Pembaca Menulis | Mbah Wi dalam Lipatan Sejarah Ludruk di Malang

Konten Media Partner
25 Februari 2019 21:56 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Oleh Muhammad Nasai*

ADVERTISEMENT
Lestari atau Mbah Wi saat berada di rumahnya di daerah Madyopuro, Kota Malang, beberapa waktu lalu. (Foto: Mohammad Nasai for Tugu Malang).
Mbah Wi memang dahulunya remaja yang cerdas dan berpemikiran maju. Oleh karenanya, dia bergabung dengan Lekra (Lembaga Kesenian Rakyat). Karena saat itu menurut kakek kelahiran 1934 ini, Lembaga Kesenian Lekra mewadahi seniman ataupun pemuda yang bervisi maju, terutama dalam memajukan kesenian dan negara.
ADVERTISEMENT
Dengan jiwa muda dan spirit membangun negara itulah, Mbah yang mempunyai nama lengkap Lestari ini memilih kesenian sebagai kendaraan berjuang, terutama seni Ludruk. Mbah Wi dengan beberapa temannya akhirnya mendirikan sebuah perkumpulan seni Ludruk. Karena anggotanya kebanyakan masih remaja bahkan ada yang masih sekolah, Mbah Wi dan teman-teman itu bersepakat kumpulan dinamakan grup ludruk "Muda Mudi".
Pertama kali grup itu mulai dikenalkan pada masyarakat sekitar tahun 1960, setahun setelah kelompok muda mudi ini berkumpul dan latihan seni ludruk. Anggotanya yang kini sebagian besar telah meninggal, namun Mbah Wi masih ingat betul nama-nama teman muda berkesenian dulu. "Kebanyakan dari Ngadipuro (sekarang Madyopuro, Kota Malang), Cak Warijan, Sugik, Kinasih, Cak Solikin, Cak Amsik, dan Cak Tinawar atau Torek," kenang Mbah Wi saat ditemui penulis beberapa waktu lalu di Malang.
ADVERTISEMENT
Setiap sore hari, rumah Mbah Wi yang berada di dusun Glendang Pakem, Madyopuro, Kota Malang, selalu ramai mereka berkumpul dan berlatih ludruk beserta gamelan untuk mengiringi lakonnya. Dalam "Muda Mudi" Mbah Wi yang di nilai pandai dalam mengarang cerita akhirnya didapuk sebagai sutradara serta pembuat naskah ludruk. Karya cerita ludruk-nya bisa dipastikan sarat humor, serta mengobarkan jiwa patriotisme juga kritik serta sindiran kepada kesewenangan atau keburukan yang terjadi dalam masyarakat.
Kritik sosial memang menjadi ciri khas pertunjukan Ludruk di manapun. Begitu pula dengan ludruk muda-mudi pimpinannya. Selain parikan yang menyegarkan dengan lirik-lirik humor, kritikan ketimpangan di masyarakat umum, Mbah Wi juga sering mementaskan karya ludruk yang syarat kritik pada pada pemerintah yang dinilai sewenang-wenang.
ADVERTISEMENT
Memang, dari dahulu Ludruk adalah alat perjuangan seniman dalam melawan serta mengobarkan jiwa patriotis kepada masyarakat. Salah satu contoh seniman ludruk yang berani melawan kesewenangan Penjajah yaitu Cak Durasim.
Parikan karya Cak Durasim yang berani mengkritik Bangsa Penjajah dan terkenal hingga kini yaitu "Bekupon Omahe Doro, melok Nipok sengsoro". Dan itu menjadi inspirasi banyak seniman Ludruk di Jawa Timur, tak terkecuali Mbah Wi. Selain menulis naskah, dan berperan sebagai "dalang" atau sutradara serta penata tarian, Mbah Wi juga sering berkarya tulis kidungan, di bawah ini ada salah satu karya dari banyak Kidungan yang di cipta Mbah Wi "Tikus Korupsi".
Kidungan "Tikus Korupsi" ini menurut Mbah Wi di ciptakan saat setelah dirinya pulang tugas militer tahun 1959 dari Sulawesi. Dan inilah syair kidungan itu..
ADVERTISEMENT
Tikus Korupsi
Opo iki jaman kemajuan
Tikus tikus nganakno barisan
Mlebu sawah ngrusak tanduran
Petani seng nyonggo krugian
Aku tumon tikus seng seje
Sobone gudang wetenge gedhe
Nyekel petelot mrintah bawahane
Nguncalno DO jutaan duwite
Iku ngono dulur tikus korupsi
Duite negoro kok digrowoti
Iku ngrusak sumbere ekonomi
Sambate rakyat setengah mati
Tikus korupsi sobo rong rongan
Omahe gedong sun sun suunan
Saben sore montor montoran
Bojone telu kabeh kalung botoran
Durung auwe wes konangan
Gak wani sobo omah dadi buronan
Dicekel karo pihak kepolisian
Akhire meringkuk njeru hukuman
Bojone telu gak kolu mangan
Mikir kalunge dadi urusan
Mikir seng lanang onok njeru hukuman
Pegel atine bengi ngluyur sobo daduan
ADVERTISEMENT
Syair kidung yang diciptakan tahun 1959 ini, menurut penulis masih relevan dengan keadaan jaman sekarang. Korupsi nepotisme dan sejenisnya memang suatu perilaku yang menjadi musuh rakyat. Karena perbuatan itu sangat merugikan masyarakat dan negara.
Mbah Wi menceritakan bila di zaman saat muda dahulu, terutama di desa Ngadipuro dan sekitarnya memang banyak Gogol dan Gogol Kendon yang terlilit hutang atau duit anakan juragan juragan tanah.
Banyak upaya juragan tanah dalam menjerat Gogol (sebutan untuk orang yang punya sawah) dan Gogol Kendon (sebutan untuk orang yang punya ladang saja, dan tidak punya sawah) untuk menyerahkan sebagian atau bahkan seluruh tanahnya, dan yang paling lumrah menurut Mbah Wi adalah dengan pinjaman duit anakan. "Petani diutangi masio panen bolak balik tetep gak iso nglunasi utange, lah soale utange mesti manak" terang Mbah Wi dengan logat jawa Malangan.
ADVERTISEMENT
Kegundahan dan jiwa yang terpanggil untuk mendobrak serta memerangi "kebodohan" para petani kecil itulah, lakon lakon ludruk Muda Mudi dalam cerita dan tariannya sarat dengan pengetahuan tentang perlawanan kepada tuan tanah yang sewenang-wenang.
"Dahulu yang paling terkenal di ludruk Muda Mudi adalah tarian bagi hasil," lanjut mbah Wi.
Tarian ini menurut Mbah Wi adalah cara mereka dalam menyadarkan para petani untuk bisa melawan tuan tanah. Tarian bagi hasil ini tak lain adalah buah dari pengamatan dan pemikiran muda mudi dalam melihat ketidak adilan yang menimpa petani petani kecil penggarap.
"Dahulu petani itu paling tidak mempunyai lahan paling sedikit 7000 meter dan bahkan lebih, tapi kalau sudah berhutang dengan juragan tanah, meskipun tiga kali panen mereka malah berkurang luas lahannya karena digunakan untuk menutup hutang" kenang mbah Wi.
ADVERTISEMENT
Masyarakat petani yang kebanyakan tidak mengenyam pendidikan menjadikan santapan lunak para tengkulak dan juragan tanah. Mbah Wi dan teman-temannya yang memang banyak berdiskusi dengan aktifis Pemuda Rakyat, Lekra ataupun BTI akhirnya mempunyai kesadaran dalam memperjuangkan ketidak adilan tersebut. Dan mereka memilih ludruk untuk menyuarakan kebenaran saat itu. Dipilihnya ludruk tak lain karena saat itu kesenian yang banyak di gemari dan mudah diterima adalah ludruk.
Ludruk itu memang seni drama kerakyatan, apa yang bergejolak di masyarakat itulah yang menjadi cerita Ludruk.
Karena seni rakyat maka tiap adegan selalu ada banyolan, bukan sekedar banyolan tapi adegan lucu yang melalui riset didaerah ludruk di gelar.
Saat itu, tiap tampilan Ludruk Muda Mudi selalu didahului dengan diskusi ataupun urun rembuk dengan aktifis-aktifis Lekra, ataupun Pemuda Rakyat yang kebanyakan adalah Mahasiswa. "Cak aku minggu ngarep ate main nang sawojajar.". Nah, teman teman ini besoknya langsung ke Sawojajar, mereka mengumpulkan apa kesukaan dan ketidaksukaan masyarakat Sawojajar, dan bahan itulah yang nantinya diramu dalam cerita Ludruk.
ADVERTISEMENT
"Mangkane gak katek menyan yo tetep ramai penontone (maka meskipun tidak pakai menyan/pengasihan pasti tetap ramai penontonnya,red),” katanya.
"Contohe daerah iku sopo jenenge wong seng ayu dewe, sopo jenenge sesepuhe deso utowo onok cerito opo seng wong deso kono paham, lah iku seng diramu gae cerito ludruk e, wes mesti rame tontonane" Mbah Wi menuturkan.
("Misalnya siapa nama gadis paling cantik di desa itu, siapa nama sesepuh desa itu, atau cerita rakyat yang ada di desa tersebut yang masyarakat tahu ceritanya, nah cerita itu yang nantinya di ramu dalam cerita ludruk, dan dipastikan akan ramai penontonnya")
"Ludruk iku onok kepanjangane loh: Lembaga Utama Dari Rakyat Untuk Kebaktian Nasional" terang spontan dari Mbah Wi yang katanya dahulu diketahui dari teman-teman Lekra.
ADVERTISEMENT
Ludruk adalah salah satu alat kampanye dan penyadaran yang sangat efektif kala itu. Dengan kesenian ludruk menurut Mbah Wi, orang tidak sekolah pun akan sadar dan tahu bila selama ini mereka di "dzolimi" oleh tuan tanah. Mbah Wi mulai meninggalkan seni ludruk sejak meletusnya Gestapu (gerakan september tiga puluh) 1965.
Sejak meletusnya kejadian itu, Ngadipuro yang awalnya tentram, mulai penuh curiga. Dirinya yang memang tergolong vokal dalam Jalur Budaya, akhinya dia menanggung resiko, Mbah Wi meringkuk tiga bulan di penjara Polsek Tumpang, Kabupaten Malang.
*Penulis adalah pemerhati topeng malangan, fotografer, dan jurnalis seni.

Catatan: media online tugumalang.id, yang merupakan media partner resmi kumparan.com, membuka kesempatan bagi para pembaca untuk menulis melalui rubrik Pembaca Menulis. Kirim tulisan ke email: [email protected]. Tulisan yang layak muat, akan diedit, dan diberi ilustrasi yang membuat tulisan semakin layak baca. Terima kasih.
ADVERTISEMENT