. Maka pada BAB V ketentuan lain-lain perlu dimasukan satu pasal tambahan yaitu Pasal X yang menyatakan bahwa hanya asosiasi profesi penilai yang memeriksa dan apabila terdapat kelalaian sanksi yang diberikat administratif. Barulah jika ada unsur kesengajaan melanggar dikenai sanksi pidana.
ADVERTISEMENT
Ketiga, dalam RPP Pertanahan pasal 72 ayat 1 dan 4 dikatakan bahwa pelaksana pengadaan tanah melaksanakan musyawarah didampingi oleh penilai dan instansi yang memerlukan tanah. Pada kegiatan ini, perlu diatur agar tidak melebihi kewenangan/tugas penilai. Penilai yang dimaksud mendampingi dalam musyawarah mungkin bisa diperluas. Bahwa tidak hanya atau berarti harus penilai pertanahannya, namun dimungkinkan juga bisa diwakilkan kepada tim teknis yang memang melaksanakan dilapangan. Karena penilai yang bekerja dalam wadah KJPP dipekerjaan pengadaan tanah sebenarnya terdiri dari tim penilai.
Keempat, istilah final dan mengikat pada pasal 70 ayat 3 perlu dipertegas. Karena istilah itu memiliki makna yang berbeda pada beberapa undang-undang yang berbeda. Misalnya, pada UU Mahkamah Konstitusi (UU 24/2003), “final dan mengikat” bermakna putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh terhadap putusan tersebut. Pada UU Arbitrase dan alternatif penyelesaian Sengketa (UU 30/1999) bermakna bahwa putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Artinya, putusan arbitrase merupakan putusan final dan dengan demikian tidak dapat diajukan banding, kasasi atau peninjauan kembali (PK).
ADVERTISEMENT
Pada UU Perlindungan Konsumen (UU 8/1999) terkait putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen bermakna bahwa yang dimaksud dengan putusan majelis bersifat final adalah bahwa dalam badan penyelesaian sengketa konsumen tidak ada upaya banding dan kasasi. Namun sifat final ini berlaku apabila dalam waktu 14 hari kerja tidak ada upaya hukum keberatan kepada pengadilan negeri setelah pemberitahuan putusan tersebut. Nah, dalam RPP Pertanahan ini mengacu pada yang mana? Usulan penulis adalah yang dimaksud dengan “final dan mengikat” yaitu hasil penilaian tidak dapat diganggu gugat sepanjang penilaian dilakukan berdasarkan standar penilaian yang dikeluarkan oleh organisasi profesi penilai yang telah diakui instansi yang berwenang serta tidak dapat dilakukan upaya hukum setelah melewati 14 hari kerja musyawarah.
ADVERTISEMENT
Kelima, Penilaian pada skala kecil pada praktiknya banyak memakan korban penilai dan pihak BPN serta pejabat instansi. Hal ini karena ketidaktahuan dalam pelaksanaan pengadaan tanah atau memang karena sengaja melakukan tindakan untuk kepentingan tertentu sehingga merugikan keuangan negara. Adalah sangat penting untuk memberi batasan terkait nilai apa yang bisa dikeluarkan untuk pengadaan secara langsung karena adanya frasa cara lain yang disepakati dan cara jual beli yang didalam praktiknya pasti ada unsur tawar menawar.
Adalah salah apabila dalam transaksi, pihak selaku pembeli tidak melakukan negosiasi atau penawaran harga kepada pihak penjual karena pada dasarnya uang yang digunakan adalah uang negara. Atau terkadang dapat muncul suatu pendapat mengapa harus membeli tanah menggunakan nilai khusus atau nilai penggantian wajar jika bisa menggunakan nilai pasar. Atau mengapa harus membayar sebesar nilai pasar jika penjual bersedia menjual di bawah nilai pasar. Untuk itu perlu tambahan pada pasal 127 ayat 6 yaitu penilai menggunakan nilai pasar sebagai batas atas apabila pengadaan tanah dilakukan sesuai pasal 127 ayat 1 huruf a dan apabila dilakukan sesuai pasal 127 ayat 1 huruf b maka menggunakan nilai sesuai dengan pasal 69.
ADVERTISEMENT
Keenam, penilaian besarnya ganti rugi dengan menggunakan nilai setara nilai penggantian wajar yang berupa nilai fisik ditambahkan dengan nilai non-fisik mengakibatkan penggunaan sistematika penilaian yang rumit. Penentuan komponen non-fisik sangat sulit untuk diseragamkan dan dibuat standar karena itu diperlukan suatu kebijakan negara melalui pemerintah untuk menjadi satu besaran standar. Pada penilaian penentuan besarnya kompensasi pada pemberian kompensasi di bawah jalur ROW untuk kepentingan ketenaga-listrikan. Perhitungan besaran persentase ditentukan oleh pemerintah dari nilai pasar (Permen ESDM 27/2018) sedangkan penilai diberi tugas menentukan nilai pasar sehingga terjadi keseragaman dan standar yang terukur bagi semua pihak.
Dalam UU 11/2020 pasal 42 terkait perubahan UU 30/20019 pada pasal 30 terkait dengan ketentuan perhitungan besaran kompensasi juga diamanatkan untuk diatur dalam peraturan pemerintah yang saat ini juga sedang dibuatkan RPP. Maka, perlu tambahan Pasal 69 ayat 4 besaran nilai kerugian lain sebagaimana dimaksud ayat 1 huruf f berdasarkan formula perhitungan persentase dikalikan dengan nilai di ayat 1 huruf a sampai dengan e yang besaran persentasenyanya ditetapkan melalui peraturan Menteri atau peraturan gubernur.
ADVERTISEMENT
Demikianlah, upaya yang bisa dilakukan melalui RPP Pertanahan agar masa depan penilai lebih baik dan terbebas dari ketakutan hukum. Karena di sisi lain, peran penilai tidak ternilai bagi pembangunan kemajuan nasional.